Denny Muhammad Ramadhan demikian nama lengkapnya. Namun, para pembaca tulisan-tulisan musik di Majalah Hai era 90-an lebih mengenalnya dengan Denny MR saja. Kariernya di industri musik bermula sebagai jurnalis. Sempat menyinggahi beberapa lembaga penerbitan, namanya beroleh perhatian luas pembaca ketika menukangi Hai sebagai pengampu rubrik musik.
Ketika majalah yang bermarkas di Jalan Panjang, Jeruk Purut, Jakarta Barat, melakukan ekspansi dengan mendirikan divisi Haimusic Records, sosoknya memanggul jabatan sebagai artist & repertoar. Pria ceking berkacamata ini juga sempat menjadi manajer Nicky Astria dan Pas Band, bahkan mendirikan manajemen artis segala.
Hari-hari belakangan ini, Denny mengisi waktunya melakukan kerja-kerja yang tetap tak jauh dari musik. Menjadi kontributor, seperti yang sempat dilakukannya bersama Majalah Rolling Stone Indonesia, masih sesekali disanggupinya. Duduk sebagai narasumber dalam berbagai diskusi musik sering pula. Saat diminta jadi editor buku Stempel Generasi Biru (Pustakapedia – 2022) karya Rustam Rastamanis diiyakannya. Pokoknya apa pun asal musik, ia akan ho-oh.
Kini aktivitasnya bertambah. Selain aktif mengurusi manajemen grup legendaris God Bless, Denny bekerja sama dengan Total Metal Music dikontrak sebagai eksekutif produser perilisan ulang album perdana Roxx. Sebuah album rilisan Agustus 1992 yang menempati posisi penting dalam peta industri musik Tanah Air.
“Sejujurnya ini proyek yang sangat menguras energi dan pikiran gue,” ujarnya saat diwawancarai Koridor melalui sambungan telepon, Sabtu (25/6/2022).
Mengapa demikian? Lantaran para personel Roxx kelimpungan mencari keberadaan Dannil Setiawan, sang eksekutif produser album itu ketika pertama rilis. Padahal berdasarkan UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta, segala urusan terkait penerbitan, penggandaan, dan pendistribusian ciptaan harus seizin Dannil sebagai salah satu pemegang hak cipta.
Selain itu, secara logika mengingat posisinya sebagai produser eksekutif yang membiayai seluruh kegiatan rekaman, Dannil seharusnya juga memiliki pita master rekaman asli album tersebut. Pita ini yang kemudian digunakan untuk menduplikasi.
Hingga batas yang ditentukan, dua hal krusial ini tak kunjung ditemukan. Sementara the show must go on. Tekad Roxx kadung bulat; album debut harus dirilis ulang tahun ini. Selambat-lambatnya pekan kedua Juli 2022 sudah meluncur ke pasaran. Bertepatan 30 tahun perilisan awalnya.
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari proyek rilis ulang album perdana Roxx. Bukan hanya para musisi muda yang bisa ambil manfaat, tapi juga musisi atau grup musik lawas yang hendak merilis kembali album-album bersejarah mereka.
Simak hasil wawancara Koridor dengan Denny Muhammad Ramadhan.
Bagaimana awal mula proyek ini bisa terjadi?
Upaya merilis ulang album perdana Roxx ini sebenarnya sudah lama banget ada. Soalnya ini album bersejarah. Banyak label musik yang tertarik. Hanya setiap pembicaraan waktu itu mentok perihal keberadaan Dannil Setiawan. Entah di mana keberadaan beliau.
Kapan persisnya pembicaraan serius tentang perilisan ulang album ini muncul?
Waktu God Bless diundang main di acara Mandalika Tropical Fest, Lombok, Nusa Tenggara Barat (19-20/3/2022). Waktu itu Trison Manurung, vokalis Roxx, jadi bintang tamu Edane. Karena satu hotel, kami jadi sering ketemu dan mengobrol. Suatu hari lagi asyik ngobrol di coffee shop, tiba-tiba materi obrolan jadi serius dan mengerucut soal album perdana Roxx. Waktu itu saya bilang tantangan terberatnya mencari keberadaan Dannil Setiawan.
Sepulangnya dari Mandalika komunikasi kami makin intens. Saya juga penasaran masa iya, sih, tidak bisa dirilis ulang? Kepada Trison akhirnya saya berkata akan mengupayakan perilisan album perdana Roxx. Dan dia setuju. Selama kami berkomunikasi, Trison juga mengabarkannya kepada para personel Roxx lain yang terlibat dalam pembuatan album pertama, termasuk Jaya yang sudah menyatakan hengkang dari band sejak 2016.
Langkah berikutnya adalah konsultasi dengan beberapa teman pengacara, misalnya Kadri Mohamad (seorang corporate lawyer sekaligus vokalis Makara) dan Candra Darusman (musikus, pendiri Yayasan Karya Cipta Indonesia, dan sekarang menjabat Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia).
Apa hasilnya setelah berkonsultasi soal posisi hukum proyek ini?
Setelah melalui berbagai konsultasi selama berminggu-minggu, akhirnya ketemu solusi sebagai jalan terakhir. Jika memang Dannil Setiawan tidak bisa ditemukan, kami harus bikin pengumuman secara terbuka melalui media cetak nasional. Dan pengumuman itu punya batas akhir selama 14 hari sejak pertama kami diumumkan.
Menurut hasil diskusi saya dengan beberapa teman pengacara dan pakar hak cipta, pengumuman yang kami bikin sebenarnya bukan langkah mutlak untuk memenuhi kaidah hukum, tapi sudah langkah paling maksimal yang bisa ditempuh oleh pihak-pihak yang ingin merilis ulang karya-karya yang sudah pernah beredar sebelumnya.
Lantas, apa yang menyebabkan Jaya (mantan gitaris dan pendiri Roxx) akhirnya bikin pengumuman tidak mau ikut terlibat dalam proyek perilisan ulang album ini?
Saya, sih, sejak awal tidak ingin masuk dalam ranah pribadi mereka karena posisi saya bukan manajer band. Segala komunikasi dengan Jaya saya percayakan kepada Trison. Menurut penuturan Trison, Jaya sudah hampir mau tanda tangan, tapi kemudian membatalkan. Alasannya apa saya tidak tahu. Biar itu menjadi urusan personal mereka.
Intinya dalam proyek perilisan ulang ini semua personel Roxx sudah ada bagiannya, termasuk Jaya dan Dannil sebagai eksekutif produser. Pun bagian untuk mendiang Arry yang diwakili oleh kakaknya sebagai ahli waris. Jadi kapan pun mereka ingin mengambil haknya bisa langsung menghubungi manajemen Roxx.
Selain sebagai pemegang hak ekonomi terkait penggandaan dan pendistribusian album, apakah Dannil Setiawan juga memegang master rekaman aslinya?
Nah, ini juga kami belum tahu sebelum bertemu yang bersangkutan. Cuma secara logika, sebagai produser eksekutif seharusnya beliau yang memegang pita master original album itu. Kalau dari empat personel Roxx lain mengaku tidak memegang dan mengetahui keberadaan pita master rekaman album itu.
Peter Phang mengaku memegang versi Digital Audio Tape album ini, cuma dia juga tidak bersedia menyerahkannya kepada kami sebelum mendapat izin dari Dannil Setiawan selaku pemilik hak.
Dengan tidak ditemukannya master rekaman asli album ini, materi perilisan ulang album diambil dari mana?
Akhirnya kami memanfaatkan kaset-kaset album pertama Roxx yang pitanya paling bagus. Kami kumpulkan dan bandingkan mana yang paling mulus kualitas audionya. Kaset yang paling bagus kami jadikan materi untuk bahan duplikasi.
Progresnya sekarang sudah sejauh apa?
Nyaris selesai. Semuanya dikerjakan di Jakarta dengan supervisi dari Trison. Saya yang memproses remaster ini dengan koordinasi dari Trison. Pokoknya saya mengikuti kemauan mereka terkait hasil audio pengerjaan ulang album ini hingga merasa puas.
Sebenarnya seperti apa respons pasar ketika pertama kali album perdana Roxx ini rilis?
Publik terhentak. Waktu itu kan band-band rock alumni Festival Rock se-Indonesia bikinan Log Zhelebour sedang berjaya. Menguasai kancah industri rekaman musik rock. Lalu Roxx muncul dengan napas yang berbeda dibandingkan band-band alumnus Log.
Waktu itu juga belum banyak rekaman album yang musiknya sekencang Roxx. Pakai pedal drum ganda, dua gitaris, dan tanpa kibordis. Secara struktur komposisi dan harmoni lagu juga masih sesuatu yang baru. Makanya banyak orang kaget.
Serupa mainan baru yang banyak bikin orang berebut untuk punya, album ini juga akhirnya jadi lumayan laris.
Kenapa album ini harus dirilis ulang?
Ini album penting. Sebuah artefak budaya populer. Anak-anak muda sekarang harus mengetahui sejarah agar mereka bisa menghargai eksistensinya sendiri. Dalam versi Roxx, eksistensi itu dibangun dengan penuh perjuangan. Istilahnya “berdarah-darah”. Artinya keberhasilan itu hasil dari proses yang panjang. Tidak ada yang instan.
Seandainya dikasih kesempatan atau kepercayaan lagi untuk merilis ulang album lawas Indonesia, album apa yang dipilih?
Sebenarnya sudah ada. Cuma, lo mau pancing bagaimanapun gue enggak akan cerita. Entar-entar aja lah. Ha-ha-ha
Apa pelajaran penting yang bisa diambil dari usaha perilisan ulang album perdana Roxx ini?
Pikir berkali-kali jika ingin teken kontrak rekaman menggunakan sistem flat pay. Sistem kontrak ini dulu paling umum berlaku antara produser dengan artis. Artis pertama yang memberlakukan sistem royalti untuk albumnya seingatku Ruth Sahanaya untuk album ketiganya, Kaulah Segalanya (1991).
Kedua soal kesadaran pengarsipan. Artinya kelemahan dari teman-teman musisi kita itu tidak sadar sejarah yang identik dengan pengarsipan. Waktu mereka mengeksekusi kerja sama dengan partner bisnisnya mungkin mereka enggak terlalu ambil pusing. Hal ini akan menjadi krusial ketika hendak memunculkan kembali karyanya beberapa tahun kemudian seperti yang dialami Roxx sekarang.
Enggak perlu band-band seangkatan Koes Plus, coba saja tanyakan personel band-band 90-an siapa yang masih memegang kontrak rekaman mereka? Saya yakin banyak yang tidak mengarsipkan.
Soalnya di sini repotnya itu banyak label yang tidak bertahan lama. Ketika misalnya sebuah label bubar, maka akan sulit untuk melacaknya. Kalau dua belah pihak sama-sama tidak pegang surat kontrak, berarti kan tidak ada kejelasan. Jadinya susah kalau mau rilis ulang album lawas.
Lalu, apresiasi terhadap profesi sendiri sudah harus dibangun sejak awal. Karena ketika mereka bisa mengapresiasi potensi sendiri, maka mereka akan aware pada setiap elemen dari proses kreatifnya. Misalnya lagu didaftarkan ke penerbit rekaman, master rekaman disimpan, dan seterusnya. Jadikan apa yang menimpa Roxx ini contoh mahal.