Sejarawan nilai sejarah berbentuk animasi lebih menyenangkan bagi siswa

Koridor.co.id

Dyah Merta-Foto: Irvan Sjafari.

Sejarawan sekaligus novelis Dyah Indra Mertawirana menyampaikan di tengah kebangkitan animasi Indonesia-sekalipun terlambat dibanding dengan negara seperti Amerika Serikat dan Jepang-tidak ada satu pun buku tentang Sejarah Animasi Indonesia.

Padahal menurut perempuan yang dikenal sebagai Dyah Merta ini dengan memiliki sejarah animasi yang ditulis oleh bangsa sendiri, ini akan memberi nilai pembelajaran dan kebanggaan sekaligus identitas bagi industri animasi kita.

“Ini juga menjadi bentuk penghargaan bagi para kreatornya karena mereka tidak akan “menguap” dari memori kita begitu saja, hilang dan dilupakan,” kata penulis novel Peri Kecil di Sungai Nipah (2007).

Redaktur Senior Komik Komunika yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak tahun 2019 hingga saat ini juga menjadi penulis skenario film animasi Biyani.

Berikut petikan wawancara Dyah Merta dengan Irvan Sjafari dari Koridor melalui Whatsapp 2 April 2023.

Dalam acara Muspen Talk di Taman Mini Indonesia Indah pada  30 Maret 2023 Anda mengatakan belum ada buku sejarah animasi di Indonesia sebagai hal mengerikan. Mengapa? Apa kerugiannya bagi industri animasi?

Peter Carey, seorang Indonesianis asal Inggris, menyebutkan tanpa sejarah, sebuah bangsa hanya akan menjadi “tweedehands”, sebagai bangsa “tangan kedua”. Tanpa sejarah, identitas sebuah bangsa akan lemah dan sulit mencapai cita-cita menjadi negara adikuasa. Salah satu kerugian bagi industri animasi, tema-tema Indonesia justru diangkat oleh animator di luar Indonesia, misalnya dalam “Raya and the Last Dragon” (2021), “Carmen Sandiego” (Season 1, 2019), dan sebagainya.

Ingatan akan sejarah sangat berharga. Dengan memiliki sejarah animasi yang ditulis oleh bangsa sendiri, akan memberi nilai pembelajaran dan kebanggaan sekaligus identitas bagi industri animasi kita. Ini juga menjadi bentuk penghargaan bagi para kreatornya karena mereka tidak akan “menguap” dari memori kita begitu saja. Hilang dan dilupakan. Buku sejarah animasi tidak sebatas mendokumentasikan capaian dan karya anak bangsa tapi menjadi potret pertumbuhan animasi, baik secara kualitas, kuantitas, dari para pelaku hingga industri.

Mengapa sulit membuat buku sejarah animasi di Indonesia? Sumbernya sulit karena butuh ketekunan? Siapa yang berhak menulis buku sejarah animasi, seorang (calon) sejarawankah untuk skripsi atau tesisnya? Atau dari kalangan disiplin ilmu lainnya?

Hari ini buku sejarah tidak mesti ditulis oleh sejarawan. Rosihan Anwar, seorang wartawan, menulis dengan gaya “petite histoire”, yang menarasikan sejarah kecil dengan mengemukakan hal-hal unik dari apa yang disaksikannya. Itu bisa ditiru.

Tantangannya karena ini seperti semacam karya pendobrak, riset yang dibutuhkan lebih berat supaya terpenuhi sumber-sumber primer. Tentu terbuka peluang bagi siapa saja untuk berkontribusi menulis sejarah animasi Indonesia.

Catatan tentang animasi Indonesia sebagian bisa diakses dari buku “Pekan Komik & Animasi Nasional 98”, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia terbit pada tahun 1999. Sudah ada riset-riset terkait animasi di Indonesia, namun setahu saya belum dibukukan.

Anda  kan sejarawan awalnya? Apakah peristiwa sejarah baik peristiwa fakta maupun fiksi dengan setting sejarah bisa menjadi konten film animasi? Bisa nggak sejarawan berkontribusi menjadi konten kreator animasi?

Saya membayangkan ada narasi sejarah Indonesia bisa ditampilkan dalam versi animasi lebih banyak. Animasi  Battle of Surabaya (2015) misalnya, berlatar sejarah Indonesia pada tahun 1945 ketika Jepang dibom oleh Sekutu. Melalui tokoh Musa, animasi berlatar historis ini tetap enak dinikmati karena dinarasikan dengan ramuan fiksi, aksi dan petualangan.

Sangat menarik bila peristiwa sejarah diangkat dalam bentuk film animasi atau serial dan menjadi bahan materi pembelajaran di sekolah-sekolah. Anak-anak akan belajar sejarah dengan cara yang lebih menyenangkan, alih-alih membosankan. Sejarawan bisa berkontribusi dalam tahap riset hingga detail-detail dari era yang dibutuhkan, misal bila berlatar zaman kolonial, visualisasinya bakal beda dibandingkan di masa sekarang.

Dyah Merta-Foto: Dokumentasi Pribadi.

Apa saja  yang Anda  lakukan untuk industri animasi atau dunia animasi Indonesia? Sudah buat apa saja?

Sejauh ini saya bersama Komunika baru membuat serial animasi “Biyani” (2021-2022) yang target penontonnya anak-anak. Sudah ada lima seri yang tayang. Ada yang pernah tayang di Mentari TV dan Kemkominfo TV. Animasi “Biyani” mengangkat “slice of life” dari karakter Biyani dan dunia di sekelilingnya.

Isu-isunya yang relevan dengan kehidupan hari ini, seperti perundungan, pinjol ilegal hingga tv digital. Peran utama saya selain pada pengembangan IP juga menulis skenario untuk animasi “Biyani”. Di luar itu, tahun lalu saya membantu pengembangan IP Epen dan Owa milik Museum Penerangan.

Apakah dasar ilmu sejarah murni yang didapat di bangku kuliah membantu?

Ilmu Sejarah yang saya pelajari memang tidak ada hubungan secara langsung dengan produksi animasi. Tapi seperti yang pernah saya katakan ke mahasiswa sejarah di Universitas Sanata Dharma tahun lalu, sejarawan memiliki modal riset hingga menjangkau pada sumber primer dan itu berguna dalam bidang kerja apa pun. Artinya, kami dididik berkarya tidak sebatas mengandalkan imajinasi tetapi didukung dengan riset ilmiah.

Animasi-animasi di luar sana, contohnya “Coco” (2017) yang diproduksi oleh Pixar, melakukan riset tradisi dan budaya masyarakat Meksiko, seperti tradisi Día de los Muertos, memberikan persembahan kepada si mati, termasuk adanya mitos Land of the Dead, di mana si mati akan hidup terus di tanah itu selama masih ada yang mengingatnya.

Budaya riset sangat diperlukan dalam industri animasi Indonesia. Kita bangsa multikultur dan ini adalah bahan serta amunisi bagi dunia animasi Indonesia agar tidak kehilangan kreativitasnya. Mengapa? Kita juga memiliki mitos-mitos dan kaya akan dongeng. Diperlukan kreativitas sesuai zaman untuk membuat cerita-cerita itu mudah diterima oleh penonton hari ini.

Di Muspen Talk, Anda  bilang sebetulnya akar sejarah animasi Indonesia lebih panjang dimulai dengan lukisan gua hingga wayang kulit, karena wayang kulit adalah animasi adalah wayang kulit yang didigitalkan, itu bisa jadi modal? Begitu juga dengan keaneka ragaman budaya Indonesia yang belum tergali?  Seharusnya  bagaimana memanfaatkan hal ini?

Dengan menengok lukisan cadas di dinding gua seperti di Leang Tedongnge, Sulawesi, kita paham bahwa nenek moyang bangsa di nusantara memiliki bukti kecerdasan seni. Pada periode selanjutnya pun demikian, bila kita melihat relief-relief candi, wayang, iler-iler, dan sebagainya. Merujuk pada Dwi Koendoro (1999), dikatakan bahwa animasi Indonesia hanya mengalami satu kali perubahan, yaitu dari teknik wayang kulit-animasi, ke teknik sinematografi. Ini menegaskan bahwa kultur kita sebenarnya begitu dekat dengan animasi.

Local genus atau cerlang budaya ini bisa menjadi kapital yang tidak ternilai harganya. Menurut saya cuma butuh “magic stories” dari cerita-cerita lama yang diolah kembali dengan rasa hari ini. Bukan sekadar re-make, tetapi lebih pada keberanian mendekonstruksi atau menulis ulang supaya cerita-cerita itu tidak hilang dan terlupakan. Tantangan awal ya pada pilihan cerita/ karakter dan penulisan script yang hebat.

Selain animasi Amerika, Jepang juga raksasa industri animasi bahkan unsur budayanya kental sekali. Bukankah Voltus V atau Ultraman gambaran samurai Jepang?  Bagaimana menurut Anda tentang animasi Jepang ini yang unsur identitas budayanya kental? Bagaimana dengan Indonesia apakah bisa punya karakter sendiri atau lebih beragam?

Animasi di Jepang sudah dimulai sejak 1917. Mereka memiliki sejarah animasi panjang. Jepang secara historis melakukan pembaratan sejak Restorasi Meiji (1868). Meiji berarti kekuasaan pencerahan dan pemerintah waktu itu bertujuan menggabungkan “kemajuan Barat” dengan nilai-nilai “Timur”. Jepang menyadari betapa terbelakangnya mereka dibandingkan negara-negara lain di dunia pada saat itu.

Mereka mencari pengetahuan yang dapat mengubah Jepang menjadi modern dan melakukan westernisasi secara cepat. Dengan moto “Bunmei kaika” atau peradaban dan pencerahan, pengaruh budaya Barat dipromosikan secara luas di Jepang, termasuk animasi. Jepang hari ini adalah hasil dari pembaratan dan local genus yang kemudian melahirkan anime dan manga.

Animasi Indonesia menurut saya sudah berusaha menautkan dengan unsur-unsur budaya lokal meski gaya visualisasinya masih terpengaruh animasi dari luar Indonesia. Kita juga terhitung mengembangkan animasi baru di akhir abad ke-20. Tapi secara skill, animator-animator kita tidak ketinggalan. Bila animasi Indonesia tidak mengalami “mati suri” lagi, saya yakin ke depan produk animasi kita akan dicintai oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Secara industri sudah terbukti kita memiliki kompetensi, tinggal menunggu IP (intellectual property) dari anak-anak bangsa turut menyemarakkannya.

Artikel Terkait

Terkini