Meski awalnya Culture Project tidak diniatkan sebagai band serius, namun berhasil menembus panggung Jakarta International Java Jazz Festival.

Koridor.co.id

Tak pernah terbayangkan sedikitpun di kepala Umariyadi Tangkilisan bahwa suatu saat band Culture Project yang dibentuknya pada 2008, di Kota Palu, Sulawesi Tengah, bisa menjadi salah satu penampil dalam pagelaran musik dengan reputasi internasional. Sebuah festival jazz terbesar di Asia Tenggara bernama Java Jazz Festival (JJF) 2022.

Saat pertama kali diiniasi, Culture Project adalah sebuah proyek musik untuk membawakan kembali lagu-lagu lama karya Hasan Muhammad Bahasyuan, maestro seni Sulawesi Tengah. Band ini sama sekali tidak diniatkan menjadi serius. Apalagi yang muaranya menghasilkan lagu-lagu karya sendiri atau tampil di berbagai panggung.

Gelindingan nasib kemudian memberikan mereka banyak kejutan. Membawa mereka akhirnya menapaki banyak pencapaian. Termasuk beraksi di atas Wonderful Indonesia Stage, kawasan JIExpo Kemayoran, yang menjadi tempat penyelenggaraan JJF, 27 Mei 2022.

Keesokan harinya setelah tampil, Adi Tangkilisan (gitaris), Zhul Usman (vokalis), Ryan Patindjo (gitaris), Ayub Lapangandong (bassis), dan Cliff Mokosandi (drummer) meladeni permintaan wawancara Koridor. Sambil menyesap kopi sasetan, kami duduk lesehan di belakang salah satu rumah kaca yang ada di Taman Menteng, Jakarta Pusat. Berikut hasil wawancaranya.

Waktu pertama kali membentuk band ini apakah kalian sudah punya target atau ambisi besar yang harus dicapai, semisal tampil di ajang Java Jazz Festival ini?

Adi Tangkilisan (AT): Tidak sama sekali. Band ini malah bisa dikatakan baru “hidup” setelah kami pulang habis manggung di acara Festival Sastra Banggai, Kabupaten Banggai, Sulteng, akhir Juni 2019. Sejak pertama terbentuk pada 2008 hingga sebelum 2019 band ini mengalir saja. Hanya latihan dan main jika ada undangan mengisi acara. Tidak ngotot mencari-cari job manggung. Ambisi sebagai band, sih, tetap ada. Tetapi, bukan dalam bentuk gerakan yang sistematis.

Ayub Lapangandong (AL): Sepanjang perjalanan pulang dari FSB itu kami menghabiskan banyak waktu bersama di dalam mobil. Akhirnya teman-teman buka suara menanyakan arah band ini ke depan seperti apa. Karena selama ini proses kreatif kami saling merespons, termasuk segala ide, rencana, dan keputusan yang diajukan oleh para personel. Selama masih rasional pasti kami saling menanggapi.

Zhul Usman (ZU): Saya pribadi sebenarnya sudah mempertanyakan komitmen itu saat Culture Project jadi salah satu penampil International Indie Music Festival di Indonesia Convention Exhibition, BSD City, Tangerang (27/9-7/10/2018). Pasalnya kan itu acara internasional. Jadi, saya berpikir tentang kesiapan dan apa yang akan kami lakukan sebagai band setelah tampil dalam acara tersebut.

Gempa dan tsunami yang menghantam Palu kemudian membuat kami terpaksa harus mengubur segala harapan-harapan tersebut. Ryan dan Ayub bahkan sempat berkeinginan untuk hijrah ke Jakarta. Mengingat kondisi Palu saat itu yang porak-poranda dan tampaknya butuh waktu lama untuk kembali stabil.

Seiring berjalannya waktu kami kembali berproses secara kreatif. Merekam beberapa lagu. Hingga kemudian datang pandemi Covid-19 yang mengakibatkan beberapa rencana kami gagal terlaksana. Agar band ini tetap bunyi, kami berupaya dengan segala keterbatasan untuk tetap produktif, semisal merilis videoklip dan mengadakan pertunjukan kecil.

Cliff Mokosandi (CM): Keinginan saya untuk band ini banyak sekali, bahkan tidak sebatas hanya dalam konteks musik. Kerap saya sampaikan sepintas lalu kepada teman-teman lain. Mimpi terbesarku malah rekaman album Culture Project di Abbey Road Studios (studio di London, Inggris, tempat The Beatles merekam album-albumnya).

Bagaimana cara kalian mengatasi jika kondisi dalam band sedang “panas-panasnya”?

ZU: Saya rasa wajar dalam sebuah band jika ada yang namanya intrik-intrik. Begitulah dinamikanya.

AT: Melalui band ini kami akhirnya juga membangun kebudayaan baru dalam hubungan antarpersonal, cara mengatasi konflik, kejengkelan-kejengkelan. Terlebih dalam pengalamanku, kita di Palu tidak terbiasa mengkritik seseorang secara langsung. Jadinya yang timbul semacam tradisi “bicara di belakang”. Dan saya rasa mimpi-mimpi besar orang terdahulu kita yang rusak lantaran faktor itu.

Nah, saya tidak ingin hal tersebut menimpa kami di Culture Project. Makanya di grup ini saya cerewet dan mungkin jadi pribadi yang menjengkelkan. Padahal, aslinya saya tidak seperti itu.

Bagaimana mungkin kami bisa menyembuhkan orang lain lewat karya, sementara internal kami sendiri belum bisa menyembuhkan diri? Makanya salah satu cara kami meredam tensi panas dalam band itu dengan beristirahat. Tunggu masing-masing datang dengan kepala dingin dan kondisi tenang.

Seperti apa kronologis Culture Project bisa main di Java Jazz Festival?

ZU: Sebelum tawaran main di JJF ini sebenarnya kami dalam kondisi diam. Sebagai band tidak ada kegiatan apa.

AT: Waktu itu kami fokus dengan urusan masing-masing lantaran ada banyak pekerjaan yang terbengkalai. Akhirnya sepakat untuk tidak bikin acara yang takutnya hanya bikin tambah ruwet, menghabiskan uang, stamina, dan waktu.

Tiba-tiba kami mendapatkan tawaran kesempatan. Waktu itu tawarannya saya serahkan kepada manajer kami untuk mempertimbangan segala kemungkinannya. Soalnya saya sadar ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.

ZU: Sempat ada keraguan apakah kami bisa tampil atau tidak.

AT: Saya waktu itu hanya ingin memastikan anak-anak yang lain mau. Kalau kemauan itu ada, bagi saya uang bisa kami cari. Ada banyak band yang lebih siap secara finansial, tapi tidak mendapat kesempatan main di panggung JJF. Untungnya di tengah kesibukan masing-masing para personel yang lain menyatakan bersedia main di JJF.

Respons kalian saat pertama kali mendengar ada kesempatan mengisi panggung Java Jazz seperti apa?

CM: Waktu kabar itu muncul di WhatsApp grup Culture Project, saya memang sedang rindu berat mau manggung langsung. Lagi semangat-semangatnya. Waktu itu, sih, manajer kami hanya bilang ada tawaran manggung di Jakarta. Belum dikasih tahu soal JJF. Pas tahu tawaran main di JJF saya tambah on fire.

Sempat berpikir main JJF pakai biaya apa untuk ongkos pesawat dan segala akomodasinya?

CM: Nah, pas mikir faktor itu semangat sempat kendor lagi. Apalagi waktunya mepet. Kurang lebih sekitar dua pekan. Untung atmosfer teman-teman semuanya positif karena kita punya satu kemauan yang sama; tampil perdana di panggung JJF.

Lalu, bagaimana mengatasi kendala finansial untuk tampil di JJF?

Ryan Patindjo (RP): Kami mengatakannya ini sudah rezekinya Culture Project untuk tampil di JJF. Semua di luar ekspektasi kami. Tambah lagi dengan waktu yang mepet. Ternyata ada banyak jalan terbuka. Pun dukungan kepada kami juga tak henti mengalir. Ada yang memberikan dukungan moril hingga materil. Datang dari berbagai pintu. Akhirnya kami bisa berangkat.

ZU: Mungkin karena teman-teman menganggap kami sebagai representatif Kota Palu, khususnya, sehingga mereka ramai-ramai mengulurkan tangan untuk membantu. Intinya kami harus mengambil kesempatan ini, tidak peduli berapa orang yang kami ajukan untuk berangkat.

Berarti satu kendala sudah terselesaikan. Bagaimana dengan beban lain yang dirasakan para personel, khususnya karena JJF ini adalah panggung internasional dengan reputasi mentereng?

ZU: Bebannya berat sekali. Soalnya ini bukan hanya membawa ekspektasi pribadi, tapi juga banyak orang. Ibaratnya itu saya memanggul kulkas dua pintu di pundak.

AL: Selama empat hari menjelang naik panggung itu saya sebenarnya tidak pernah tidur nyenyak. Mual terus.

ZU: Melihat euforia teman-teman di medsos juga bikin tambah gugup. Ha-ha-ha.

AL: Java Jazz buat saya pribadi sebenarnya menyimpan kenangan spesial. Pada 2009, waktu awal-awal belajar main bass, saya dan almarhum kakak dapat oleh-oleh gantungan kunci Java Jazz dari om. Pas momen itu kami berkeinginan suatu saat harus nonton Java Jazz bareng. Makanya pas membawakan lagu terakhir di atas panggung saya sangat emosional. Kenangan-kenangan lama itu muncul kembali. Akhirnya saya bisa ke JJF.

RP: Rasa gugup yang awalnya juga sempat saya rasakan hilang berganti rasa takjub begitu kami sudah sampai di Jakarta.

CM: Di backstage sebenarnya saya masih gugup lantaran membayangkan mau main di atas panggung JJF.  Ketika sudah main baru akhirnya bisa lega. Plong.

Berarti ini pengalaman pertama kalian semua ke JJF?

CM: Iya, ini pertama bagi kami semua. Dan datang bukan sebagai penonton, tapi manggung.

Apa saja pengalaman yang kalian dapatkan selama main di JJF? Mungkin  bisa jadi bahan evaluasi agar ke depan kalian bisa tampil lebih bagus lagi atau hal-hal lain.

ZU: Kalau dari saya pribadi ingin meningkatkan disiplin. Selama ini saya kadang terlambat latihan. Datang masih dengan baju kantor. Juga harus lebih mempersiapkan bahan-bahan apa saja yang akan disampaikan di atas panggung. Jangan sampai blank saking gugupnya.

RP: Mulai dari alat, mental, dan manajemen waktu. Karena saat manggung ada banyak aspek yang harus diperhatikan dan dipersiapkan, mulai dari teknis hingga nonteknis. Semoga tim kami bisa lebih solid mempersiapkan itu semua.

AL: Selama pengalamanku manggung, kru di JJF ini yang terbaik. Mereka ramah dan sangat proaktif. Tidak peduli band baru atau yang terkenal pelayanan mereka sama bagusnya.

CM: Pengalaman selama ini biasanya kru itu hanya melayani dengan bagus jika menghadapi musisi terkenal, tapi di JJF tidak ada diskriminasi seperti itu. Semuanya rata.

Setelah ini apalagi rencana Culture Project?

AL: Rekaman untuk rilis album.

AT: Mau bikin acara semacam konser terima kasih kepada semua teman-teman yang mendukung kami hingga ke titik ini.

Artikel Terkait

Terkini