Sahkan perjanjian ekstradisi buron dengan Singapura, Indonesia harus buru aset hasil korupsi. Tapi kecil kemungkinan koruptor BLBI bisa dijerat

Koridor.co.id

Profesor Atip Latipul Hayat. (Foto Antara)
Profesor Atip Latipul Hayat. (Foto Antara)

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan telah disahkan menjadi Undang-undang (UU). Pengesahan itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 15 Desember 2022.

Ekstradisi buronan merupakan upaya penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan tindak pidana di luar wilayah negara yang menyerahkan. Serta di dalam yurisdiksi negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang mengadili dan memidananya.

Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut Perjanjian Ekstradisi ini berjumlah 31 jenis. Di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

Indonesia dan Singapura menyepakati tiga perjanjian kerja sama yakni ekstradisi, Flight Information Region (FIR), dan Defense Cooperation Agreement (DCA). Pada 6 Desember 2022, DPR mengesahkan ratifikasi perjanjian pertahanan antara Singapura dan Indonesia yang diharapkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dapat mempererat hubungan pertahanan kedua negara.

Sedangkan perjanjian FIR diteken Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 109 Tahun 2022 Tentang Pengesahkan Ratifikasi Perjanjian Penyesuaian Batas Flight Information Region dengan Singapura pada September 2022.

Untuk melihat bagaimana perjanjian ekstradisi buron ini akan bekerja ke depan, Pizaro Gozali Indrus dari Koridor mewawancarai Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjajaran, Bandung, Prof. Atip Latipul Hayat yang sangat concern dalam mengkaji perjanjian antara Singapura dan Indonesia. Berikut petikannya.

Apa yang harus dilakukan Indonesia setelah perjanjian ini disahkan? Prioritas kasus apa yang harus dikejar oleh pemerintah Indonesia?

Perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura yang fokus utamanya kepada pertukaran mereka yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, tujuan akhirnya bukan hanya berhenti pada pertukaran orangnya, melainkan juga kembalinya aset hasil korupsi tersebut.

Proses hukum terhadap para koruptor yang selama ini berlaku lebih fokus kepada pemidanaan semata, belum menyentuh pengembalian aset hasil korupsi kepada negara. Untuk itu, yang mendesak untuk dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia adalah adanya undang-undang pengembalian aset hasil korupsi.

Kejahatan yang harus diprioritaskan tentunya adalah kejahatan korupsi, karena para pelaku kejahatan ini menjadikan Singapura sebagai tempat pelarian sekaligus perlindungan yang aman bagi mereka, seperti para pelaku korupsi BLBI.

Hanya sayangnya kejahatan ini tidak akan terjangkau oleh perjanjian ekstradisi ini yang berlaku surut hanya 15 tahun. Jadi korupsi BLBI yang dilakukan pada tahun 1998, kecil kemungkinan untuk bisa dijerat dengan perjanjian ekstradisi ini.

Apa keuntungan perjanjian ini bagi Singapura?

Tidak banyak keuntungan bagi Singapura, karena pada dasarnya Singapura tidak begitu menghendaki adanya perjanjian ini. Secara tidak langsung Singapura tampaknya tidak begitu hirau dengan bagaimana caranya para koruptor itu membawa asetnya ke Singapura.

Kalau pun ada kepentingannya dengan perjanjian ini, Singapura hanya ingin memberikan kesan kepada dunia bahwa Singapura bukan tempat perlindungan yang nyaman bagi para koruptor.

Apakah sebenarnya Singapura lebih mengejar perjanjian FIR, karena perjanjian ekstradisi ini disebut-sebut sepaket dengan FIR dan kerja sama pertahanan?

Tepat sekali, perjanjian ekstradisi ini dijadikan sebagai barter untuk perjanjian pengambilalihan FIR. Dalam hal ini, Singapura mendapat banyak keuntungan, dalam perjanjian ekstradisi Singapura memperoleh citra yang baik, selain itu Singapura juga menjadikan perjanjian pertahanan (Defense Cooperation Agreemen/DCA) sebagai barter berikutnya.

Untuk DCA Singapura nyaris dapat keuntungan yang sempurna, sementara perjanjian FIR, Indonesia nyaris tidak dapat  keuntungan apa-apa, karena dengan perjanjian tersebut ternyata Indonesia mendelegasikan kembali FIR Singapura kepada Singapura selama 25 tahun.

Mengapa pengesahan perjanjian ekstradisi terpisah dengan pengesahan perjanjian FIR?

Inilah masalahnya. Pemerintah sudah terlebih dahulu mengesahkan perjanjian FIR dengan Perpres (Peraturan Presiden), artinya pemerintah mengesahkan perjanjian tersebut tanpa persetujuan DPR.

Pemerintah menganggap bahwa persoalan FIR adalah persoalan teknis penerbangan, tidak ada kaitannya dengan masalah kedaulatan dan pertahanan.

Dalam hal ini pemerintah keliru, karena perjanjian FIR menyangkut pengelolaan ruang udara yang menjadi kedaulatan negara kita, harusnya ratifikasi Perjanjian FIR dengan undang-undang yang berarti harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR.

Artikel Terkait

Terkini