Psikolog dari Rumah Sakit Universitas Islam Indonesia Intan Kusuma Wardhani mengatakan fenomena tidak mempunyai anak bukan hal baru. Tetapi, dulu tidak ada istilah childfree. Peraih Magister profesi Psikologi dari Universitas Gadjah Mada ini mengakui bahwa pilihan untuk melakukan childfree tidak lagi karena faktor finansial terutama dari kalangan menengah atas, tetapi juga faktor psikologis dan idealisme.
Berikut wawancara perempuan kelahiran 1984 ini dengan Irvan Sjafari dari Koridor, Sabtu, 30 April 2022:
Bagaimana Anda melihat fenomena para pelaku child free yang mulai muncul beberapa tahun terakhir ini, di antaranya artis Cinta Laura?
Sebenarnya keputusan untuk tidak memiliki anak bukan fenomena baru, sudah ada sejak lama namun belum digunakan istilah childfree ini. Istilah ini baru menjadi populer beberapa tahun belakangan ini karena beberapa influencer yang mengemukakan pilihannya untuk childfree di media sosial
Mengapa muncul justru pada kalangan menengah atas yang notabene justru mampu membiayai anak? Tetapi mereka memutuskan untuk adopsi?. Apakah karena alasan khawatir populasi manusia di Bumi sudah berlebih?
Pilihan untuk childfree dilakukan bukan semata-mata karena alasan ekonomi sehingga bisa saja dilakukan oleh kalangan ekonomi manapun. Alasan-alasan yang lain, misalnya merasa tidak siap menjadi orang tua karena memiliki masalah kesehatan fisik maupun mental, atau memiliki pengalaman traumatik di masa kecil sehingga cemas jika nanti memiliki anak akan mengalami hal sama seperti dirinya. Ada pula karena rasa khawatir melihat dunia dipandang sudah tidak ramah lagi bagi anak. Ada juga yang karena alasan idealisme tertentu misalnya ingin ikut berperan serta tidak menambah populasi dunia.
Apa boleh dibilang gerakan childfree ini pengaruh dari Barat?. Soalnya tidak pernah dikenal di dunia Timur. Malah pasangan berdaya upaya punya anak misal dengan bayi tabung. Kalau di dunia Barat apa alasannya?
Ya, di Indonesia sebagaimana negara-negara Timur lainnya, menganut budaya kolektivisme, yang dalam mengambil keputusan, pengaruh dari lingkungan sosial, kelompok, keluarga, dan nilai-nilai agama maupun budaya yang dianut oleh mereka turut memegang peranan penting.
Misalnya dalam keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak, seseorang tidak hanya mempertimbangkan kehendak diri pribadi. Hal ini berbeda dengan negara-negara barat yang budayanya cenderung bersifat individualistis. Hak asasi dan kepentingan pribadi lebih menjadi fokus. Masyarakat yang memilih untuk childfree pada umumnya memang menekankan bahwa memiliki anak atau tidak adalah sebuah hak asasi pribadi
Persiapan apa yang harus dilakukan pasangan yang memilih tidak punya anak? Bukankah mereka akan menghadapi tekanan dari keluarga besar, juga lingkungan masyarakat?
Ya pilihan untuk childfree harus disertai dengan kesadaran penuh mengenal konsekuensinya, termasuk potensi menghadapi tekanan dari keluarga maupun lingkungan sosial yang memiliki pandangan berbeda. Oleh karena itu, sebaiknya pilihan ini sudah disertai pertimbangan matang dan kesepakatan bersama antara suami dan istri, tidak hanya keputusan salah satu pihak.
Kalau ingin melakukan adopsi apa persiapannya?
Untuk adopsi selain kesiapan secara finansial, juga perlu kesiapan mental dan kemauan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengasuh anak. Perlu memahami hak-hak apa saja dari seorang anak yang harus dipenuhi nantinya. Penting juga komitmen pasangan untuk mengasuh anak bersama-sama, tidak hanya salah satu.
Adopsi anak sebaiknya pada usia berapa?
Tidak ada standar khusus pada usia berapa sebaiknya adopsi saat anak usia berapa. Akan tetapi jika diadopsi sejak usia dini, usia bayi misalnya, tentunya akan lebih mudah bagi anak untuk dibentuk, diarahkan pola kebiasaan dan perilakunya sesuai nilai-nilai yang dipegang oleh orang tua angkat. Sementara itu jika anak sudah lebih besar, ia perlu lebih banyak menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan juga pola asuh yang bisa jadi sangat berbeda dengan tempat dimana ia dibesarkan sebelumnya.