JAKARTA, Koridor.co.id – BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) muncul sebagai kekuatan baru yang menantang dominasi ekonomi AS dan Eropa.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini, dalam diskusi bertajuk “BRICS vs OECD: Indonesia Pilih yang Mana?”. Diskusi ini digelar oleh Universitas Paramadina melalui Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD).
Diskusi tersebut membahas posisi strategis Indonesia dalam dinamika ekonomi global, terutama terkait potensi pilihan bergabung dengan kelompok negara-negara BRICS atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
“Rusia dan China belum lama ini sudah menyatakan bahwa BRICS lebih besar dari OECD. Dengan pasar yang luas dan populasi dalam skala yang lebih besar dan berkembang,” ujar Didik, Rabu (30/10).
Selain itu, Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa meskipun BRICS membawa potensi besar untuk ekspor dan stabilitas mata uang, tantangannya adalah ketergantungan lebih besar pada China serta hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat yang bisa lebih kompleks.
Wijayanto juga menyoroti ketertarikan 34 negara untuk bergabung dengan BRICS, termasuk Arab Saudi yang menempati posisi penting sebagai negara petrodolar. Ia menjelaskan, meski hubungan ekonomi global sebagian besar masih didominasi oleh dolar AS, BRICS mampu membuka peluang ekonomi melalui stabilitas mata uang lokal dan peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) untuk negara anggotanya.
“Market power BRICS lebih menjanjikan, meski dua negara BRICS sedang mengalami penurunan pertumbuhan penduduk. Jika dibandingkan, pada 2006 -2024 GDP BRICS tercatat lebih tinggi dibanding negara-negara G7/OECD, IMF juga memperkirakan GDP BRICS akan lebih maju ke depan” ungkapnya.
Kini Indonesia dihadapkan dengan opsi lebih tepat untuk bergabung dengan keduanya BRICS atau OECD atau bahkan keduanya? Atau pilihan terakhir yaitu tidak memutuskan bergabung ke BRICS atau OECD seperti 10 tahun terakhir, namun akan kehilangan opportunity dan terlambat, sehingga tidak punya peran optimal dalam membentuk platform dan arah organisasi tersebut.
Inklusivitas Indonesia
Managing Director PPPI sekaligus Ketua Program Studi PGSD Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menegaskan keterbukaan Indonesia dalam peta ekonomi-politik internasional. Mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri Sugiono, Umam menggarisbawahi inklusivitas Indonesia dalam diplomasi ekonomi.
“Indonesia kini berada pada persimpangan penting untuk memperkuat posisinya di antara BRICS atau OECD demi mencapai kesejahteraan dan stabilitas ekonomi,” ungkap Umam.
Umam menjelaskan, jika Indonesia bergabung dengan BRICS, Indonesia akan semakin berkembang dan serupa dengan negara-negara anggota BRICS lainnya, sehingga memungkinkan bagi Indonesia berbagi di bidang ekonomi pembangunan.
“Keuntungannya, memperkuat ekonomi global, mengingat negara anggota BRICS memiliki pengaruh yang besar dalam perekonomian global” imbuhnya.
Namun di sisi lain, jika Indonesia bergabung dengan BRICS, hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan dengan negara-negara barat. Artinya keberpihakan pada aliansi barat menghasilkan sebuah karakter pola relasi yang penuh dengan kecurigaan. Dalam konteks ini yang perlu diantisipasi adalah ketergantungan ekonomi yang lebih besar Indonesia kepada China, karena yang menjadi sumber kekuatan BRICS saat ini adalah China.
Fajar Anandi, Dosen Universitas Paramadina mengungkapkan Indonesia berada pada peringkat ke-9 dari sisi regional menunjukkan peran yang sangat kuat dan besar. Jika melihat posisi Indonesia, kemudian muncul pertanyaan OECD atau BRICS? Fajar menegaskan bahwa pertama yang kita dapatkan adalah international influence, memperkuat hubungan diplomatik dan kolaborasi aktif, meningkatkan kapasitas nasional, mempertahankan kepemimpinan regional dan akses sumber daya
Adapun cara untuk menavigasikan kondisi ini, Indonesia harus pragmatis dan kontekstual. Selain itu harus menggunakan kekuatan terbesar yaitu tidak punya patron dan tidak terbatas.
Kemudian juga harus menyiapkan dari sisi kapasitas yaitu cetak biru kebijakan luar negeri yang jelas dan berkesinambungan sehingga tidak keluar jalur, kemudian aktif membaur dengan negara mana pun. (Pipit Aprilia Rahapit)
Baca Juga: