Aktivis Extinction Rebellion (XR) Indonesia, sebuah gerakan yang berfokus pada isu krisis iklim Melissa Kowara menyampaikan seringkali kita meleburkan semua kepentingan kehidupan menjadi ‘ekonomi’. Padahal menurut alumni University of Cambridge (Judge Business School), Queens’ College (2011) dan London School of Economics & Political Science (2010) itu, yang merusak lingkungan dalam skala besar mayoritas mengedepankan ekonomi segelintir orang atau yang seringkali disebut oligarki. Mereka merusak ekonomi masyarakat setempat yang bergantung terhadap lingkungan itu sendiri.
“Selama 2022 lingkungan hidup di Indonesia makin memburuk. Pada 2022, dan bahkan sejak pandemi Covid-19, kita menyaksikan bagaimana kerusakan lingkungan demi ekonomi segelintir ini malah ditingkatkan, dibantu oleh ketidakbijakan yang melenggangkan praktik kerusakan ini, dan mengorbankan lingkungan hidup dan sumber ekonomi orang banyak,” papar Melissa Kowara kepada Irva Sjafari dari Koridor terkait evaluasi politik dan kebijakan lingkungan hidup di Indonesia selama 2022.
Berikut petikan wawancara dengan Melissa Kowara, yang juga pimpinan Toy Maker, KADO The Gift, Jakarta, Indonesia sejak 2019.
Selama 2022, Anda sebagai aktivis bagaimana melihat persoalan lingkungan hidup di Indonesia. Soal sampah plastik, deforestasi terutama akibat ekspansi perusahaan tambang, sawit di satu sisi berkaitan dengan kepentingan ekonomi, tetapi di sisi lain merusak lingkungan hidup?
Persoalan lingkungan masih cenderung memburuk. Benar dari segi sampah, deforestasi, kerusakan ekosistem dan biodiversitas, pencemaran udara, air, dan tanah semuanya masih meningkat. Tapi mungkin pertanyaan yang kita perlu garis bawahi adalah untuk kepentingan ekonomi siapakah semua kerusakan lingkungan ini dilakukan?
Seringkali kita meleburkan semua kepentingan kehidupan menjadi ‘ekonomi’, padahal yang merusak lingkungan dalam skala besar mayoritasnya mengedepankan ekonomi segelintir orang (yang seringkali disebut oligarki) dan merusak ekonomi masyarakat setempat yang bergantung terhadap lingkungan itu sendiri.
Pada 2022 , dan bahkan sejak pandemi, kita menyaksikan bagaimana kerusakan lingkungan demi ekonomi segelintir orang ini malah ditingkatkan, dibantu oleh ketidakbijakan yang melenggangkan praktik kerusakan ini, dan mengorbankan lingkungan hidup dan sumber ekonomi orang banyak.
Menurut Anda bagaimana respon pemerintah dan partai politik terhadap persoalan lingkungan hidup ? Apakah sudah peduli walaupun sedikit atau sama sekali tidak peduli?
Kalau ditanyakan ke individu dalam pemerintahan atau partai politik pasti jawabnya peduli ya. Tapi memang sistem ekonomi politik kita hari ini hanya mengejar ekonomi kapitalis berbasis PDB itu. Tujuan utamanya, memaksimalkan PDB, yang lalu memperbolehkan elit politik untuk menumpuk harta pribadi dengan dalih pertumbuhan ekonomi nasional.
Tujuan ini pun mengesampingkan kualitas hidup, lingkungan hidup, kesejahteraan masyarakat, pemenuhan kebutuhan, keadilan dan metric lainnya yang seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah dan partai politik.
Tapi hal ini juga tidak bisa berlangsung lama. Karena dengan kerusakan lingkungan yang terus menumpuk, lalu mengakibatkan perburukan krisis iklim dan pemanasan global, ekonomi kapitalis yang bergantung terhadap eksploitasi alam itu pun tidak mungkin bisa berlangsung. Ekonomi, akan hancur. #NoEconomyOnADeadPlanet
Bukankah terutama setelah COP 2022, seharusnya pemanasan global kencang di parlemen?
COP pada 2022 berupa COP ke 27. Kali ini para pemerintah dunia bertemu membicarakan cara untuk keluar dari situasi krisis iklim, tapi masih belum juga berhasil. Beberapa COP terakhir menunjukkan, delegasi terbesar dalam pertemuan dan diskusi penting berupa perwakilan dari industri ekstraktif (energi fosil, pertambangan, perkebunan monokultur, termasuk sawit) yang berkontribusi paling besar dalam pemanasan global itu sendiri.
Jadi meski kita perlu apresiasi bahwa para pemerintah negara-negara di dunia sudah melek terhadap isu krisis iklim dan betapa pentingnya ditanggulangi untuk kelangsungan hidup kita Bersama. Di sisi lain kita juga perlu menyadari bahwa solusi yang dikeluarkan oleh perwakilan industri yang mengakibatkan kerusakannya akan selalu memprioritaskan kelangsungan industri tersebut, bukan keselamatan kita bersama.
Bagaimana juga Anda menilai respon pemerintah dan partai politik terhadap isu pemanasan global?
Sayangnya ini juga terjadi di parlemen dan pemerintahan Indonesia, dimana 16 dari 30 menteri kita berupa pemain tambang, dan hampir setengah dari DPR kita merupakan pengusaha yang banyak bergerak di industri ekstraktif perusak lingkungan.
Jadi meski sudah pada tahu pemanasan global atau krisis iklim ini hal penting, yang jadi prioritas masih tetap industri yang mereka pegang akibat konflik kepentingan.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap pertemuan KTT G20 yang dinilai tidak memperdulikan lingkungan hidup oleh para aktivis? Bagaimana Anda melihatnya?
Memang fungsi dari G20 yang utama adalah untuk memastikan ekonomi PDB dunia terus tumbuh. Dan ekonomi kapitalis ini secara prinsip bertolak belakang dengan lingkungan hidup dan keselematan kita di era krisis iklim. Dan sayangnya ini juga terlihat dalam pengadaan KTT itu sendiri.
Contoh paling mudah, di Bali, dimana dilakukan acara penanaman mangrove oleh para pemimpin G20 sebagai simbol dari pelestarian lingkungan. Tetapi, saat yang bersamaan, direcanakan adanya pembangungan terminal LNG yang akan merusak hutan mangrove di area pesisir Sanur.
Bukan hanya merusak lingkungan secara langsung, tapi malah meningkatkan infrastruktur dan penggunaan energi fosil yang bertolak belakang dengan “transisi energi” yang seharusnya jadi isu prioritas.
Bagaimana juga dengan kebijakan pajak karbon oleh Uni Eropa, apa benar bisa efektif untuk mengurangi deforestasi di Indonesia?
Pajak karbon bukanlah silver bullet untuk persoalan lingkungan, apalagi deforestasi yang masalahnya multilevel. Tetapi, memang hal yang dibutuhkan untuk dilakukan, sebenarnya semua hal buruk untuk kepentingan publik seharusnya diberikan disinsentif oleh pemerintah untuk berkurang (dan kebalikannya, hal hal yang baik diberikan insentif agar bisa tersebar luas dan diterapkan oleh orang banyak).
Lalu lagi-lagi bisa dianggap tudingan bahwa jangan-jangan ada soal persaingan dagang atau kepentingan ekonomi di balik politik pajak karbon?
Kita terlalu sering dialihkan ke persaingan dagang atau kepentingan ekonomi (lagi lagi ekonomi segelintir), dan dari sudut pandang elit politik yang memiliki kepentingan dalam industri tersebut, memang benar, tapi itu bukan demi kepentingan orang banyak. Termasuk masyarakat indonesia secara luas yang sekarang sudah banyak menderita akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang mengakibatkan bencana untuk datang bertubi-tubi setiap harinya.
Di beberapa daerah, pariwisata juga berbenturan dengan lingkungan hidup. Yang paling mencolok kasus Danau Batur, Bali, limbah juga berasal dari resort, selain rumah tangga dan keramba. Di Kota Batu, Jawa Timur, pariwisata menggerus pertanian dan di Bandung ada soal Kawasan Bandung Utara. Namun ada juga yang bisa kawin seperti di Pantai Clungup. Kabupaten Malang. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Sektor apa pun bisa dikelola dengan baik secara regeneratif dan selaras dengan alam. Sayangnya era modern yang didikte oleh ekonomi kapitalis hari ini tidak didasari prinsip- prinsip ini, dan hanya mengepankan pemaksimalan keuntungan pribadi. Terlebih lagi penegakan hukum di Indonesia sangat buruk untuk isu pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Meski individu dan pelaku usaha bisa secara sadar mengembangkan pariwisata dengan baik, tapi ini sangat membutuhkan dukungan regulasi, edukasi, penegakan hukum, contoh baik, insentif dan hal hal lain yang bersifat sistemis dari pihak pemerintah untuk bisa disebarluaskan untuk menjadi standard operasional di mana pun.
Dalam kasus penggerusan pertanian menjadi pariwisata, itu pun membutuhkan ketegasan dari pemerintah untuk dilimitasi. Daya tampung dan daya dukung kawasan setempat seharusnya menjadi acuan utama pemberian izin, bersama dengan persetujuan masyarakat sekitar yang adil dan partisipatif tanpa paksaan. Dan ini juga perlu didampingi dengan perubahan paradigma ekonomi yang tidak terus-terusan harus tumbuh, dimana lahan ‘kosong’ atau pertanian dianggap tidak produktif dibandingkan hotel.
Bagaimana Anda melihat 2023, apakah optimistis atau pesimistis soal lingkungan hidup dapat respon dari pemerintah maupun parpol?
Menurutku pribadi, kita tidak bisa menggantungkan nasib kita kepada pemerintah atau parpol untuk menyelesaikan isu krisis iklim atau lingkungan hidup jika tidak ada perubahan sistemis atau dari cara pembuatan kebijakan.
Yang kita perlu susun secepatnya adalah mekanisme pembuatan kebijakan yang mampu untuk melampaui politik praktis atau konflik kepentingan untuk menyelesaikan isu mendesak seperti krisis iklim.
Sudah banyak solusi yang tersedia tapi karena konflik kepentingan, yang diberi sumber daya, pendanaan dan dukungan malah hal-hal yang memperburuk situasi atau solusi palsu yang tidak menyelesaikan masalah atau cenderung memperburuk (seperti mobil listrik).
Tapi di luar dari pembentukan sistem pembuatan kebijakan yang baru itu, kita sebagai warga negara perlu terus menyuarakan desakan menolak hal-hal buruk, dan menuntut hal- hal baik untuk diberi dukungan.
Jika ada warga negara yang punya akses masuk partai politik untuk membawa perubahan dari dalam, itu juga penting dilakukan untuk mendorong perubahan sistem tersebut.
Soal optimistis atau pesimistis, kita harus optimistis bahwa perubahan yang kita inginkan (dan butuhkan untuk bertahan hidup) akan terjadi. Tetapi, optimisme itu hanya akan tumbuh dengan aksi.