Komunitas musik umumnya mengenal Iman Rahman Anggawiria Kusumah, akrab disapa Kimung, pentolan musik cadas di Kota Bandung, Jawa Barat sejak 1990-an, dan sempat menjadi personil dari Band Burgerkill.
Tapi tak banyak yang tahu bahwa Kimung adalah sejarawan alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. Dia sudah membuat lebih dari 20 film dokumenter sejarah, di antaranya tentang bangunan bersejarah di Kota Bandung dan sejarah Band Burgerkill. Dia juga menulis buku teks terkait sejarah musik di kota kembang.
Dia menerbitkan buku yang mengangkat tentang ruang lingkup metal terkuat di Indonesia. “Ujungberung Rebels” adalah judul dari buku yang secara fokus memaparkan tentang teritori yang pada akhirnya menjadi kiblat musik metal tanah air.
Karena ketekunannya Kimung direkrut almamaternya untuk mengajar mata kuliah sejarah visual sejak 2017 dan kini dipercaya untuk sejarah film sejarah dan film dokumenter. Kepada Irvan Sjafari dari Koridor, Kimung mengungkapkan pandangannya tentang film dokumenter sejarah melalui telepon, Minggu, 29 Januari 2023.
Bisakah film dokumenter sejarah menjadi pengganti skripsi konvensional? Unair kan sudah membuat kebijakan membuat skripsi kreatif untuk menggantikan skripsi konvensional. Apa komentar Anda?
Fenomena itu berangkat dari disrupsi kondisi zaman sekarang, orang sudah mulai meninggalkan kertas berganti dengan digital. Termasuk buat arsip dan dokumen sifatnya sudah visual, sifatnya digital, bukan lagi menggunakan kertas.
Perkembangan media sosial mendorong dinamika perkembangan fotografi dan videografi dengan sangat cepat di masa ini karena ada reel, terus Tik Tok, Youtube, dalam banyak hal mengubah sudut pandangan sejarawan bahwa karya visual itu mewarnai jiwa zaman sekarang, di generasi yang sekarang.
Kalau sejarah tidak ikut ke sana, maka sejarah akan hilang. Sejarah akan ditinggalkan, sejarah akan ketinggalan zaman.
Apakah itu artinya suatu ketika skripsi konvensional akan ditinggalkan?
Bagi saya ketika produk jadi, produk itu lahir, suatu produk bisa mengganti lain. Sangat bisa, tetapi produk lama jangan ditinggalkan. Film dokumenter sejarah ada, tetapi penggarapan narasinya ada. atau film fiksi berdasarkan rekonstruksi sejarah kan harus dalam proses penelitian. Ketika melakukan proses penelitian kan harus dituliskan hasil penelitiannya.
Nah, hasil penelitiannya diseminarkan, baru masuk dalam produksi film dokumenter. Harus disadari bahwa belum banyak sejarawan yang memiliki visi yang sama atau menuju ke arah sana. Kalau di kampus saya kira akan tetap lebih banyak karya skripsi konvensional, tetapi juga karya sejarah visual.
Apakah itu berarti masa depan lulusan sejarah di dunia (industri) kreatif bukan lagi konvensional seperti jadi PNS, dosen, peneliti sejarah atau seperti profesi jurnalis?
Dari dulu sebetulnya juga seperti itu. Sejarah itu membicarakan masalah desain. Sejarah itu tempatnya di masa lalu. Dia mempelajari masa lalu, tetapi misi paling utamanya ialah bagaimana kita mendesain masa depan. Artinya kalau kita bicara desain, kita bicara soal kreativitas. Ada imajinasi. Walaupun dalam karyanya sejarawan dibebaskan berbuat imajinasi, tetapi kan ada batas data dan fakta. Ada kritik intern dan kritik ekstern, sebelum melakukan interpretasi. Itu kan proses kreatif. Jadi wajar sekali sejarawan masuk ke ranah kreatif. Dari dulu juga seperti itu.
Departemen Ilmu Sejarah di Unair juga menawarkan pembuatan komik sejarah, novel sejarah, tentunya tidak melupakan metodologi sejarah hingga aplikasi teknologi berbasis sejarah. Apa komentar Anda?
Bagus sekali. Bahkan saya menemukan inisiatif seperti keluar bukan dari sejarawan. Teman saya Andi Fadly Arifuddin Mattotorang (Fadly vokalis band rock Padi) punya sekolah alam. Dia buat komik sejarah untuk mengajar anak didiknya. Konten sejarah secara visual lebih cepat sampainya ke anak didik. Bagus sekali ada komik. Sejarah dibuat teater. Sejarah bisa dibuat indrawi karena memiliki kesan yang baik pada fisik maupun psikis.
Apakah itu artinya institusi sejarah harus berbenah untuk menghadapi perubahan ini?
Kalau sejarah 50 tahun ke sini termasuk kontemporer karena bisa dikejar dengan oral, wawancara. Yang klasik itu konvensional 50 tahun belakang kita bicara arsip. Kekuatan di sejarah justru ada di arsip. Itu tetap kita harus jaga keberadaannya, karena ruh awalnya dari sana. Bahkan kalau kita bicarakan masalah pelestarian kebudayaan seperti pisau bermata dua. Pertama, pelestarian, dan kedua adalah pengembangan. Sejarah visual ini adalah pengembangan. Tetapi kalau kita melakukan pengembangan dan pelestarian yang sudah ada nih, tetap harus dijaga.
Saya sendiri selain membuat film, juga merilis buku tekstual. Selain itu pengarsipan kertas tetap ada. Walau ke depannya akan berkurang.
Profesor Dr. Reiza D. Dienaputra ketika dikukuhkan sebagai guru besar pidato ilmiahnya disrupsi sejarah. Dia konsen pada disrupsi sejarah. Sejarah visual sudah dimulai di Unpad pada 2017 ke sini. Ada mata kuliah film sejarah dan film dokumenter. Ada mata kuliah visualisasi sejarah. Saya semester ini mengajar film sejarah dan film dokumenter. Sekarang ini penugasan kuliah sudah diarahkan buat film atau mengkurasi film, atau buat sound atau buat lukisan, juga mengkurasi teater.
Anda pernah bikin film dokumenter sejarah apa saja?
Karya saya paling baru bareng sama Profesor Reiza. Sepanjang 2021, saya bikin 16 film, di antaranya dokumenter sejarah karinding, dibuat untuk penetapan karinding sebagai warisan tak benda. Kemudian tahun ini saya buat film Profesor Dr Mochtar Kusumaatmadja, Bapak wawasan Nusantara itu sebagai syarat mendorong Prof Mochtar Kusumaatmadja jadi pahlawan nasional.
Tahun ini saya berencana buat 10 film. Di antaranya, sebuah film fiksi berangkat dari kisah nyata. Saya bikin film Gaung Cadas 3 seri, sejarah musik metal di Sukabumi, Tangerang dan Aceh.
Saya juga buat film Sisir Guruh, tentang sejarah ekosistem musik di Bandung 1990-2020 dan sebagainya. Film ini menampilkan narasumber Koseng dari Spills Records, Dadan Ketu dari Riotic Records, Dendy Darman dari UNKL347, Vidi Nurhadi dari Maternal Disaster, dan Diannov Pamungkas dari DSSTR Records.
Pilihan sosok ini mewakili ekosistem musik Bandung dari ranah record label, merchandising, dan festival, yang menuturkan perjalanan jatuh-bangun, dinamika, transisi analog-digital, serta jalur rollercoaster yang dilintasi infrastruktur musik indie berbasis kolektif.
Namun yang paling banyak dilihat adalah sejarah “Burgerkill: We Will Bleed” tetapi film pertama saya tentang Bandung yang banyak bangunan bersejarah.