Film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas dan KKN Desa Penari menjawab mana yang meningkat, kualitas atau kuantitas

Koridor.co.id

Arief Akhmad Yani-Foto: Instagram

Penonton film saat ini, mayoritas diisi oleh anak-anak muda kelahiran 1996-2000. Kita juga harus melihat bagaimana sebaran informasi terkait film yang dipromosikan bisa sampai ke mereka, platform seperti Twitter dan Youtube sangat mendominasi.

Demikian antara lain diungkapkan Community Forum Program Director Jogja NETPAC Asian Film Festival  dan pendiri Indonesian Film Community Network (IFCN)  Arief Akhmad Yani mengomentari perfilman Indonesia menjelang Hari Film Indonesia pada 30 Maret 2023.

“Andaikata KKN Desa Penari bukan diambil dari cerita viral di Twitter dan Youtube, tentu saja barangkali film tersebut tidak akan mencapai reach audience yang massif seperti sekarang,” ujar Yani kepada Koridor melalui Whatsapp, Selasa, 14 Maret 2023.

Pria kelahiran Malang, 15 September 1979 itu, sudah  aktif dalam kegiatan perfilman di Indonesia sejak 2003. Yani bekerja sebagai tenaga lepas di beberapa produksi media audio visual dan beberapa festival film yang pernah ada di Indonesia.  Berikut petikan wawancara koridor dengan Irvan Sjafari dengan Arief Akhmad Yani.

Apa komentar Anda soal perkembangan film Indonesia saat ini hingga menjelang Hari Fim Nasional?

Perfilman Indonesia punya singgungan dan sinergi yang kuat dengan kondisi masyarakatnya, baik itu terlihat dari representasi kondisi masyarakat yang dijadikan kendaraan ide cerita film oleh sineas Indonesia, hingga pada capaian target pasar semata.

Bukan menjadi kekurangan, bahkan tidak bisa dikatakan keuntungan juga ketika masyarakat Indonesia mulai berkembang dan mendapatkan kualitas tontonan yang semakin hari semakin berkembang, baik dari segi naratif maupun aspek sinematografinya. Hal ini seakan memberikan bekal bermata dua dalam benak penonton lintas masyarakat Indonesia. Di saat-saat ini, perfilman Indonesia bisa kita lihat sedang gencar gencarnya menaikkan kuantitas perfilmannya, baik series maupun film panjangnya, tidak lupa juga skena film pendeknya.

Faktor film “Adaptasi” menjadi formula mainstream yang sering kita temui hampir semua tontonan film Indonesia, dari adaptasi serial asing hingga cerpen modern yang kita kenal lewat situs “wattpad”. Keberagaman ini tergantung darimana kita melihat perspektif menguntungkannya. Variasi tontonan? jelas menguntungkan.

Namun apakah kuantitas yang meningkat menjadi acuan kualitas yang meningkat juga, hingga mampu menyaingi karya film luar? Jawaban yang tepat lahir dari lingkungan masyarakat penonton yang tepat, singkatnya target pasarnya. Contoh kasus pada dua film Indonesia: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan KKN Desa Penari. Apakah film laku tandanya kualitas meningkat?. Lewat dua film ini sudah cukup menjawab dan merefleksikan perihal mana yang lebih meningkat di pasar perfilman Indonesia sekarang, kualitas atau kuantitas (segi jam tayang dan penonton).

Apakah variasi-variasi genrenya sudah beragam dan kualitas film meningkat bisa bersaing dengan  film impor?

Variasi genre yang muncul sudah beragam, namun dominasi horor belakangan ini kembali. Namun sedikit yang bisa mencapai kualitas baik, jika harus ditanya apakah bisa bersaing dengan film impor atau tidak?. Jawabannya masih belum cukup. Dari hasil sejauh ini, industri kita masih melihat kuantitas daripada kualitas yang mempengaruhi tentu saja jumlah penonton. Sebab bagi anak muda, kuantitas nampaknya tidak terlalu penting, belum jika menyangkut kaitannya dengan kualitas. Di lapangan anak muda lebih sering melihat review dulu sebelum menonton film.

Film horor masih dominan soal perolehan penonton, satu-satunya genre yang mampu bersaing dengan film MCU.  KKN Desa Penari misalnya hanya di bawah Spider Man. Itu pun belum kalau seandainya jumlah bioskop di daerah ditambah, karena segmen film Indonesia yang belum tergarap adalah daerah terutama horor?

Genre Horor jadi komoditas terampuh yang sudah terbukti dari masa ke masa, sebagai wadah implementasi kebudayaan Indonesia yang erat dengan folkfore nya. Lagi-lagi, memberikan rasa relevan kepada penonton menjadi hal yang tidak bisa kita acuhkan, menarik penonton banyak hingga meningkatkan pendapatan dan keuntungan film tersebut.

Ini telah menjadi fenomena di perfilman Indonesia, bagaimana tanpa disadari, tanpa diminta, film horor tetap akan bermunculan tiap tahunnya, tapi mana yang saking bagusnya melekat terus dibenak penonton Indonesia, sedikit jumlahnya.

Mungkin saat Indonesia berada pada tahap akses Bioskop sudah ada di 34 Provinsi, bahkan ke daerah-daerah terpencil, besar kemungkinan genre horor mempertahankan fenomenanya sebagai genre pilihan tontonan masyarakat, tapi ketika melihat contoh kasus pada Ngeri-Ngeri Sedap yang memberikan potret kebudayaan dalam genre drama, sudah saatnya genre horor istirahat dulu dalam posisinya menjadi “wajahnya film Indonesia”.

Mengapa film horor mendominasi?

Film horor mendominasi karena aspek kulturalnya, itulah mengapa beberapa film horor dapat bersaing dengan film asing. Tetapi, yang menentukan lagi-lagi bukan sekedar horor, namun treatment promosi yang dilakukan. Andai kata KKN Desa Penari bukan diambil dari cerita viral di twitter dan youtube, tentu saja barangkali film tersebut tidak akan mencapai reach audience yang massif seperti sekarang. Desa atau bukan, kasus film KKN Desa Penari adalah proses panjang yang didukung oleh bagaimana cerita aslinya muncul pertama kali di dua platform utama penonton muda.

Selama Januari-Maret 2023 hanya Waktu Maghrib yang perolehan penontonnya di atas satu juta? Itu horor.  Film yang mencoba mengenakan kembali era 1980-an ke generasi milenial seperti Balada Si Roy dan Gita Cinta dari SMA  nggak banyak diminati? Begitu juga Virgo and The Sparkling dan Sri Asih yang ramai media sosial tetapi ternyata jatuh penontonnya? Padahal kasting bagus. Apa yang terjadi pada film-film ini hingga kurang diminati khususnya penonton baru?

Jika melihat penonton saat ini, yang mayoritas diisi oleh anak-anak muda kelahiran 1996-2000, kita juga harus melihat bagaimana sebaran informasi terkait film yang dipromosikan bisa sampai ke mereka. Platform seperti twitter dan youtube menurut saya sangat mendominasi. Bisa dilihat dari banyaknya respons terkait film yang sedang tranding di dua platform itu lebih banyak ditemui jika dibanding instagram maupun facebook.

Dan jika diperhatikan, peran reviewer hingga kritikus di dua platform itu cukup menentukan opini calon penonton untuk memutuskan apakah akan menonton suatu karya film atau tidak. Ini adalah bukti lapangan bahwa casting bukan satu-satunya penentu pasar penonton film hari ini. Namun bagus atau tidaknya kualitas film tersebut.

Tidak bisa disangkal, Waktu Maghrib punya daya tarik yang menjadi formula utama film horor di Indonesia: folkfore terdekat masyarakat Indonesia. Tapi ketika hanya menjadikan “horor” sebagai alasan film Indonesia yang laku, tentu perlu dilihat ekosistem film yang tayang di saat itu.

Jika harus dibandingkan dengan Balada si Roy dan Gita Cinta dari SMA, yang harus diakui awal mengapa film itu dibuat sebagai wahana nostalgia saja, agak susah memberikan relevansi ke penonton hingga di tahap menarik penonton khalayak untuk menonton film tersebut. Dampak sosial media yang semakin dekat dengan masyarakat, bisa dikatakan menjadi alasan utama juga mengapa film bisa laku dan tidak.

Taruhlah di media Twitter, jika ada lebih dari 10 opini tentang keburukan film A misal, generasi yang melek dengan percepatan informasi bisa saja tanpa sadar terpengaruh dengan opini tersebut, bahkan tidak sedikit yang belum meluangkan waktu menonton sudah menyatakan keputusan untuk enggan menonton film tersebut.

Kita bisa sebut warga Twitter sebagai Rotten Tomatoes Indonesia era sekarang. Jika harus dirangkum, wahana nostalgia saja tidak cukup, menghadirkan deretan jajaran pemeran yang datang dari: Aktris/aktor muda yang lagi naik daun; Influencer yang belum pernah ada track record dalam dunia seni peran; bahkan mengandalkan Pemeran terdahulu atau aktris/aktor lama; juga tidak cukup.

Apa catatan Anda soal Hari Film Nasional?

Semarak memperingati HFN semoga bukan menjadi euforia sementara pada bentuk aktivitas perfilman Indonesia, namun bisa menjadi refleksi bagi kita semua insan perfilman dalam menyikapi banyak hal yang masih carut marut antar lini, dimana perlu adanya singkronisasi aturan mulai dari hulu hingga ke hilir yang meliputi gerak dan tumbuhnya perfilman Indonesia, misalkan perubahan UU no 33 tahun 2009 tentang Perfilman.

Dengan adanya urgensi RUU Perfilman perlu segera adanya perubahan tata kelola perfilman, dari sudut pandang saya sebagai pelaku/insan perfilman yang berkegiatan di komunitas film, maka istilah/sebutan “komunitas film” perlu dicantumkan secara khusus di dalam UU Perfilman yang baru dimana komunitas film melingkupi kelompok produksi, kelompok apresiasi, kelompok distribusi, kelompok eksibisi, kelompok edukasi, dan kelompok pengarsipan didalam ekosistem perfilmannya.

Mereka adalah entitas yang berhadapan langsung dengan masyarakat sebagai konsumen dari semua produk film yang mungkin tidak bisa dijangkau oleh pemerintah pusat. Semenjak 2012 dari semua program pemerintah (Lembaga/Institusi/Badan/Kementerian) dalam upaya komunikasi publiknya salah satunya menggunakan film, dan sasaran utamanya adalah komunitas film.

Bagi para pelaku Perfilman, utamanya komunitas film, HFN bukan untuk selebrasi euforianya, namun sebagai momentum komunitas film menjadi komoditas yang memiliki nilai IPOLEKSOSBUDHANKAM SARA

Bagaimana peran Komunitas Film terhadap perkembangan film?  Apa saja kontribusi yang mereka lakukan?

Beberapa tahun ini sudah semakin banyak bermunculan platform yang mencari film pendek untuk didistribusikan dalam bentuk yang bermacam-macam. Di sisi lain, pencarian filmmaker baru untuk mengisi platform tersebut juga semakin gencar dilakukan untuk merespon perkembangan film pendek Indonesia yang memiliki potensi besar dalam lingkup yang bukan untuk komunitas saja. Melainkan memberi kesempatan kepada film-film lainnya ke lingkup yang lebih besar di ranah perfilman Indonesia

Semoga dengan adanya ruang/media alternatif yang banyak bermunculan ini bisa kembali memberikan efek domino yang positif kepada filmmakernya dan juga untuk filmnya. Terutama untuk ruang-ruang lain selain ruang festival-festival film.

Indonesian Film Community Network (IFCN)  kapan berdirinya dan apa latar belakangnya dan apa saja kegiatannya dan berapa anggota dari kalangan mana? Apa rencana ke depan?

Pada 2015 saya menyadari dengan mengelola Community Forum JAFF sejak 2012, menyadari bahwa ini bisa sebagai profesi baru dalam dunia perfilman yakni pengelola Jejaring Komunitas Film Indonesia, dari hal tersebut melatarbelakangi pada tahun 2019 menginisiasi mendirikan IFCN dengan mengajak dua kawan yang memiliki pandangan yang sama tentang peluang ini, dikarenakan tidak banyak pelaku film yang melakukan hal ini, di mana lingkup kerjanya sangat dibutuhkan oleh banyak Lembaga/Institusi/Badan/Swasta dalam menyelenggarakan program-program kegiatannya yang berkaitan dengan komunitas film di Indonesia. IFCN bukan sebuah perkumpulan yang membawahi komunitas film di Indonesia namun lebih kepada mengakomodir dalam menjalin komunikasi antar komunitas film di Indonesia.

Plan ke depan dari IFCN bisa menjadi jembatan antarkomunitas film dan bersinergi dengan banyak unsur kegiatan Perfilman di Indonesia, mulai dari giat edukasi, produksi, distribusi, eksibisi, apresiasi, penelitian, dan pengarsipan.

Artikel Terkait

Terkini