Nurcholish Madjid atau Cak Nur merupakan salah satu tokoh dengan pemikirannya yang terus diperbincangkan hingga saat ini. Pemikirannya tidak lekang oleh waktu dan terwadahi dalam sebuah lembaga bersifat independen bernama Nurcholish Madjid Society (NCMS).
Kentalnya pemikiran Cak Nur yang paling menonjol adalah soal keislaman, kemodernan, kesetaraan, hingga keadilan sosial. Hal itu menjadikan NCMS berperan dalam melanjutkan pemikiran Cak Nur.
Pipit Aprilia Rahapit dari Koridor mewawancarai Direktur Eksekutif Nurcholish Madjid Society Fachrurozi Majid, melihat bagaimana perkembangan kesetaraan dan kebebasan agama sepanjang kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terlebih tahun depan merupakan masa akhir jabatannya sebagai pemimpin negara. Berikut pandangannya:
Apakah Presiden Jokowi sudah maksimal dalam merawat kesetaraan dalam kebebasan beragama?
Kalau konteksnya dalam pemerintah sekarang saya melihat belum maksimal dalam isu kesetaraan, merawat hak-hak publik misalnya itu kalau melihat beberapa kasus yang muncul di akhir-akhir ini. Misalnya dalam isu serangan terhadap kelompok ahmadiyah, kemudian yang terakhir juga soal susahnya keluarga Muhammadiyah mendirikan masjid di Bireun misalnya.
Lalu kemudian ada kesulitan orang umat Kristen terutama di Cilegon untuk mendirikan gereja, itu kan kasus-kasus yang menunjukkan negara itu menurut kami agak kesulitan dalam menjalankan peraturan.
Padahal prinsipnya sederhana saja, kalau pemerintah mau memberikan mereka berpijak pada konstitusi misalnya ya sudah berikan kebebasan mereka untuk beribadah mendirikan tempat ibadah. Berpijak pada itu saja sudah dianggap sebagai pemerintah yang pro terhadap kebebasan beragama dan kebebasan berkeyakinan.
Apa penyebabnya?
Tentu saja pemerintah punya prioritas. Pemerintahan Jokowi kan kalau dibilang lemah karena ada prioritas pembangunan infrastruktur misalnya. Artinya dengan itu dia membutuhkan kelanggengan isu-isu publik misalnya. Dia tidak mau diganggu. Jokowi ini kan sosok presiden yang memang kelihatan betul ingin iramanya tenang, dia gak mau ada gangguan-gangguan politik yang menganggu jalannya agenda-agenda yang sudah dicanangkan pemerintah.
Jadi sebaiknya memang tidak boleh ada hal hal yang sifatnya mencuat ke publik. Misalnya gini, dalam isu-isu kebebasan beragama itu kan sebenarnya tuntunannya sederhana aja. Pemerintah menjalankan konstitusi dengan sungguh-sungguh itu sebenarnya yang menjadi tuntutan. Hanya, kalau misalnya ada perizinan pendirian rumah ibadah, misalnya itu kan ada pihak-pihak yang menolak, kalau kelompok-kelompok Islam yang keras itu memang cukup mengganggu jalannya pemerintah. Saya kira itu yang diantisipasi jadi concern pada infrastruktur kemudian pada hal-hal lain jadi kurang serius kelihatannya.
Tapi dilihat dari segi masyarakatnya sendiri bagaimana?
Kalau melihat daerah yang intoleran itu sebenarnya Nusa Tenggara Barat (NTB) nanti check saja di BPS. Jawa Barat juga salah satunya saya kira. Problem yang menurut kami masyarakat itu sulit sekali bertoleransi itu tidak biasa hidup berdampingan kemudian tetapi punya problem ketika diangkat isu-isu yang sensitif soal agama. Mereka tidak masalah dengan orang-orang yang berbeda agama tetapi yang kesulitan adalah kita kurang kuat dalam bekerja sama dengan orang yang berbeda keyakinan. Jika secara mengakui itu bisa, tapi diajak untuk berempati lebih jauh kemudian bekerja sama dalam konteks keagamaan dan kebangsaan itu agak susah.
Jadi yang diperlukan sekarangkan bukan hanya toleransi, kita toleran, kita tahu orang lain berbeda secara agama dengan kita. Tetapi yang kita perlu itu sebetulnya lebih jauh adalah mengakui mereka sebagai orang yang berbeda. Jadi bukan sekadar tahu tetapi mengetahui itu yang menurut kami kok agak susah di masyarakat.
Jadi ada tafsir agama, ada problem keadilan sosial, ada kecemburuan sosial dan itu ada latar belakang bagi munculnya, sulitnya orang untuk equal, untuk merasa berbeda, untuk mengakui kesetaraan itu.
Kami melihat ada tafsir agama yang sifatnya instant atau terbatas. Lalu kemudian ada faktor sosial dan ekonomi juga berpengaruh. Kemudian juga soal perbedaan politik yang semakin hari semakin tajam. Jadi setara itu bukan hanya soal mereka yang beda agama, tetapi mereka yang satu agama pun jadi problem sekarang. Karena menganggap, ibarat saya dan kamu itu beda pandangan politik, beda mahzab keagamaan itu yang menjadi masalah serius sekarang.
Jadi masalah yang sekarang bukan antaragama tapi dalam intra agama juga justru jadi problematik dan lebih serius lagi sekarang.
Lalu apa solusinya?
Sebetulnya yang penting itu adalah rekognisi, mengakui orang lain itu berbeda. Jadi kalau dia berbeda itu kan artinya dia berbeda, punya tafsir berbeda. Kalau kita mau sabar, mau berempati kepada orang lain itu ya sudah kalau disebut sebagai agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu itu biarkan saja mereka itu dengan praktek keagamaan mereka masing-masing.
Jadi selama tidak mengganggu kita sebagai warga negara ya tidak masalah. Problemnya kita itu merasa bahwa kita adalah pemilik tunggal kebenaran. Jadi, ada klaim kebenaran itu yang menjadi masalah. Ketika orang lain berbeda, misalnya kamu sebagai muslim merasa suci, lebih toleran lebih baik, jangan menganggap orang lain itu salah.
Nah ketika kita mulai punya persepsi kita paling benar itulah yang menjadi problem. Yang dianjurkan oleh para agamawan, pemuka agama dan akademisi, yang paling penting adalah kita mau berempati terhadap orang lain.
Jadi orang lain punya pandangan begini, kita punya pandangan begini ya jalanin aja. Jadi jangan punya pretensi untuk mengatakan bahwa kita paling benar. Ada doktrin ketika ada keinginan kita merasa paling suci merasa paling benar, di situlah masalah dimulai.
Biarkan saja, misalnya saya NU, orang lain Muhammadiyah, Persis, mereka punya praktek keagamaannya masing-masing selama tidak mengganggu tatanan masyarakat ya sudah gak apa-apa. Kecuali dia mengganggu tata tertib bermasyarakat misalnya dengan organisasinya, ada sekte bunuh diri, nah itu kan problem.
Kemudian atau misalnya organisasinya menganjurkan kekerasan atau membunuh orang lain, melakukan persekusi terhadap kelompok lain, gak boleh seperti itu. Pemerintah harus menertibkan, negara harus melakukan democratic violence. Itu dibolehkan oleh negara untuk menertibkan orang-orang seperti itu.
Intinya kebebasan yang asal tidak menganggu kebebasan orang lain. Kalau prinsip itu dijalankan menurut saya pribadi ya kita akan tertib-tertib saja. Yang terjadi ini kan karena ada orang yang merasa lebih tahu, itu lebih masalah menurut kami. Merasa diri paling suci, paling benar, itu yang menjadi problem sebetulnya.
Baca juga berita terkait:
Indonesia butuh presiden baru yang serius kedepankan toleransi dalam kebebasan beragama
Di era disrupsi ini, lagi-lagi seragam dan atribut keagamaan di sekolah negeri jadi persoalan