Simaklah pernyataan Prof. Ali Munhanif, Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang disampaikannya ketika bercermin pada kasus kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, penangkapan mafia, hingga larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) beberapa waktu lalu.
Menurut Ali, kondisi itu disebabkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih banyak menyerahkan permasalahan negeri kepada para menteri-menterinya tanpa mengawasi langsung secara ketat. Kondisi itu, kata mantan wartawan ini, kemudian dimanfaatkan para mafia, berujung pada kelangkaan yang membuat rakyat menjerit kesulitan mendapatkan minyak goreng.
Lebih dari itu, Presiden Jokowi juga kerap mengandalkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan untuk mengatasi berbagai masalah. Termasuk baru-baru ini mengatasi krisis minyak goreng.
Berikut wawancara khusus Koridor bersama Ali Munhanif:
Bagaimana pandangan anda melihat pemerintahan Indonesia saat ini?
Memang mismanagement Presiden Jokowi, karena setidaknya dua tahun terakhir terlalu fokus untuk mengurusi IKN, sehingga pada aspek-aspek ekonomi level bawah, dia tidak sadar bahwa banyak orang, banyak pemain yang mestinya dia handle sejak awal.
Komitmen Presiden Jokowi kan sebenarnya ingin memberantas berbagai praktek ekonomi yang sangat merugikan. Karena harga mahal, distribusi susah, tidak accessible karena hanya dikuasai kelompok-kelompok tertentu, kartel dan sebagainya.
Politik legislasi sering kali tukar guling, itu berarti dia harus memangkas berbagai proses distribusi yang seringkali memunculkan mafia-mafia. Di situlah, karena fokus IKN-IKN terus, aspek itu tidak di-handle dengan baik.
Tapi kan ada menteri-menterinya yang meng-handle?
Sejumlah menteri punya grip (daya cengkeram) untuk dipercaya, ditunjuk Presiden Jokowi dalam mengatasi mafia. Tapi, sejumlah menteri tidak punya grip, tidak punya daya cengkeram yang cukup. Semua kebijakan, apapun kebijakannya kan sebenarnya ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Ganti rezim, ganti pemain baru. Saya kira Presiden Jokowi periode dua ini kayak begitu mainannya.
Jadi ada orang-orang yang mungkin dulu diuntungkan oleh rezim sebelumnya atau permainan sebelumnya. ketika Presiden Jokowi naik untuk yang kedua kali, mereka merasa terancam akan kehilangan lahan yang sudah diinginkan, di situlah permainan-permainan terjadi.
Apa yang terjadi?
CPO (minyak kelapa sawit), atau mungkin minyak goreng, pemainnya terlalu banyak karena tidak lagi menjadi kebutuhan sekunder. Minyak goreng sudah menjadi bahan pokok itu sendiri, sekian lapisan masyarakat sangat bergantung pada minyak goreng.
Kalau hanya mengatakan “jangan bergantung pada minyak goreng dong kan bisa direbus” keliru juga. Karena, orang yang bergantung tidak hanya ibu-ibu rumah tangga. Sekarang ini, ada juga tukang gorengan, pedagang kecil yang mengandalkan minyak goreng. Nah, distribusi semestinya bagus.
Kok, kesannya pemerintah kalah sama mafia. Anda menangkap kesan itu?
Di situ sebenarnya, kalau boleh jujur Kementerian Perdagangan atau juga yang mengurusi ekspor impor itu terlanjur dikuasai para pemain yang banyak dengan lapisan-lapisan yang beragam. Bayangkan kalau misalnya terjadi perselingkuhan politik, dalam ekonomi perdagangan terutama, misalnya bisa diterima nasihat suatu praktek kartel yang tidak ter-handle baik. Padahal kompetensi Presiden Jokowi pada awalnya soal itu.
Pada dasarnya sejumlah lembaga pemerintahan yang mengurusi kebijakan-kebijakan ekonomi, dimana Presiden Jokowi bilang berniat baik untuk memperbaiki itu terlanjur diserahkan pada satu kelompok tertentu yang dia percaya akan bisa meng-handle.
Nyatanya, Presiden Jokowi seperti membangunkan macan tidur, orang itu dikasih sesuatu tapi terus tidak terkontrol lalu kemudian Jokowi kehilangan remote control-nya. Di situlah permainan-permainan yang digambarkan ekonom, entah itu penegak hukumnya, lalu kemudian pemain bisnisnya atau mungkin pejabat-pejabat level dua-nya, itu mudah sekali bermain di luar sepengetahuan Presiden Jokowi.
Anda contoh siapa pejabat-pejabat yang dimaksud, pada level apa?
Orang-orang yang di mata publik dianggap sebagai orang kuat dalam pemerintahan Presiden Jokowi menjadi sasaran tembak untuk berbagai praktek kecurangan dalam distribusi perdagangan, seperti CPO dan minyak goreng, dan sebagainya.
Dimensi ekspornya maupun dimensi perdagangan domestiknya itu yang saya kira menjadi catatan bahwa kita keliru membiarkan seorang anggota, siapapun dia. Baik untuk yang bertindak seperti perdana menteri, atau supreme minister yang muncul dalam kabinet demokratif presidensialisme begini.
Lalu, seperti apa Anda melihat seorang Presiden Jokowi dalam menangani masalah?
Sederhana saja, bahwa itu menunjukkan Presiden Jokowi tidak mempunyai modal cukup untuk seorang presiden yang capable dengan kompleksitas masalah yang ada dalam perdagangan kita, begitu.
Pertanyaannya adalah, apakah presiden yang sekarang ini memang peduli, ingin punya perhatian terhadap upaya-upaya penyelesaian masalah minyak goreng saat ini atau dia hanya concern dengan popularitas, elektabilitas, istilahnya image politik yang positif.
Kalau memang dia ingin menyelesaikan masalah yang secara politik dan ekonomi tuntas, maka orang-orang yang terlalu berkuasa harus dilepas.
Ibarat kerikil dalam sepatu yang mengganggu perjalanan, ya kerikilnya dibuang. Selilit dalam gigi, ya harus dilepas. Tetapi, kalau dia hanya concern dengan elektabilitas, likability, popularitas yang sekarang ini anjlok dan sebagainya, harus dikurangi peran-peran orang yang atau anggota kabinet yang terlalu supreme.
Saya tidak ingin mengatakan orang tersebut ingin menjadi perdana menteri, tetapi dia meng-handle semua kementerian, kemudian semua harus bertanggung jawab dan hanya dia yang bisa berhubungan dengan Presiden Jokowi soal itu, maka itu menjadi sangat komutatif.