Para pengunjung taman di ‘zaman now’ hanya mengunjungi taman untuk update status di media sosial

Koridor.co.id

Yayat Supriatna. (Foto: Facebook / @Yayat Supriatna)

Staf pengajar Teknik Planologi Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi lingkungan, Universitas Trisakti Jakarta dan pengamat tata kota Yayat Supriatna melihat seharusnya taman multifungsi dan pengunjung mendapatkan kesan yang tertanam di kognisinya, ketika keluar dari taman.

Ketika dihubungi Irvan Sjafari dari Koridor Rabu, 18 Mei 2022, peraih Magister Planologi ITB 1993 dan Doktor Sosiologi FISIP UI ini melihat bahwa sudah banyak taman yang cantik hadir di sejumlah kota, seperti Jakarta dan Bandung yang lebih pas untuk kebutuhan instagrammable dan TikTok yang kini jadi tren. Itu yang juga terjadi pada Tebet Eco Park  dan Pemprov DKI Jakarta harus didorong untuk membuat taman itu punya multifungsi.

Berikut petikan wawancara dengan Ketua Bidang Pengkajian dan Perencanaan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Pusat 2007 – 2011:

Bagaimana Anda menanggapi keberadaan Tebet Eco Park yang kini jadi viral? September lalu pada sebuah media daring Anda mengkritisi bahwa taman itu sebaiknya punya fungsi ekologis?

Memang itu yang belum tampak. Kalau ingin mengadaptasi taman ekologis seperti di Singapura, air sungai yang mengalir itu, jernih. Air yang masuk ke sungai taman harus sudah terfilter dengan membuat semacam tanggul supaya airnya bersih dan tidak bau. Kalau bisa sungai di taman tersebut ada ikannya, seperti di Jepang ada ikan koi, bukan ikan sapu-sapu.

Sebetulnya pola ini sudah pernah di adopsi di Kuningan, Jakarta Selatan. Air sungai di depan Epicentrum dibendung.

Sekarang apa yang terjadi, mengapa jadi ramai?

Saya melihat Tebet Eco Park hanya menjadi taman rekreasi. Bagi orang Jakarta taman itu menjadi rekreasi alternatif. Memang taman itu pas ada di Tebet untuk kebutuhan lingkungannya. Persoalannya, di kawasan lain jarang terdapat taman seperti itu, sehingga mereka beramai-ramai mengunjungi ke tempat itu. Wajarlah kalau parkirnya saja susah. 

Selain itu fungsi taman zaman now, kata anak muda sekarang sudah menjadi tempat update status di media sosial mereka. Istilahnya taman yang diminati itu yang instagrammable. Ketika ada yang update status, maka semakin banyak yang berbondong-bondong datang.  Anak milenial sekarang perlu meningkatkan viewer mereka. Sebagian dari mereka bisa mendapatkan keuntungan kalau pengikut dan viewer yang banyak. Coba kalau mereka ditanya ketika keluar dari taman, apa yang mereka dapat?

Seharusnya taman itu multifungsi?

Persis. Taman ini  seharusnya dikembangkan menjadi multifungsi yang bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan. Ada nilai ekonomis dan edukasinya.  Selain untuk ruang bermain anak, seharusnya ada tempat untuk olahraga atau untuk kegiatan lainnya. Kita harus mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk menambah fungsi-fungsi ini. Dengan begitu pengunjung taman ketika pulang mendapatkan kesadaran menjaga kebersihan, mencintai lingkungan hidup, sehingga taman menjadi ruang inspirasi.

Apalagi yang harus dilakukan?

Selanjutnya harus ada pihak pengelola yang ditunjuk untuk melakukan pengelolaan taman agar terawat dengan baik dari aspek kebersihan dan ketertiban. Harus ada tata tertib dan taman itu harus ada pengelolanya yang merawat kebersihan dan menjaga ketertiban.

Belajar dari pengalaman Tebet Eco Park, berarti memang Jakarta kekurangan taman?

Kurang sekali. Harusnya di Jakarta ada  banyak Eco Park, di Jakarta Timur juga ada Eco Park. Bisa memanfaatkan embung atau situ yang ada. Bayangkan kalau di semua wilayah Jakarta punya taman seperti itu, tentu semakin banyak alternatif bagi warga untuk rekreasi. Selain pemerintah yang memberikan contoh, komunitas-komunitas juga harus bergerak membuat fasilitas umum dan sosial di lingkungannya jadi punya fungsi ekologis dan edukasi.

Seharusnya berapa rasio RTH dan taman di sebuah kota?

Rasio RTH dan taman di sebuah kota yang ideal adalah 30 persen dari luasnya.

Artikel Terkait

Terkini