Penggagas ide dan creative director film 2045 Apa Ada Cinta dari Right Hand Uki Utama mengatakan film yang ditawarkan bukan fiksi ilmiah, walau penonton berhak menfasirkannya demikian. Menurut lulusan Commercial Art dari Standford University ini menyajikan film fiksi ilmiah butuh cerita yang kuat dan bukan hanya special effect.
Irvan Sjafari dari Koridor mewawancarai pria kelahiran 1968 ini, Minggu 27 November 2022. Berikut petikannya:
Apa latar belakang ide cerita 2045 Apa Ada Cinta?
Gagasan awal kita mau kasih gambaran pada saat seabad Indonesia seperti apa sih? Itu dasarnya. Berbeda dengan membuat film sejarah bisa diraba kira-kira seperti apa yang terjadi pada masa lalu, karena ada showcase. Tetapi bagaimana dengan masa depan? Wow! Itu perlu daya khayal tinggi. Lalu kita lakukan demokratisasi ide.
Lalu kami memberikan tantangan dan pertanyaan dari anak-anak Generasi Z, usia kelahiran tahun 1998-2010, sebab mereka yang menjadi pemimpin, pengusaha, profesional pada usia 40 tahunan pada masa itu. Pertanyaannya apa yang kalian mimpikan pada 2045, ada anak Papua yang menjawab ingin Sungai Sentani seperti Sungai Venice. Simple. Kami mendapatkan 32.000 ide secara acak. Lalu kita butuh kurasi 14 bulan untuk menemukan 10 ide yang paling relevan terjadi di Indonesia.
Indonesia di masa depan seperti apa?
Kita tidak secara detail membicarakan mobil terbang, atau kita tidak membicarakan Star Wars di sini. Tetapi Indonesia pasti maju pada 2045. Teknologi yang terjadi pada tahun itu kita wujudkan di film ini dan merupakan ide publik.
Dalam berbagai film Barat tentang masa depan cenderung distopia (masa depan suram), film 2045: Apa Ada Cinta cenderung utopia (masa depan yang baik)?
Memang sejumlah film Hollywood menggambarkan masa depan sebagai bumi yang chaos. Kita nggak maulah. Misalnya Blade Runner mengisahkan 2049 menggambarkan dunia yang distopia. Bahwa nanti ada wabah atau Perang Dunia III itu urusan Tuhan. Kami nggak ke arah sana Indonesia harus tetap hijau. Indonesia tetap keren. Ada rasa optimisme yang dibangun. Ada teknologi peneteralisir CO2. Itu akan ditampilkan di film. Begitu juga percakapan dengan hologram.
Apakah 2045: Apa Ada Cinta merupakan terobosan bagi perfilman Indonesia khususnya fiksi ilmiah?
Sebenarnya yang saya tawarkan bukan “fiksi ilmiah” tapi “kemajuan yang terjadi di Indonesia yang relevan” saat seabad umurnya nanti. Inilah uniqueness yang membedakan film ini dengan film yang pernah ada, atau diproduksi di Indonesia. Pada dasarnya film ini adalah film romansa, cerita cinta saat seabad Indonesia nanti.
Anda pribadi tertarik pada film fiksi ilmiah?
Secara pribadi saya memang penggemar SciFi Movies. Saya juga adalah “Star Wars geek” – saya telah menonton dan menyukai film Star Wars sejak saya menonton trilogi film Star Wars saat ditayangkannya pertama kali di dunia pada tahun 1976. Kebetulan tahun itu saya masih SD dan tinggal di Bombay, India dan diajak orang tua menyaksikan kelahiran film Star Wars saat itu. Yang menarik dari Star Wars justru filosofinya bahwa alam semesta sudah maju ribuan tahun. Juga ada keseimbangan antara spiritual yang diwakili oleh Yoda, para jedi dan teknologi.
Bagaimana cara membangun kultur fiksi ilmiah di kalangan penonton?
Di Indonesia film fiksi ilmiah harus dibalut dengan kisah dan cerita yang kuat. Dan tantangan utama saat memproduksi film 2045 Apa Ada Cinta adalah bagaimana special effects/CGI tidak boleh dirasakan atau terlihat sebagai special effects. Sehingga penonton harus dapat merasakan berada didalam setiap adegan filmnya.
Itu sebabnya beberapa film Indonesia tentang superhero secara special effect bagus sekali dan saya suka. Sayangnya menurut saya pribadi storytelling-nya tidak kuat. Itu sebabnya penonton Indonesia menyukai superhero dari Marvel yang memang unggul dari storytelling.