
Mengapa kalau perempuan pulang malam mendapat cibiran, mendapat siulan yang kerap bernada mesum? Mengapa ada stigma kalau perempuan yang pulang malam adalah perempuan ‘tidak benar”? Padahal dia harus bekerja mencari nafkah atau kuliah malam.
Demikian ungkapan aktivis Komunitas Lentera Sintas Indonesia Roosalina Wulandari membuka pembahasan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam diskusi plus peluncuran buku Perempuan dan Sinema di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Minggu 18 September 2022.
“Pertanyaannya mengapa kalau laki-laki yang pulang malam tidak mendapat stigma demikian? Mengapa laki-laki bercelana pendek nongkrong di warung indomie tidak ada yang jahil?” gugat peraih gelar Doktor Fakultas Psikologi UI ini.
Masalahnya perempuan sendiri juga menyalahkan sesamanya yang pulang malam sebagai orang yang tidak benar. Padahal bisa jadi yang pulang malam itu karena kuliah dan bekerja keras sebagai single parent. Itu karena laki-laki dan perempuan yang mencibir itu cetakannya sama: mereka terjebak dalam konstruksi budaya patriarki, yang cenderung mendewakan kaum pria.
Tidak mengherankan korban pelecehan seksual di kalangan perempuan, bahkan korban perkosaan tidak berani melapor. Sebab mereka kerap juga disalahkan mengapa pulang malam? Untuk itu perempuan yang karib disapa Wulan ini menggagas apa yang disebut sebagai Rumah Aman di sebuah RW di Jakarta Selatan. Rumah Aman ini seharusnya ada di setiap RW untuk memberikan pendampingan bagi korban.
Berikut pandangan conceling officer dan research officer di Yayasan Cinta Anak Bangsa ini kepada Irvan Sjafari dari Koridor pada dua kesempatan, di TIM 18 September dan melalui Whaatsapp, 22 Setember 2022. Berikut petikannya.
Bagaimana sampai muncul ide untuk mendirikan Ruang Aman antara lain berfungsi pendampingan untuk korban dan penyintas kekerasan seksual? Kapan mulai dirintis dan di kawasan mana? Seperti apa rumah itu? Siapa saja yang bertugas jadi relawan? Kalau di negara lain ada nggak seperti ini?
Saya tergugah karena mengetahui terbatasnya fasilitas rumah singgah/shelter yang ada dan lokasi yang sulit dijangkau dalam kondisi kedaruratan. Ruang aman seharusnya berbasis organik dan bisa bertumbuh di setiap lingkungan serta bisa memberdayakan kapasitas yang ada di masyarakat.
Konsep ruang aman sederhana, yaitu cukup menyediakan ruang. Bisa kamar. Ruang tamu, atau ruang apapun yang bisa digunakan oleh yang membutuhkan selama beberapa hari sebelum memutuskan langkah apa yang akan diambil berikutnya.
Saat ini mulai dirintis di RW 08 Kelurahan Petukangan Selatan dan mulai melibatkan RW lainnya dalam satu kelurahan yang sama. Relawan yang dilibatkan adalah tetangga sekitar karena prinsip dasar dari Ruang Aman ini adalah “tetangga bantu tetangga”.
Apa saja yang sudah dilakukan hingga saat ini?
Saat ini kami sudah membuka hotline yang dapat diakses oleh 8 RW di bawah Kelurahan Petukangan Selatan dan sosialisasi berkelanjutan. Masing-masing RW diminta untuk merekrut konselor pendamping yang akan mendapatkan pelatihan konseling dasar, Psychological First Aid, dan pengenalan konsep ruang aman itu sendiri. Saat ini kami sedang menjajaki kemungkinan pelatihan pendamping berbasis hukum dengan beberapa Lembaga penyedia layanan hukum. Penyintas yang didampingi masih terbatas jumlahnya, menjadi PR untuk melanjutkan proses sosialisasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat melalui edukasi.
Apakah ruang aman juga melakukan edukasi untuk pencegahan kekerasan seksual baik terhadap warga perempuan maupun laki-laki?
Perempuan, laki-laki, anak, orang tua. Karena semua orang bisa menjadi korban.
Bagaimana sekarang perkembangan Ruang Aman? Apakah sudah ada peningkatan kesadaran untuk melapor bila mengalami perbuatan tidak menyenangkan? Apakah sudah ada yang membuat hal yang sama di tempat lain atau pernah berkonsultasi dengan Anda?
Peningkatan kesadaran sudah mulai terlihat dengan adanya beberapa laporan perihal kasus kekerasan seksual dan KDRT yang membutuhkan pendampingan. Beberapa RW mulai tertarik untuk mereplikasi hotline ke depannya, namun saat ini mereka ingin berfokus pada pelatihan dan peningkatan kapasitas terlebih dahulu. Program ruang aman sudah sempat disampaikan pula kepada Ibu Fery Farhati selaku penggagas Ibu Ibukota Awards dan telah beliau koordinasikan dengan pihak-pihak terkait. Mari berharap program ini dapat direplikasi di banyak RW di DKI.
Apakah semacam Ruang Aman bisa dibentuk di kampus atau di sekolah atau ada guru BP yang harus berperan? Apakah sudah ada kesadaran di kalangan guru sepengetahuan Anda?
Tentunya bisa direplikasi di kampus dan di sekolah dengan sedikit modifikasi untuk menyesuaikan dengan kondisi yang sifatnya lebih publik. Peningkatan kesadaran di kalangan guru tentunya membutuhkan usaha kolektif untuk mengedukasi seputar isu kekerasan seksual dan tentunya dengan tantangannya sendiri yang umumnya berupa resistensi terhadap pendidikan seks karena dianggap tabu.
Dalam diskusi Perempuan dan Sinema terlontar soal peran media, film dan sinetron ikut memberikan kontribusi konstruksi patriarki. Bahkan kerap dalam sejumlah episode perempuan hanya pasrah bila mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tidak ada yang mengadu ke LBH atau aktivis perempuan yang mau menolong. (Kecuali dalam Perempuan Berkalung Sorban tokoh Anissa jadi aktivis LBH membela korban KDRT). Apa gagasan Anda mengubah konten film dan sinetron?
Sebenarnya belakangan ini sudah mulai dimunculkan peran-peran perempuan yang nontradisional, dan ini menjadi penting bagi masyarakat untuk mulai membiasakan diri dengan keberagaman peran dan pilihan perempuan yang tidak melulu didikte oleh patriarki.
Apa pandangan Anda terhadap pemberitaan media yang bias. Misalnya, lebih suka mengungkap pelaku pekerja seksual dari kalangan perempuan yang tertangkap daripada laki-lakinya? Juga pemberitaan artis atau selebgram berbusana seperti ini bikin salfok atau memakai baju transparan? Bukankah dalam media juga ada pekerja perempuan? Bukankah pelecehan seksual juga bisa dipicu dari berita seperti ini secara tidak langsung?
Di sini pentingnya edukasi yang menekankan pada perubahan pola pikir yang mengobjektifikasi perempuan. Salah satu industri yang perlu disasar adalah industri media dan kelompok pekerjanya. Karena media dan narasinya sangat berpengaruh sebagai wacana edukasi dan opinion leader, oleh karena itu perlu dipastikan awak industri media memiliki perspektif gender yang baik.