Menggunakan transportasi publik di Bandung tidak rasional. Biayanya lebih mahal dan waktunya tidak efisien

Koridor.co.id

Shanty Yulianti Rachmat. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Shanty Yulianti Rachmat. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Bandung kota termacet di Indonesia. Dinas Perhubungan setempat berapa waktu lalu menyatakan, jumlah kendaraan 2,2 juta unit nyaris sama dengan jumlah penduduk. Seharusnya jika dibandingkan dengan Jakarta, yang rasionya lebih besar, yaitu 21 juta unit kendaraan dibanding penduduk 10,6 juta., logikanya Jakarta lebih macet.

Kenyataannya, tetap saja Bandung paling macet. Survei ABD pada 2019  bahkan menobatkan Kota Kembang itu, urutan nomor 14 di Asia di atas Jakarta nomor 17, perihal kemacetan. Ada apa?

Pakar transportasi dan Staf pengajar Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan  ITB, Shanti Yulianti Rachmat mengatakan solusi tepat untuk Kota Bandung adalah kebijakan yang pendekatannya lebih kepada sistem. Selain itu, juga menerapkan kebijakan yang dua sisi dari transportasi publik dan kendaraan bermotor.

Berikut petikan wawancara Irvan Sjafari dari Koridor dengan peraih gelar Doktor dari  University Of Florida, Gainesville – Amerika Serikat  2014 ini, Minggu 12 Februari 2022.

Mengapa Bandung jadi kota  paling macet?

Indikator macet yang tepat adalah jumlah volume kendaraan yang lewat di ruas-ruas jalan dibandingkan dengan kapasitas dari jalan yang dilewati tersebut, atau dari kecepatan rata-rata dari kendaraan yang melewati jalan tersebut. Jika dikatakan bahwa Bandung menjadi paling macet, perlu kita telaah lebih dalam apa yang menjadi masalah Kota Bandung berdasarkan indikator tersebut.

Berdasarkan data yang ditanyakan, misalnya dari sisi volume, tingkat motorisasi atau kepemilikan kendaraan warga kota Bandung meningkat dengan jumlah yang hampir sama dengan jumlah penduduk. Artinya, secara rata-rata, 1 orang penduduk 1 orang kendaraan, terlepas itu sepeda motor atau mobil.

Saat warga Bandung beraktivitas, volume jalanan kota akan penuh dan terus mengalami peningkatan. Saat volume meningkat tapi kapasitas tetap, tentunya kecepatan laju kendaraan menjadi rendah bahkan tersendat, yang biasa kita sebut macet. 

Di sisi lain, Kapasitas Jalan Bandung, yang dapat dikatakan padat atau compact dan sulit untuk ada penambahan-penambahan ruas jalan, berkontribusi kepada intensitas kemacetan di Kota Bandung. Perubahan-perubahan tiap tahun yang terjadi untuk menambah kapasitas adalah pemberlakuan ruas-ruas jalan satu arah di berbagai jalan di Kota Bandung.

Hal ini memang menambah kapasitas di jalan yang ukur kemacetannya, hanya solusi ini adalah jangka pendek. Jika kita lihat secara sistem transportasi jalan di Kota Bandung, cenderung memindahkan kemacetan di jalan yang lain. Sehingga, jika diukur secara agregat jalan, kemacetan di Kota Bandung tetap bertambah, saat Kota Bandung tidak menambah kapasitas dari jalan. 

 Mengapa warga sulit untuk diimbau ke transportasi publik?

Saat warga diberikan pilihan antara transportasi publik dan kendaraan bermotor, dua hal secara rasional yang akan menjadi bahan pertimbangan warga, yaitu harga total perjalanan dan waktu. Dari sisi harga, transportasi publik sebenarnya bersaing, memiliki harga yang cukup murah untuk sekali perjalanan.

Sayangnya, dengan rute yang memutar, warga harus naik beberapa transportasi publik, sehingga menurunkan tingkat persaingan harga. Total harga yang harus dikeluarkan warga menjadi tinggi. Menjadi tidak rasional bagi warga untuk memilih angkutan umum atau transportasi publik.

Sisi yang kedua adalah waktu. Dalam melakukan perjalanan, warga ingin transportasi yang cepat dalam mencapai tempat aktivitas. Jika misal warga naik transportasi publik harus mengikuti rute yang telah ditentukan dan memutar, naik beberapa kali, bahkan transportasi publik banyak berhenti karena menunggu penumpang, maka Maka Transportasi Publik kalah di tingkat persaingan waktu. Ini menyebabkan warga menjadi tidak tertarik untuk berpindah ke transportasi publik. Hal ini terlihat dari data tingkat keterisian angkutan umum sekitar 30% saja di Kota Bandung.

Selain angkutan umum yang sulit bersaing terutama dari sisi harga dan waktu, kebijakan yang pro- ataupun keunggulan dari kendaran bermotor juga menjadi faktor mengapa warga sulit dihimbau ke transportasi publik. Jelas dari sini harga, kendaraan bermotor, terutama motor akan menjadi lebih murah.

Dari sisi waktu, tentu lebih cepat pula. Ditambah faktor-faktor lain yang kendaraan bermotor lebih unggul. Misalnya, faktor privacy dan keamanan, warga dapat melakukan perjalanan secara fleksibel, beberapa kali, tanpa penumpang lain, dan lebih rendah kemungkinan gangguan keamanannya. 

 Solusi paling tepat apa untuk Bandung?

Solusi yang tepat untuk Kota Bandung adalah kebijakan yang pendekatannya lebih kepada sistem dan juga menerapkan kebijakan dua sisi dari transportasi publik dan kendaraan bermotornya.

Pendekatan sistem maksudnya, perlu analisis yang lebih berdasarkan fakta, bagaimana pergerakan warga Bandung sehari-hari dan bagaimana pergerakan warga Bandung plus pendatang pada kondisi libur. Penerapan aturan dan pengawasannya perlu berdasarkan permasalahan yang terjadi di lapangan. Misalnya, apakah ada ruas jalan yang dijadikan parkir atau tempat berjualan, hal ini menimbulkan pengurangan kapasitas jalan.

Aturan yang diterapkan lebih kepada penanganan masalah parkir dan tempat berjualan ini, sebelum kita menerapkan kebijakan misal jalan satu arah. Penerapan jalan satu arah pun perlu melihat kapasitas seluruh jalan di Kota Bandung, sehingga seimbang mengakomodir pergerakan utara-selatan atau barat-timur dan tidak menumpuk pada beberapa jalan saja.

Kebijakan dari sisi angkutan umum menjadi hal yang cukup menantang. Bagaimana Kota Bandung bisa meningkatkan kepopuleran dari transportasi publik disaat persaingannya tinggi. Pertimbangan waktu dan harga tentunya harus menjadi faktor utama, karena kedua faktor tersebut yang paling rasional pada saat orang memilih moda yang digunakan sehari-hari. Sehingga, contoh kebijakan adalah insentif yang diberikan ke warga Bandung untuk naik transportasi publik, seperti bebas harga, potongan harga, atau kupon.

Dari sisi waktu misalnya jalur prioritas untuk transportasi publik, pengawasan angkutan umum yang berhenti menunggu penumpang. Serta kebijakan penunjang lain, seperti meningkatkan kualitas dan keamanan. Termasuk dari sisi manajemen dan pengendara. Jangan sampai, kita meningkatkan kualitas tapi tidak mempertimbangkan faktor waktu, seperti instalasi layar TV tanpa pengawasan terhadap waktu berhenti (ngetem).

Kebijakan dari kendaraan bermotor adalah kebijakan yang menahan latent demand atau keinginan warga untuk memiliki kendaraan bermotor ataupun memakai kendaraan bermotor. Kebijakan seperti ini bertujuan mengurangi kendaraan bermotor. Contoh dari kebijakan ini adalah pemberlakuan harga yang tinggi untuk kendaraan bermotor pada parkir, bahan bakar, atau pemakaian jalan.

Selain itu, dapat juga berupa pembatasan-pembatasan pemakaian kendaraan bermotor seperti ganjil-genap, wilayah three-or-two in one, road pricing di suatu koridor atau area, atau bahkan menutup sebagian jalan yang memiliki transportasi publik yang bagus untuk kendaraan bermotor.  

Tentunya kebijakan kendaraan bermotor perlu diiringi dengan penambahan options  atau pilihan moda lain, dalam hal ini transportasi publik yang mumpuni. Perencanaan dan pembangunan transportasi publik diperlukan lebih gencar dan cepat dibandingkan penyediaan terhadap jalan yang pro-kendaraan bermotor.

Memang investasi keduanya membutuhkan dana yang besar, kembali kepada komitmen pengambil keputusan untuk lebih pro-transportasi publik didukung oleh pengampu kebijakan dan perencana/perumus anggaran.

Jumlah sepeda motor melesat dibanding mobil. BPS Kota Bandung sebut jumlah motor 1,16 juta pada 2020 dan rilis dishub sebut saat ini 1,7 juta unit. Mengapa Bandung besar pertambahan motornya? 

Pertimbangan utama warga yang rasional dalam memilih moda setiap hari adalah waktu dan harga. Motor sangat unggul di keduanya. Hal tersebutlah yang menyebabkan pertambahan sepeda motor sangat besar. Dari sisi waktu, berbagai kebijakan yang diberlakukan pada mobil, tidak berlaku pada motor, menjadi faktor keunggulan motor.

Contohnya di Kota Bandung pernah ada kebijakan motor boleh ke depan di lampu merah. Dari sisi harga, untuk memperoleh motor itu cukup rendah, bahkan ada yang bisa tanpa uang muka. Keunggulan harga juga berlaku pada pergerakan sehari-hari. Pemakaian bahan bakar motor harganya lebih rendah jika warga membayar beberapa rute transportasi umum.

Padahal jika kita telaah lagi, tentu kontribusi terhadap kemacetan tidak hanya dari jumlah mobil, jumlah motor juga berkontribusi cukup tinggi. Berdasarkan standar, satu sepeda motor itu setara dengan 0,25 – 0,4 dari satu mobil (satuan mobil penumpang). Sehingga, pertumbuhan jumlah motor juga menjadi sebab mengapa Kota Bandung bertambah kemacetannya.

Artikel Terkait

Terkini