Yogyakarta, Koridor.co.id – Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal dirinya yang boleh memihak dan berkampanye menuai banyak kritikan dari masyarakat.
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII menilai pemahaman presiden dalam pernyataan tersebut salah kaprah.
Direktur PSHK FH UII, Dian Kus Pratiwi menuturkan pernyataan dan sikap yang demikian telah memperkeruh dan membuat gaduh suasana kampanye Pemilu dan Pilpres 2024 yang sudah berjalan secara relatif demokratis selama akhir 2023 dan menjelang Februari 2024.
Pernyataan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) UU HAM serta Pasal 281 dan 304 UU Pemilu, menurutnya adalah pemahaman yang salah kaprah dalam etika demokrasi yang sehat serta bentuk pelanggaran atas asas-asas Pemilu.
“Salah kaprah juga tercermin dari betapa sulitnya memisahkan fakta antara figur seorang Joko Widodo sebagai personal individu yang tetap memiliki hak berpolitik dan sebagai Presiden yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga dibatasi kekuasaannya termasuk hak politiknya,” kata Dian dalam keterangan yang diterima Koridor pada Jumat (26/1).
Salah kaprah juga terlihat dari inkonsistensi sikap Presiden Jokowi selama ini yang selalu menekankan netralitas pejabat publik termasuk Presiden, bahkan mengajak kepada seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), POLRI dan TNI untuk bersikap netral.
“Tetapi pucuk pimpinannya yakni Presiden justru ingin melenggang dengan berpihak dan berkampanye dalam Pemilu,” ujarnya.
Pemaknaan hak politik seorang presiden harus dimaknai secara komprehensif dan holistik. Tidak hanya berfokus pada masih diperbolehkannya berpihak dan ikut serta dalam kampanye, tetapi juga terbatas pada etika Pemilu yang sehat dan etika menjalankan kekuasaan pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana amanat Reformasi 1998.
“Beberapa konstitusi di berbagai negara bahkan secara tegas menihilkan fungsi politik partisan seorang presiden setelah terpilih agar tercipta iklim demokrasi yang sehat dan beretika, seperti di negara Perancis, Turki, Kosovo, Albania,” ungkapnya.
Netralitas sebagai presiden tersirat di dalam aturan main tertinggi dalam bernegara yakni Pasal 4 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang poinnya menyebutkan Presiden memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya, berbakti kepada nusa dan bangsa, serta Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil).
Atas catatan tersebut, PSHK FH UII merekomendasikan pertama, presiden bersikap negarawan dengan tetap memegang teguh netralitas dan menghormati asas-asas Pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
“Kedua, Presiden tetap fokus dalam menyelesaikan sisa tugasnya sampai akhir 2024 dan tidak melakukan manuver-manuver yang justru memperkeruh dan membuat gaduh proses Pemilu 2024,” katanya. (Pizaro Gozali Idrus)
PSHK UII Nilai Pernyataan Presiden Berhak Memihak dalam Pemilu 2024 Salah Kaprah
Koridor.co.id
Artikel Terkait