Pengamat: Sejumlah PR Belum Diselesaikan Prabowo di Kemhan

Koridor.co.id

Raden Mokhamad Luthfi. (Foto: Dokumen Pribadi)

Jakarta, Koridor.co.id – Debat calon presiden akan kembali berlangsung pada Minggu (7/1) mendatang. Tema yang kali ini diangkat adalah soal geopolitik, pertahanan, keamanan, dan hubungan luar negeri.

Debat akan berlangsung selama 150 menit dan disiarkan oleh sejumlah stasiun televisi nasional. Adapun perinciannya, 120 menit pelaksanaan debat dan 30 menit iklan.

Sorotan banyak pihak tertuju kepada calon presiden Prabowo Subianto yang merupakan Menteri Pertahanan saat ini. Sejumlah pakar pada saat ini menyoroti dan mengevaluasi performa Prabowo dalam menjaga garda pertahanan Indonesia.

Suara Indonesia lebih didengar negara besar

Pengamat Pertahanan Universitas Al Azhar Indonesia Raden Mokhamad Luthfi mengatakan hal yang menonjol dari Prabowo sebagai Menhan adalah diplomasi pertahanannya.

Prabowo terlihat luwes dan percaya diri saat berkunjung ke berbagai negara untuk membina hubungan pertahanan dengan negara-negara major power.

Prabowo juga percaya diri untuk berbicara dalam berbagai forum pertahanan dan keamanan internasional.

“Hal ini positif dalam membawa suara Indonesia menjadi lebih didengar, khususnya dalam tantangan dinamika global dan rivalitas antara Amerika Serikat dan China,” ujar Luthfi kepada Koridor pada Kamis (4/1).

Blunder proposal damai Ukraina-Rusia

Namun, kata dia, publik juga perlu mengingat pidato Prabowo mengenai rencana perdamaian Rusia dan Ukraina yang dipaparkan di Shangri-la Defense Dialogue pada Juni 2023 lalu.

Ucapan itu mendapatkan kritik tajam dari para ahli hubungan internasional di Indonesia, media massa internasional, dan negara-negara Barat.

Rencana perdamaian tersebut justru dianggap menguntungkan negara agresor karena menyarankan zona demiliterisasi yang membuat Rusia dapat menguasai sebagian wilayah Ukraina.

“Hal ini menjadi pertanyaan bahwa apakah pidato Prabowo telah sinkron dengan kebijakan luar negeri dari Kemlu terkait invasi Rusia atas Ukraina?” ujar Luthfi.

Belum tercapainya MEF

Jika Prabowo dinilai sebagai menteri yang paling berprestasi sesuai survei di 2020, secara keseluruhan, Luthfi justru tidak melihat Prabowo benar-benar berhasil.

Luthfi menilai masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan Prabowo.

Salah satunya adalah tidak tercapainya rencana modernisasi militer melalui program Minimum Essential Force (MEF) yang akan berakhir 2024 nanti.

Hanya Angkatan Laut yang berhasil mencapai pencapaian MEF melebihi 70%. Sedangkan Angkatan Darat dan Angkatan Udara berkisar di 60% dan 50%.

Kebijakan MEF sebagai peta jalan modernisasi militer warisan pemerintahan SBY sejak 2010, juga tidak jelas akan kelanjutannya.

Seharusnya, Prabowo dapat merumuskan kebijakan pertahanan yang menyempurnakan MEF yang akan segera berakhir.

“Hal tersebut akan menjadi legacy yang sangat baik untuk pemerintahan dan menteri pertahanan berikutnya,” ujar Luthfi

Berbagai MoU untuk pengadaan alutsista yang dilakukan oleh Prabowo seperti Rafale dan F-15 merupakan angin segar untuk TNI.

Namun saat ini, baru pengadaan Rafale yang memiliki kejelasan anggaran di mana Indonesia menandatangani kontrak untuk 24 pesawat tempur Rafale dan telah memberangkatkan pilot dan teknisi dari TNI AU ke Perancis untuk berlatih.

Menurut Luthfi, pertanyaan yang perlu diajukan dalam pengadaan kedua pesawat tempur canggih ini adalah apa transfer teknologi yang didapatkan oleh Indonesia?

Bagaimana Prabowo memperjuangkan transfer teknologi tersebut untuk kepentingan perkembangan industri pertahanan Indonesia?

“Hal ini sangat penting mengingat Indonesia telah memiliki aturan perundangan yang mensyaratkan transfer teknologi terkait pengadaan alutsista,” jelasnya.

Belum perbaharui buku putih pertahanan

Selama 5 tahun kepemimpinan Prabowo, kata Luthfi, Indonesia juga tidak membuat buku putih pertahanan terbaru (defense white paper).

Padahal buku putih pertahanan merupakan dokumen penting negara untuk memperkirakan berbagai ancaman dan tantangan masa kini dan masa depan serta bagaimana Indonesia melihat dan dapat merespons berbagai ancaman pertahanan dan keamanan tersebut.

Bagi negara demokratis sebesar Indonesia dan menjadi pemimpin di ASEAN, Defense White Paper juga merupakan sarana krusial untuk membangun confidence dan trust building measures dengan negara-negara di kawasan.

Malaysia misalnya, telah memperbaharui Defense White Paper di 2020 lalu, sedangkan Indonesia terakhir kali memublikasikannya di 2015.

Terkait klaim China di zona ekonomi eksklusif di utara Pulau Natuna, Luthfi menilai selama ini memang Prabowo terkesan tidak tegas dan keras terhadap China.

Berbeda dengan Jokowi yang justru beberapa kali naik kapal perang di Natuna untuk memberikan pesan kuat kepada China terkait posisi Indonesia.

Bagi Luthfi, hal ini dapat menjadi catatan kurang positif bagi Prabowo yang saat ini berkontestasi dalam pilpres.

“Seharusnya, Menhan harus menjadi salah satu kementerian yang paling lantang dalam mempertahankan kepentingan Indonesia, khususnya terkait klaim sepihak dari negara lain mengenai ZEE. (Pizaro Gozali Idrus)

Artikel Terkait

Terkini