Pada Selasa 11 April 2023 LSM Bicara Udara dan Partai Hijau mengadakan diskusi dan pemutaran film dokumenter bertajuk “Peduli Polusi Udara: Selamatkan Masa Depan Bangsa” di kawasan Jakarta Selatan.
Dalam acara buka puasa bersama ini diputar sebuah film dokumenter bertajuk “Sengal”. Biaya produksinya hanya sekitar Rp150 juta, namun mampu mengungkapkan apa yang terjadi pada udara di Jakarta yang disebut nomor satu di dunia.
Sengal mampu mengungkapkan dampak kesehatan akibat polusi dan mewawancarai keluarga korban yang meninggal hingga harus dapat perawatan intensif hingga warga Marunda yang terpapar akibat kegiatan batu bara.
Sutradara film dokumenter ini bernama Vincent Ricardo. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) angkatan 2015 ini mengaku tergerak hatinya setelah mendapati fakta bahwa tinggal di daerah Tangerang Selatan yang notabene masih hijau tetap terpapar polusi.
“Pasalnya pohon-pohon hanya mereduksi polusi C02 dan zat lainnya, tetapi tidak dengan debu. Padahal debu ini juga berbahaya,” kata Founder dan CEO Vincis Studio kepada Irvan Sjafari dari Koridor. Berikut petikan wawancara dengan anak muda kelahiran 1996 ini.
Apa yang Ingin Anda ungkapkan dalam ‘Sengal’?
Sebenarnya berawal dari pengalaman saya ketika tinggal di BSD. Saya kaget bahwa wilayah yang hijau ini ternyata adalah salah satu wilayah yang berpolusi di Jabodetabek. Dari sana saya tergerak untuk mencari perspektif korban yang kemudian diangkat dalam dokumentasi Sengal.
Perspektif korban itu saya elaborasi lebih lanjut bagaimana science di baliknya, seperti dari ilmiahnya mengapa polusi berdampak bagi kesehatan.
BSD kan daerah hijau kok tidak bisa mampu mereduksi polusi?
Karena debu tidak bisa direduksi oleh pohon. Sebenarnya kalau kita omong Gading Serpong, BSD bukan wilayah itu saja. Daerah Bekasi, Bogor dan Jakarta Selatan yang masih hijau mempunyai problem sama. Ternyata yang hijau-hijau pun tidak menurunkan polusi. Karena itu kita harus bersuara, karena tidak ada tempat di Jabodetabek kabur (bebas polusi).
Apa dampak yang dirasakan?
Dampak yang dirasakan warga Jabodetabek besar. Ada yang meninggal seperti kasus menimpa Vivi Octaviani, menderita penyakit paru. Berapa warga yang keluar masuk rumah sakit seperti kasus Putri Asyfa. Belum lagi warga yang asmanya sering kambuhan.
Bagaimana ceritanya bisa mendapatkan kasus-kasus ini? Bagaimana risetnya?
Kami menggunakan open source, search engine, kita bisa cari pengamat juga korban. Nama mereka kita verfikasi. Kita juga mendapat rekomendasi narasumber dari rekan-rekan LSM.
Waktu ke Marunda apa yang dirasakan?
Marunda bukan hanya parah. Dan itu bukan perasaan kita saja. Tetapi kita juga bawa peralatan sensor kualitas udara. Kita bisa mengukur tingkat partikel debu PM 2,5 (mikrometer, dan itu di ambang batas yang disarankan WHO). Saya mendapatkan korban yang tidak saja terdampak kesehatan tetapi juga ekonomi.
Bukan hanya bongkar muat batu bara, tetapi kawasan industri di sana juga berkontribusi untuk polusi.
Butuh berapa lama produksi Sengal?
Sekitar 4 hingga 5 bulan. Berikut konsepnya sekitar 6 hingga 7 bulan. Kita pengerjaan tergolong cepat karena dilakukan secara pararel, pre production, production, post production. Tim kami belasan orang, termasuk tim kreatif. Biaya Rp150 juta itu kecil untuk film berdurasi 50 menit, karea video influencer sendiri yang 7 menitan, biayanya seperti itu.
Pesan dan ekspetasi yang diharapkan dari produksi Sengal ini apa?
Kita ingin warga Jakarta sadar lagi dengan isu lingkungan. Sebenarnya dampaknya tidak hanya sakit atau dua hari seperti flu. Korban itu ada di seluruh spektrum ekonomi, seluruh spektrum sosial, ini isu berdampak pada semua orang.
Kita belum bisa kolonisasi di Planet Mars. Kita hanya punya satu planet tempat kita hidup dan kita lindungi, yaitu Planet Bumi.