Sosiolog Unpad Ari Ganjar Herdiansyah menilai julukan Bandung Gotham City, ekspresi kekhawatiran terhadap maraknya kriminalitas karena ketimpangan sosial dan ketidakadilan

Koridor.co.id

Ari Ganjar 2-Foto: Facebook.

Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Ari Ganjar Herdiansyah mengungkapkan salah satu cara mengatasi kriminalitas di Kota Bandung, Jawa Barat, menghadirkan fasilitas-fasilitas untuk kreasi dan aktualisasi generasi muda memang masih diperlukan. Terutama yang bisa diakses oleh kalangan bawah.

Peraih Doktor Filsafat dari Departemen Sosiologi dan Antropologi, University of Malaya itu meminta pembangunan sarana umum jangan terlalu fokus di bagian utara Bandung, yang banyak dinikmati oleh kelas menengah. Pembangunan juga harus memperhatikan bagian selatan yang kondisinya timpang. Maraknya kriminalitas juga bisa dipicu oleh ketimpangan spasial perkotaan.

Bila kami simak dari berita semua kejadian atau sebagian besar pada malam hari menjelang tengah malam, baik korban maupun pelakunya dari kalangan muda di bawah 30 tahun. Kejadiannya kebanyakan di daerah-daerah di mana ada kafe atau tempat wisata kuliner seperti di kawasan Bandung Wetan,  hingga daerah Sumur. Hingga Bandung dijuluki sebuah media tak ubahnya seperti Gotham City. Apa sebenarnya yang terjadi?

Kepada Irvan Sjafari dari Koridor, Kepala Pusat Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran ini menjelaskan masalah kriminalitas di Kota Bandung. Berikut petikannya.

Sekitar tiga bulan terakhir 2022 hingga Januari 2023, cukup sering terjadi kekerasan di jalanan baik yang dilakukan kriminal bermotor hingga benturan oleh hal-hal sepele. Apa yang terjadi? Apakah sudah separah itu? Apakah memang kalangan muda di Kota Bandung rawan sebagai pelaku maupun korban?

Maraknya tindakan kekerasan atau meresahkan yang dilakukan oleh kalangan muda sebenarnya tidak hanya terjadi di Bandung. Pada waktu yang bersamaan, di kota-kota besar lain seperti di Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan kawasan Jabodetabek juga terjadi fenomena serupa.

Artinya, karena fenomena ini tidak unik terjadi di suatu daerah, faktor-faktor yang melatarbelakanginya kemungkinan ada kesamaan atau merupakan gejala umum. Faktor pendorongnya tidak tunggal, melainkan multi dan kompleks. Mulai dari tekanan ekonomi, pengendalian sosial yang melemah, meningkatnya budaya kekerasan, dan kohesi sosial yang longgar.

Sepertinya para pelaku berasal dari kalangan usia produktif tetapi tidak punya pekerjaan atau tidak mampu melanjutkan studi atau latar belakang lainnya yang membuat mereka merasa tercerabut dari kenormalan hidup di masyarakat. Di tengah kefrustasiannya itu, mereka terjerumus di lingkungan pergaulan yang menyimpang dan acapkali berbuat keonaran (deviant culture).

Berbagai aksi kriminal yang mereka lakukan juga perlu dibaca sebagai tindakan untuk menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat, terutama di tempat-tempat keramaian anak-anak muda. Tempat di mana mereka berharap mendapatkan semacam pengakuan.

Julukan Bandung seperti Gotham City tentunya berlebihan, karena Gotham City adalah kota dengan sistem sosial yang sudah rusak. Para pejabatnya korup, polisinya juga sama, dan warganya tidak lagi mengindahkan norma dan moralitas. Tetapi julukan tersebut lebih pada suatu ekspresi atas kekhawatiran dan kritik warga Bandung atas kondisi saat ini yang perlu segera direspons oleh pemerintah dan aparat keamanan.

Anda di PRFM pernah bilang Kota Bandung menjadi episentrum aksi kriminal, dikarenakan faktor perputaran ekonomi yang sangat tinggi. Bahkan paling tinggi di Jawa Barat. Perputaran ekonomi yang baik serta infrastruktur pembangunan yang baik, membuat Kota Bandung dilirik masyarakat luar daerah untuk mengais rezeki.  Apa yang membedakannya dengan kota lain yang banyak pendatang? Lalu ada nggak bedanya antara masa lalu dan fenomena kriminalitas saat ini?

Episentrum aksi kriminal lazim terjadi di kota-kota besar dengan ketimpangan yang tinggi di daerah itu dan sekitarnya. Di kota besar seperti Bandung, kita bisa melihat perputaran ekonomi yang tinggi misalnya dari maraknya kafe-kafe, co-working space, dan unit-unit industri kreatif. Ini mengindikasikan geliat segmen kalangan muda kelas menengah yang sibuk dengan berbagai kegiatan.

Akan tetapi, kita juga melihat begitu banyak pengemis, pengamen anak dan remaja, pedagang asongan, anak-anak putus sekolah, dan pengangguran. Hal tersebut menunjukkan ketimpangan nyata. Jadi, wajar kalau banyak yang mengekspresikan Bandung seperti Gotham City, yang mana kejahatan marak karena ketimpangan yang tinggi dan penuh ketidakadilan.

Kekerasan atau keonaran yang dilakukan gerombolan anak muda memang bukan hal baru di Kota Bandung, tetapi masyarakat merasakan kasusnya semakin intens. Peran media sosial dan media percakapan digital WhatsApp dalam menyebarkan berbagai informasi seputar peristiwa kejahatan di Bandung juga memiliki andil.

Pola kekerasan yang terjadi agak berbeda dengan sebelum-sebelumnya, di mana belakangan ini muncul tindakan-tindakan mirip klitih di Yogyakarta. Para pelaku tanpa sebab menyakiti warga dengan sadis. Untuk kasus-kasus semacam itu, kemungkinan para pelaku berasal dari geng motor yang sedang melakukan uji keberanian agar mendapatkan pengakuan dari kelompoknya.

Menurut Anda apakah fenomena para penjahat jadi semakin berani pertanda memang ada penurunan wibawa kepolisian terutama sejak kasus Sambo dan apakah ini juga terjadi di kota lain?

Ya, di kota-kota lain juga sama. Semenjak polisi jarang terlihat di jalanan, yang momentumnya bersamaan dengan pemberlakuan tilang elektronik, nampaknya warga semakin berani melanggar aturan. Contohnya, di jalan raya, beberapa pengendara motor dengan cuek tidak menggunakan helm.

Kecenderungan demikian sepertinya juga terjadi di kalangan-kalangan yang tak segan melakukan tindak kejahatan dan keonaran. Mereka pun semakin berani. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengendalian sosial yang lemah turut meningkatkan ketidakpatuhan dan perilaku menyimpang warga.

Pada 1950-an di Bandung (juga Jakarta) ada fenomena kenakalan remaja yang juga kerap menjadi pelaku kriminal yang disebut crossboy.  Begitu parahnya crossboy ini yang mungkin terkait pengaruh fllm Hollywood seperti film James Dean  ‘Rebel with a Cause’.  Crossboy akhirnya bisa diatasi seperti militer seperti Siliwangi turun tangan. Apakah memang seharusnya demikian militer diperlukan mengatasi kejahatan ini?  Lalu Menurut Kang Ari apakah fenomena crossboy itu serupa dengan geng motor atau beda?

Mungkin bisa dikatakan fenomena Crossboy adalah cikal bakal geng motor. Pada waktu itu kondisi negara belum stabil dan mempengaruhi lemahnya pendendalian sosial. Tidak hanya Crossboy, geng-geng teritorial juga bermunculan. Namun, untuk saat ini pelibatan militer dalam mengatasi maraknya aksi kejahatan dan keonaran di Kota Bandung merupakan langkah yang keliru. Dalam mengatasi suatu masalah, kita harus memahami dulu akar masalahnya.

Yang jelas kita perlu mengedepankan pendekatan yang civilized, seperti meningkatkan aksesiblitas pendidikan dan kesejahateraan bagi kaum muda. Sedapat mungkin kita harus hindari militerisme.

Militer dirancang untuk menghadapi musuh dari luar dan dilatih untuk membunuh dan menghancurkan, bukan menertibkan sipil. Militer memang harus seperti itu demi menjaga kedaulatan dan keamanan negara. Tetapi, kalau kita melibatkan atau mengadopsi cara militer dalam menangani masalah kriminalitas atau gangguan ketertiban sipil, masyarakat kita justru akan semakin terbelakang, karena menjadikan kekerasan sebagai solusi.

Ari Ganjar-Foto: Instagram.

Bagaimana mengatasi maraknya kejahatan saat ini di Bandung, apakah perlu tindakan keras tetapi juga penyaluran terhadap luapan energi kaum muda, di antaranya menyediakan khusus balapan motor di dalam kota pada waktu tertentu seperti halnya Car Freeday?

Ada faktor yang memang pembenahannya harus mendasar dan jangka panjang, seperti memberikan akses yang luas kepada generasi muda terhadap pendidikan dan pekerjaan. Jangan biarkan mereka tercerabut dari pemenuhan kebutuhannya tersebut, karena kefrustasiannya seringkali termanifestasi pada perbuatan yang menyimpang.

Ada juga upaya yang dapat dilakukan dengan segera seperti penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian dan pengawasan dari orang tua maupun lingkungan sosial di sekitarnya.

Fasilitas-fasilitas untuk kreasi dan aktualisasi generasi muda memang masih diperlukan, terutama yang bisa diakses oleh kalangan bawah. Pembangunan sarana umum jangan terlalu fokus di bagian utara Bandung, yang banyak dinikmati oleh kelas menengah. Perhatikan juga bagian selatan yang kondisinya timpang. Maraknya kriminalitas juga bisa dipicu oleh ketimpangan spasial perkotaan.

Di mata Kang Ari, tipikal kaum muda Bandung itu seperti apa? Bukankah banyak kampus  di Kota Bandung?  Kota yang anak muda kreatif, tetapi kriminal mudanya kreatif?

Sekarang kalangan muda di Kota Bandung bisa dikatakan berciri metropolis, karena banyak yang datang ke kota ini baik untuk belajar maupun bekerja. Mereka membawa budaya dan gagasan yang beragam.

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, ketimpangan di Kota Bandung dapat diamati dengan mudah. Banyak kaum muda yang sekolah atau kuliah dan turut membangun kota dengan kreativitasnya, tetapi tidak sedikit kaum muda yang putus sekolah, tidak dapat melanjutkan studi, dan menganggur.

Kalangan yang kurang beruntung ini tetap memiliki tuntutan pengakuan sosial, status, dan kebutuhan hidup. Tidak bijak kalau kita menyalahkan sepenuhnya kriminalitas atau keonaran ini kepada mereka. Yang harus kita benahi adalah sistem yang menopang kehidupan masyarakat yang saat ini belum memenuhi keadilan sosial-ekonomi bagi semua kalangan.

Beberapa film sinetron seperti Dilan 1990, Dilan 1991, menggambarkan geng motor yang melibatkan anak muda Bandung, hingga Preman Pensiun yang menggambarkan patron client dunia preman apakah itu mencerminkan Kota Bandung?

Bisa diasumsikan demikian, tetapi tentu tidak seluruhnya. Eksistensi geng motor dan kelompok preman merupakan ekses dari proses suatu daerah yang semakin berciri kota (pengkotaan). Kehidupan modern menyediakan ruang bagi munculnya status-status sosial baru yang terbentuk oleh kehidupan perkotaan yang paradoks.

Di satu sisi dinamis, kreatif, dan menguntungkan, namun di sisi lain juga ketat, birokratis, dan keras. Situasi demikian juga memberikan ketidakpastian yang tinggi, di mana terkadang kekuatan fisik atau kekerasan dianggap sebagai mekanisme bertahan terbaik oleh kalangan yang termarjinalkan.

Artikel Terkait

Terkini