“Pemikiran Nurcholish Madjid kerap melampaui masanya ketika pikiran itu diungkapkan. Pemikiran Cak Nur bahkan bisa dikaji untuk menjawab persoalan kekinian,” ucap staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Dwiyarkara dan pendiri Nurcholish Madjid Society, Budhi Munawar Rachman.
Budhy adalah seorang intelektual Islam Progresif yang lahir di Bojonegoro, 26 Juni 1963. Ia menempuh pendidikan sekolah dasar hingga kuliah di Jakarta. Sebagai seorang intelektual Islam Progresif dan juga menjadi seorang penulis dengan lebih dari 50 karya buku,
Menurut dia Indonesia memerlukan pusat kajian pemikiran para tokoh seperti halnya India punya Mahatma Gandhi dan Muhammad Iqbal di Pakistan. Cak Nur adalah salah satu tokoh yang layak dikaji pemikirannya untuk bisa dirawat dan diaktualisasikan. Berikut wawancaranya dengan Irvan Sjafari dari Koridor pada dua kesempatan di Paramadina pada 2 Juni 2022 di sela-sela peluncuran Centers for Nurcholish Madjid dan melalui sambungan telepon pada 6 Juni 2022.
Menurut Anda apa arti pentingnya Center for Nurcholis Madjid?
Ini merupakan sebuah pusat studi (center studies). Namanya Center for Nurcholis Madjid atau seperti yang diusulkan Taufik Abdullah, Nurcholish Madjid Studies Center. Jadi ada kata studies-nya. Kalau Pak Jimly kan usulannya Nurcholis Madjid Center for. Kalau itu nanti ke mana-mana. Jadi memang fokusnya studi Cak Nur, studi pemikiran Cak Nur.
Kita ingin mengembangkan pemikiran Cak Nur supaya punya dimensi intelektual yang tinggi, punya akademiknya yang dikembangkan. Jadi kira-kira begitu. Kita bisa membicarakan berbagai macam hal, tetapi selalu diinspirasikan dari Cak Nur atau berangkatnya dari Cak Nur. Di Paramadina ini merupakan hal penting, karena kampus ini didirikan oleh Cak Nur.
Kita di Indonesia kurang menghargai ketokohan. Fungsinya untuk merawat pemikiran. Untuk level biasa kan ada Wahid Institute. Tapi belum ada yang sampai level akademik. Kalau di luar negeri pemikir besar selalu dipelajari. Di beberapa negeri ada studi terkait filsuf-filsuf. Kalau saya mencontohkan ada Iqbal Studies, ada Mahatma Gandhi Studies, di Indonesia hal seperti itu belum ada karena dianggap terlalu elite. Padahal sebuah universitas seharusnya melakukan hal itu.
Ke depannya kalau ini terwujud seperti apa?
Kita harap tahun-tahun mendatang kalau mau studi tentang Cak Nur. Kalau ingin membuat disertasi tentang Cak Nur, datang ke center dan sudah tersedia bahan-bahannya. Sekarang kan nggak? Sebut saja kalau mau studi tentang Soekarno, presiden Indonesia pertama. Kalau mau studi tentang Soekarno cari buku Soekarno juga susah. Tidak tersedia satu lemari atau satu perpustakaan di mana semua yang orang tulis tentang Sukarno ada di situ.
Kalau di India sudah ada khusus tentang Gandhi atau di Pakistan ada khusus tentang Iqbal. Kalau di Indonesia selama 70 tahunan ini orang belajar Soekarno dokumentasinya tidak tersimpan.
Jadi kalau orang mau belajar tentang Cak Nur? Apa pun bahan mulai klipping berita maupun buku tentang Cak Nur dikumpulkan seperti itu?
Idealnya seperti itu. Kalau bisa semua di scan di internet, jadi orang yang dari Papua pun bisa mencari di internet dan diunduh. Jadi sederhana gagasannya. Belum ada yang melakukan seperti itu, di Indonesia. Semoga bisa begitu komplit tersedia dan bisa diunduh siapa saja. Tapi kita kan bukan hanya dokumentasi. Tetapi pengembangan pemikiran. Misalnya pemikiran Cak Nur tentang demokrasi. Apa pun topiknya berangkatnya dengan paradigma Cak Nur.
Pemikiran Cak Nur kan berada di era Orde Baru hingga awal 2000-an, pada era itu isu yang aktual masa kini seperti soal gender hingga lingkungan hidup belum banyak yang bahas, apakah hal itu juga akan dikaji dengan paradigma Cak Nur?
Iya. Persis seperti itu. Spritnya Cak Nur. Keterbukaannya. Dasar teologisnya Cak Nur kan sudah ada. Persoalannya aktual tapi dikaji dengan spirit Cak Nur. Dan itu sudah pada murid-muridnya yang lebih muda, misalnya Mu’nim A Sirri menafsirkan Cak Nur dengan cara berbeda, jauh lebih aktual dan cocok dengan kondisi kekinian.
Dalam diskusi di Paramadina, ada tiga milestone (tonggak) pemikiran Cak Nur, di antaranya Nilai Dasar Perjuangan (NDP) pada 1960-an, yang kemudian digunakan oleh HMI?
Kalau yang resmi diakui tiga orang, termasuk Cak Nur. Tapi sebenarnya yang menulis atau gagasan besarnya Cak Nur. Mungkin dalam LDK HMI 1980-an dulu tidak disebutkan, karena hal itu ada soal sekularisme dan HMI terpecah dua menjadi HMI Dipo dan HMI MPO. Tetapi sekarang saya sudah lihat pada HMI sekarang nama cak Nur sudah disebut dalam NDP.
Menurut Cak Nur, NDP itu nilai dasar Islam. Jadi semua hal mau menafsirkan islam harus di NDP. Jadi Cak Nur punya hal tak berubah. Dasar Islam. Dulu namanya Nilai Dasar Perjuangan, padahal Nilai Dasar Islam. Itu pikiran penting dari Cak Nur, yang kemudian dielaborasi pada 1990-an dengan bukunya Islam: Doktrin dan Peradaban. Buku ini sebetulnya NDP benar. Cuma cara menulis disesuaikan dengan masa itu. Sewaktu menulis NDP Cak Nur masih sangat muda. Nah ketika dia menulis buku itu, Cak Nur sudah matang sekali dan inti buku itu adalah NDP.
Apa boleh dibilang pemikiran Cak Nur 1970-an itu lanjutan dari NDP, kalau disebut dasar pemikiran Cak Nur?
Iya. Hanya waktu NDP Cak Nur tidak pakai kata sekularisasi. Nah ketika 1970-an Cak Nur memakai sekularisasi, ramailah. Tapi Cak Nur 1990-an tidak pakai sekularisasi lagi. Dia pakai desakralisasi, inklusif atau dia pakai istilah agama tauhid yang membebaskan. Istilah yang diterima semua orang. Kalau sekularisasi kan istilah keilmuan, sosiologi, memisahkan agama dari negara. Orang salah paham. Sekularisasi itu jadi jelek citranya.
Apa kesalahpahaman itu karena melihat sekuler itu di negara Eropa?
Cak Nur melihat sekuler itu di Amerika. Selama tujuh tahun di Amerika, Cak Nur melihat agama itu penting di Amerika. Padahal, di Amerika itu sekularisme, tidak ada kata agama di pemerintahannya. Kecuali kalau melantik Presiden disumpah pakai agama. Kalau di Amerika, orang bicara agama, agama Kristen yang mana? Sama kita kalau Perda syariah, perda mana? Orang Kristen tidak terakomodasi.
Kalau Anda sendiri, pemikiran Cak Nur yang disukai?
Ha..ha..ha. Pemikiran pluralisme Cak Nur yang di masanya jauh ke depan. Sampai sekarang orang Indonesia belum terima ada kebenaran, kebahagian, ada keselamatan di agama lain. Di kita dominan masih eksklusif. Nah yang pluralisme itu cocok dengan kebhinekaan Indonesia. Jadi ini pemikiran Cak Nur ke Indonesia-an. Jadi sebetulnya ada titik temu, menurut Cak Nur. Yang menarik Cak Nur mencari titik temu itu dalam Quran. Sesuatu yang belum bisa diterima sekarang.