Nadea Nabilla Putri menginovasi perahu ketinting listrik ramah lingkungan untuk masyarakat pesisir, penjaga laut sejati

Koridor.co.id

Nadea Nabilla Putri. (Foto: istimewa)

Miss Scuba 2017 mengantarkan Nadea Nabilla Putri mencintai lingkungan hidup, sekaligus masyarakat pesisir. Menempuh pendidikan yang relatif bagus, mulai Diploma Teknik Komputer di Telkom University, Bandung dilanjutkan Institut Teknologi Bandung dan IT Convergece dari Kumoh National Institute of Technology, Korea Selatan, Nadea tidak menjadi orang yang bekerja di korporasi.

Dia malah menjadi tukang insinyur yang mengabdikan dirinya kepada masyarakat pesisir dan kini menjadi Pemimpin Women’s Earth Alliance 2020, Nadea Nabilla dengan Proyek Manta One Indonesia. 

Founder dan CEO Azura Indonesia mulai mengkomersialkan propulsi listrik pada pertengahan tahun 2020. Penggerak listrik yang disebut MantaOne telah dibuat untuk perahu kecil dan fokus pada nelayan pesisir sebagai pasar tempat berpijak kami.

Tujuan proyek ini tidak tanggung-tanggung, menargetkan 10.000 unit di Indonesia untuk mencapai pengurangan karbon sebesar 33.000 ton per tahun.

Nadea memulai pergerakan dengan Beach Clean Up Jakarta. Setiap 3 bulan sekali, ia mengajak orang-orang Jakarta datang ke pulau untuk melakukan pembersihan. Mirisnya, sampah yang ada di pulau sebenarnya tidak hanya berasal dari masyarakat

“Pada kedalaman 30 meter masih menemukan sampah di dasar laut. Salah satu hal yang membuat saya gelisah ingin melakukan sesuatu juga perihal sampah ini,” ujarnya.

Berikut percakapan Irvan Sjafari dari Koridor dengan Nadea Nabilla Putri melalui Whatsapp, Kamis, 22 September 2022 malam.

Bagaimana ceritanya jatuh hati pada masyarakat lokal yang di mata Nadea adalah penjaga laut sebenarnya? Bagaimana inspirasi itu muncul, ketika mengunjungi masyarakat daerah mana? Apa yang unik dari masyarakat tersebut? 

Perjalanan saya pada kesadaran bahwa masyarakat pesisir adalah penjaga laut yang sebenarnya tidak terjadi dalam satu hari. Hobi saya scuba diving membuat saya sering berinteraksi dengan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan yang menyewakan kapalnya untuk diving trip ketika mereka sedang tidak memancing.

Saya sering ngobrol sama nelayan-nelayan. Mendengar tentang keluh kesah mereka sebagai nelayan di jaman sekarang. Yang mereka keluhkan adalah perubahan iklim. Mitos-mitos atau ilmu turun menurun untuk membaca pola alam yang sudah familiar dari zaman mereka kecil, nggak lagi reliable. Tidak nyambung lagi. Akhirnya mereka pun kesulitan untuk bisa memancing secara efektif.

Dari sana saya juga melihat masyarakat pesisir dengan kebudayaannya, terus mencoba menjaga keseimbangan di darat dan di laut. Contohnya di Bali ada satu hari sebagai nyepi laut. Nyepi laut ini berbeda hari dengan nyepi yang jadi hari libur nasional. Nyepi laut ini berlaku hanya di kegiatan laut. Pada nyepi laut, semua kegiatan di laut harus berhenti, mulai dari memancing sampai speedboat antar pulau.

Daerah mana lagi yang punya keunikan serupa? Apa keunikannya?

Saya rasa setiap berpindah dari satu titik ke titik lain bahkan masih di satu pulau (Bali), cukup ada keunikan sendiri-sendiri. Yang di luar Bali , saya baru berkunjung ke Lampung. Komunitas pesisir di sana cukup industrial. Tapi kalau ngomongin komunitas pesisir yang paling unik, menurut saya sih Suku Bajo.

Dari mana muncul ide proyek perahu ‘Ketinting’ listrik tanpa minyak, bahan bakar yang cukup mahal? Kapan protipe dibuat? Dijalankan pertama kali di mana? Pada perkembangannya sekarang?

Ide awal muncul di 2018, ketika saya sedang bergabung di proyek kapal listrik model catamaran di Bali. Saat itu, rasa gelisah dalam diri yang terus membuat saya pengen ‘do action’ yang menurunkan jejak karbon tapi juga bisa menolong nelayan.

Pada 2018 saya dan teman mulai membuat prototype dan 2019 kami mulai uji cobakan ke nelayan selama setahun. Tahun 2020, baru kita dorong pemakaiannya ke publik. Dijalankan pertama di Desa Kelan, Bali (daerah Tuban).

Ke depan apa yang akan dilakukan Nadea terkait pemberdayaan masyarakat lokal, khususnya perempuan? Pada 2022 ini melakukan apa?

Rencana di 2022, saya ingin buat 10 unit lagi yang bisa dipakai nelayan lain di daerah primary di Bali, contohnya Sanur. Agar temen temen nelayan yang sekarang fokusnya ke ekowisata juga bisa mendapatkan pengalaman bagaimana efek baik mesin MantaOne ini.

Ketika bapak-bapak nelayan baru, sudah nyaman dengan MantaOne, saya ingin bekerja sama dengan beberapa yayasan untuk pemberdayaan istri-istri nelayan. Melakukan pelatihan untuk para istri nelayan, seperti pengolahan hasil tangkap sehingga hasil tangkap itu, bernilai lebih tinggi. Pelatihan dasar administrasi sehingga istri-istri bisa bekerja juga di dive center atau touristy place.

Waktu kecil dulu memang bercita-cita terjun ke dunia yang terkait lingkungan hidup? Apa kenal lingkungan hidup setelah mengenal dunia selam? Kapan kenal dunia selam? 

Ha ha ha, waktu kecil saya ingin menjadi dokter, agar nggak ada bayi meninggal lagi, karena adek laki- laki saya meninggal. Lalu, mimpinya bergeser ke pilot, tapi nggak jadi karena orang tua nggak sanggup. Terlalu mahal. Jadi waktu kecil cita-cita saya mau jadi orang yang ilmunya bermanfaat bagi sekitar saja. Karena untuk saya bekerja bukan perihal bayar tagihan, tapi bekerja itu berkarya.

Saya pertama kali diving mungkin sekitar 2004, ketika saya SMP. Diving pertama di Sea World Ancol, Jakarta Utara.

Waktu ikut Miss Scuba apa saja pengalamannya?

Miss Scuba 2017 itu di luar rencana. Waktu itu saya sudah sertifikasi open water (level 1). Saya masih melakukan study S2 di Korea Selatan. Instruktur saya maksa banget untuk daftar dan pada saat itu saya nggak ada ide itu apa. Di mata saya, itu cuma sebatas kontes kecantikan yang dinilai pasti bagaimana jago berpose dan berdandan.

Tetapi, akhirnya saya memutuskan daftar, biar instruktur saya nggak neror saya dengan pertanyaaan “udah daftar?”

Terjun ke lapangan. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Ketika mengenal dunia selam, apa yang Nadea lihat? Apakah keindahan laut atau seperti yang dialami kawan-kawan Divers Clean Action (DCA) hanya melihat sampah plastik?

Ketika menyelam, saya melihat keajaiban yang nyata. Warna-warna cantik yang nggak saya temuin di darat. Sistem kehidupan yang harmonis dan saling berdampingan. Ikan-ikan kecil, koral, ikan-ikan predator dan yang lainnya. Saya merasa ada harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Ada harapan bahwa nanti keturunan-keturunan saya bisa menikmati keindahan ini dan juga mempelajari kebijakan hidup dari makhluk-mahluk di bawah air ini.

Masalah sampah, sama dengan teman teman DCA, kebetulan pernah menyelam juga dengan mereka, saya deep dive di kedalaman 30 meter masih menemukan sampah di dasar laut. Salah satu hal yang membuat saya gelisah ingin melaukan sesuatu juga perihal sampah ini.

Sudah menyelam di daerah mana saja? Mana yang paling mengesankan dan mengapa?

Ini pertanyaan paling susah, karena setiap orang punya preference beda-beda. Untuk saya setiap diving pasti punya khasnya. Tapi yang paling mengesankan adalah di Manta Point, Nusa Penida. Pertama kalinya saya bertemu Manta. Ikan Manta itu berenang dekat sekali di atas kepala saya, seakan akan ngasih izin untuk menikmati rumahnya.

Artikel Terkait

Terkini