Jakarta, Koridor.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menuntaskan penanganan dugaan korupsi pengadaan barang di Badan SAR Nasional (Basarnas). Komisi antirasuah itu juga semestinya tidak perlu meminta maaf.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengemukakan hal itu mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan tertulisnya Sabtu (29/7/2023).
Dia juga menyayangkan KPK menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI. Menurut Koalisi, lembaga pemberantas korupsi itu seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dugaan kejahatan korupsi tersebut.
“KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis atau UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum,” ujar Isnur dalam keterangan tertulis kepada Koridor, Sabtu (29/7/2023).
Dengan demikian kata dia, KPK seharusnya jangan takut mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Koalisi khawatir permintaan maaf itu akan menghalangi pengungkapan kasus secara transparan dan akuntabel.
Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas. Kedua tersangka masih tergolong perwira militer aktif, namun tengah menjalani tugas di institusi sipil, yakni Basarnas.
UU KPK sebagai Pijakan Hukum
Koalisi menilai sistem peradilan militer dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah sistem hukum eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan. Mereka menengarai sistem peradilan tersebut seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang terduga melakukan tindak pidana.
Padahal, Pasal 65 ayat (2) UU TNI mengatakan: “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Koalisi menilai penetapan tersangka terhadap Kepala Basarnas dan Koorsmin Kabasarnas sudah benar. Hal itu sebagai sebagai tindak lanjut operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Yaitu, mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap.
“Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap,” sambung Isnur.
Perlu Transparansi dan Akuntabilitas
Koalisi tersebut kini mendesak agar KPK mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang melibatkan Kabasarnas dan anak buahnya itu.
Pengungkapan kasus ini harus menjadi pintu masuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI lainnya. Baik di lingkungan internal maupun external TNI.
“KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini. KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi,” paparnya.
Jangan sampai UU Peradilan Militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara secara terbuka dan tuntas.
Koaliasi juga mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer.
“Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya,” papar Isnur.
Pemerintah juga wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil. Terutama pada instansi yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI. Karena akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran oleh prajurit aktif TNI.
“Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa terusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana.”
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan merupakan gabungan dari sejumlah organisasi. Mereka antara lain, Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, dan Amnesty International Indonesia.
Selain itu, ada Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, dan AlDP.