Rhyma Permatasari, aktivis muda lingkungan mengungkap perlunya regulasi khusus mata air

Koridor.co.id

Rhyma Permatasari-Foto: Irvan Sjafari.

Semakin banyak milenial di berbagai penjuru Indonesia yang mengikuti jejak rekan-rekan mereka di seluruh dunia untuk peduli pada lingkungan hidup demi masa depan mereka, dan anak serta cucu mereka. Mereka berjuang di tingkat lokal hingga mancanegara, agar bisa mewariskan keberlanjutan sebuah ekosistem kehidupan.

Warga Cipaku, Kota Bandung, Rhyma Permatasari adalah salah seorang di antaranya yang terbangun kesadarannya bahwa anaknya yang kini berusia lima tahun terancam tidak bisa menikmati air bersih ketika nanti dewasa. Pasalnya, air sungai di wilayahnya terancam, tercemar, dan punah. Sekarang, sekitar 30 mata air di sekitarnya, harus dilindungi.

“Kita memerlukan regulasi untuk itu,” ujar perempuan kelahiran 5 Febuari 1994 ini kepada Koridor dalam sebuah wawancara di Saung Yayasan Cinta Alam Indonesia (CAI), di kawasan Ledeng, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa, 14 Maret 2023.

CAI adalah gerakan yang ikut dia dirikan antara lain untuk menjaga mata air di Kota Bandung, khususnya di wilayahnya, Tjibadak.

Beberapa terobosan sudah dilakukan antara lain bersama teman-temannya membersihkan selokan di lingkungannya dan dijadikan tempat memelihara ikan. Sayangnya, alumni Fakultas Psikologi, Universitas Maranatha, Bandung ini, kurang didukung oleh lingkungannya sendiri. “Bahkan saya pernah dipolisikan.”

Salah satu perjuangan Rhyma bersama Komunitas CAI ialah mendorong pemerintah supaya generasi muda lebih peduli lingkungan dan alam dengan membangun Taman Terakota.  Dia juga menjadi salah satu perwakilan Indonesia di ASEAN-EU Youth Confence on Suistanable Urban Development di Bangkok pada 31 Maret hingga 1 April 2023.

Berikut wawancaranya dengan Irvan Sjafari dari Koridor di kawasan Ledeng, Bandung, Selasa, 14 Maret 2023.

Bagaimana anjeun (anda) melihat masalah lingkungan di Bandung?

Pengalihan lahan di Kabupaten Bandung Utara sudah berubah benar. Beberapa waktu lalu teman-teman Patanjala (metode untuk mengetahui jalur arus air dari leluhur Urang Sunda) melakukan survei. Ternyata dari hutan Penjebolan atau keluarnya air, setelah diukur, tidak ideal, karena hutan larangan itu tidak ideal. Sudah dialihfungsikan jadi lahan tani. Ada juga yang jadi permukiman. Bahkan dari salah satu segmen utama yang disebut panutupan, seharusnya jadi tempat air, atau semacam tandon air. Ternyata itu di Bandung tidak ada, karena sudah jadi jalan raya. Dari situ airnya kelihatannya sudah krisis. Di dalam sungai itu ada yang bocor, hingga arusnya masuk ke Cibadak.

Sejak kapan Rhyma dan teman-teman merasakan krisis air?

Sejak berapa tahun kami merasakan krisis air. Kalau dulu 50 liter per detik, kini hanya 19 liter per detik.  Turunnya sampai 80 persen.

Kepedulian politik bagaimana?

Dari Gedong Cai Cibadak belum ada pengolahan yang ideal. Kami dari CAI memperjuangkan agar gedung itu menjadi heritage dan cagar budaya. Ini bentuk kepedulian agar bisa terurus. Karena sebelumnya Pemkot Bandung, mungkin kurang memperhatikan. Kalau regulasi dari pemerintahan hingga saat ini kota Bandung belum ada aturan khusus yang berkenaan dengan mata air. Kalau regulasi terkait pengeboran itu ada, sayangnya di lapangan monitoringnya belum sempurna.  

Regulasi mata air yang diharapkan itu seperti apa?

Pemerintah harus buat aturan jangan sampai di area mata air itu ada betonisasi. Dengan regulasi ini Pemerintah harus mengembalikan fungsi mata air sebenarnya. Kenyataanya, jarak antara mata air dan permukiman itu sangat pendek. Seharusnya ada jarak ideal yang disesuaikan dengan besar dan kedalaman mata airnya. Mata air itu harusnya tidak terjamah.

Idealnya seperti apa?

Harus dihitung dari luasnya berapa dan kedalamannya berapa. Di Cibadak ini misalnya hutan larangannya harusnya 70 meter dari semua arah mata angin (diameter). Namun di Cibadak ini jaraknya sudah terlalu dekat permukiman warga.

Keluarga Rhyma kan termasuk warga pertama yang bermukim di Cipaku, yang dekat dengan wilayah ini. Dulu seperti apa ya?

Cerita Mama saya,  kalau zaman saya kecil sudah agak berubah, tetapi kanan dan kirinya masih sawah.  Waktu saya SD semua sawah sudah habis. Waktu zaman Mama, semua air jernih. Rumah kami dulu di bawah, di atasnya, airnya bersih. Bahkan bisa diminum langsung. Dulu air terjun, airnya aman diminum. Sekarang air terjunnya sudah terkontaminasi sampah. Setiap sebulan sekali kita mengadakan river clean up, mendapatkan 1,6 ton sampah, berikutnya satu ton, kemarin 200 kilogram. Air sungai sudah terkontaminasi. Jadi, yang harus dilakukan sekarang ialah konservasi menjaga mata air yang belum tercemar.  

Sekarang kondisinya bagaimana?

Di wilayah ini ada sekitar 30 titik mata air. Masih bisa diminum langsung. Namun, perlu dilindungi agar tidak ada betonisasi. Namun, pemerintah kerap juga menyarankan betonisasi. Apa yang dilakukan pemerintah berbanding terbalik dengan metode CAI jalankan. Kami menjalankan metode patanjala dari leluhur yang tidak memperbolehkan adanya betonisasi , sedikinya 70 meter dari mata air.  Di satu sisi masyarakat sudah tinggal di sana sebelum saya lahir. Jadi agak susah untuk mengembalikan yang sudah terlanjur. Jadi regulasi ini memang hanya untuk melindungi mata air yang belum tercemar.

Sejak kapan anjeun tertarik pada lingkungan?

Awalnya saya tergerak benar pada 2020, awal pandemi Covid-19. Sebelumnya seperti milenial lain tertarik pada digital. Ketika itu saya keliling, saya melihat lingkungan ternyata sudah rusak.  Anak dan cucu saya seperti apa nantinya. Saya merasa penting untuk menyuarakannya akhirnya saya terlibat dalam Yayasan CAI yang lebih serius dan konsen pada konservasi mata air, ketahanan pangan dan membangun kesadaran lingkungan pada anak muda antara lain melalui football education. 

Mengapa melalui Football Education?

Mungkin kita tidak bisa langsung bicara soal lingkungan. Melalui football education ada leadership yang kita bentuk, hingga membangun kepedulian lingkungan.

Rhyma Permastasrai-Foto: Irvan Sjafari.

Rhyma yakin ke depan sumber air akan lebih mahal dari minyak?

Betul. Saya yakin pada masa depan harga air akan lebih mahal dari emas. Saya khawatir anak saya (kini lima tahun usianya) tidak bisa menikmati air yang bersih. Bicara soal polusi air, orang Cibadak juga sudah terkontaminasi, belum lagi soal mikroplastik. Sangat mungkin mikroplastik sudah ada dalam tubuh kita.

Perlu nggak sih membentuk partai hijau di Indonesia atau cukup orang-orang parpol sekarang yang punya kesadaran lingkungan?

Sebetulnya konsen dua pihak. Perlu kesadaran kolektif dari latar belakang apa pun bahkan perlu semakin banyak pihak akademisi terlibat menanamkan jiwa kepedulian pada lingkungan. Tetapi kalau saya jujur lebih efektif buat partai green. Karena orang-orangnya punya visi dan misi yang sama dan man power yang kuat.  Kalau ada orang parpol yang peduli lingkungan man powernya sangat kurang.

Anjeun sendiri konsistennya menjalani kehidupan “hijau’ di rumah?

Belum bisa 100 persen. Tetapi kalau saya pribadi di mana pun berdiri kalau lihat keran air masih menyala padahal tidak digunakan, refleks saja segera menutupnya. Saya juga membawa sampah sendiri hingga pulang ke rumah. Anak saya ajarkan untuk makan tidak ada sisa. Anak saya itu lucu juga ketika terbiasa untuk peduli lingkungan, saat jalan ke mal, ada orang yang membuang  botol air mineral sembarangan. Lalu dia tunjuk sambil teriak spontan: Ma, itu orang buang sampah sembarangan.

Kemarin Anjeun menerbitkan buku?

Tentang public speaking. Isinya untuk menggerakkan orang terbangun. Misalnya saya kan orang lingkungan, kalau public speakingnya kurang baik akan sulit diterima.

Artikel Terkait

Terkini