Staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Suma Riella Rusdiarti menyampaikan film horor Indonesia kerap dipandang sebuah genre, sering dianggap sebagai film kelas dua. Film horor sering dianggap sebagai genre yang secara komersil paling menguntungkan, karena dengan biaya produksi rendah tetap menghasilkan keuntungan besar.
Meskipun demikian, menurut perempuan yang karib disapa Riella ini film horor sebagai sebuah produk budaya tetaplah menjadi objek kajian ilmiah yang sangat penting. Karena mewadahi berbagai lapisan nilai dan sisi masyarakat yang sering disembunyikan atau direpresi.
“Luasnya wilayah, keragaman etnis dan budaya, kompleksitas masalah, harus lebih digali, agar menghasilkan karya-karya yang berakar dan berpijak dengan sejarah dan tradisi sendiri,” ucap peraih gelar doktor dengan disertasi berjudul “Kaidah, Makna Das Unheimliche, dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia,” pada 2015.
Belakangan ini bermunculan film horor Indonesia yang semakin beragam dan meraup penonton yang cukup signifikan. Bagaimana Riella menanggapinya? Berikut petikan wawancaranya dengan Irvan Sjafari dari Koridor melalui Whatsapp, 4 Juni 2023
Dulu disertasi Anda tentang film horor Indonesia terkait rumah, Rumah Pondok Indah, Pocong 2, Hantu Rumah Ampera, dan Rumah Kentang. Apakah dalam disertasi ini Anda ingin membantah bahwa film horror Indonesia tetap mengandung nilai-nilai, sekalipun kerap dipandang recehan? Apa yang ingin Anda ungkapkan?
Setiap produk budaya, sekecil atau seremeh yang dipikirkan orang, pasti memiliki nilai tertentu. Apalagi ketika produk budaya itu menjadi sesuatu yang terus berulang dan memiliki penggemar yang tidak sedikit. Film sebagai produk budaya menjadi wahana penggambaran gagasan dan konstruksi nilai-nilai sosial masyarakat pada zamannya. Hal itulah yang saya lihat dalam film horor.
Apakah Anda juga ingin mengungkapkan berbagai ketakutan mendalam keluarga dan masyarakat perkotaan, serta kondisi ketidakpastian dalam berbagai lapisan dalam alam bawah sadar mereka?
Disertasi saya meneliti secara khusus, salah satu cerita yang paling klasik dalam film horor, yaitu rumah angker atau haunted house. Kajian tentang film-film rumah angker yang saya lakukan membongkar budaya kekerasan di dalam rumah sebagai ranah domestik, rumah sebagai mikrokosmos dalam konteks negara dan masyarakat, serta memaknai sejarah trauma individu dan masyarakat di suatu tempat dan di suatu masa.
Tema rumah angker adalah tema paling ideal dalam genre horor, karena ada banyak kontradiksi yang bisa dikembangkan dan dieksploitasi, misalnya antara ruang privat dan ruang publik, antara individu dan kelompok, antara anggota keluarga dan orang asing, antara rasa aman dan ancaman, dan sebagainya.
Bagaimana Anda memetakan film horror Indonesia kontemporer? Apakah sudah ada polanya misalnya mempertahankan old school horor, pengaruh horor Jepang ala Ringu, atau horor Hollywood seperti Conjuring?
Film horor Indonesia kontemporer secara umum, sama seperti film horor di negara lain, memiliki warna yang beragam dan tidak terlepas dari pengaruh genre horor secara global, terutama dalam aspek tematis dan estetika sinematografis. Dalam aspek naratifnya, film Indonesia kontemporer semakin banyak menggali kekayaan cerita berbasis pada mitos dan tradisi lokal. Saya kira aspek lokalitas inilah yang justru akan menjadi kekuatan film horor Indonesia.
Bagaimana juga dengan sensualitas perempuan seperti dalam film horor 1980-an dan 1990-an apakah masih dipertahankan dalam film horor masa kini? Mengapa perempuan selalu perkasa justru ketika sudah jadi hantu?
Secara kuantitas mungkin sudah tidak banyak lagi yang sepenuhnya mengeksploitasi sensualitas tubuh perempuan, tetapi tetap masih ditemukan dalam beberapa cerita film. Hal yang tetap terlihat adalah posisi perempuan yang paradoksal. Di satu sisi tetap digambarkan sebagai korban yang lemah, di sisi lain semakin banyak perempuan yang diposisikan sebagai hantu sumber ketakutan, atau tokoh jahat yang menjadi sumber teror. Dalam perspektif gender, hal ini masih memperlihat pola objektivikasi terhadap perempuan dan ketakutan terhadap kekuatan perempuan yang berakar dari masih kuatnya budaya patriarki.
Bagaimana pandangan Anda dengan film horor Indonesia yang terkait kearifan lokal, tradisi lokal, misalnya KKN Desa Penari, Sewu Dino, yang diambil dari cerita Simpel Man yang punya penggemar banyak?
Salah satu kekuatan cerita-cerita milik Simple Man adalah penekanan pada kisah nyata, kesaksian pelaku dan deskripsi yang detil tentang dunia ilmu hitam dan ilmu ghaib. Pembaca atau penonton tidak hanya mendapatkan pengalaman kisah baru, tetapi juga pengetahuan baru tentang mahluk halus atau ritual-ritual rahasia.
Bagaimana juga cerita Danur Universe dari Risa Saraswati yang konsisten dengan “hantu bersejarah” seperti anak-anak Belanda, Noni-Noni Belanda, seperti halnya horror Simpel Man, kita seperti halnya Thailand yang punya folkfore Kuntilanak?
Demikian juga dengan Danur Universe, yang mengangkat tema anak indigo dan sangat menarik karena berusaha menggunakan perspektif anak dalam memandang hantu. Mereka tidak selalu memandang hantu itu sebagai sosok jahat, tetapi ada juga hantu yang bisa menjadi teman. Ada kesadaran bahwa kita dapat hidup bersama tanpa saling menyakiti.
Hal ini menunjukkan bahwa film horor bisa menjadi salah satu pilar kekuatan perfilman Indonesia. Luasnya wilayah, keragaman etnis dan budaya, kompleksitas masalah, harus lebih digali, agar menghasilkan karya-karya yang berakar dan berpijak dengan sejarah dan tradisi sendiri.
Untuk meningkatkan kualitas, perlu dipertimbangkan usaha untuk memperkuat proses penalaran logis dalam membangun struktur naratif yang kuat dan estetika sinematografis yang meyakinkan penonton. Dunia yang lebih terbuka, teknologi dan media yang lebih beragam dan penuh kecanggihan, juga harus dikuasai agar tidak gagap ketika bertarung dengan masyarakat film global.
Apa film horror favorit Anda untuk Indonesia dan mengapa? Kalau di luar apa? Mengapa?
Film horor favorit saya masih film Sundel Bolong (1981) yang dibintangi Suzzana. Pertama, karena itu adalah film horor yang pertama saya tonton dan sangat melekat dalam ingatan saya efek-efek ketakutan sekaligus komedi dari cerita, gambar dan suara yang dimunculkan dalam film. Dan kedua, karena saya masih seratus persen menikmatinya sebagai penonton remaja awam yang belum tahu segala macam teori tentang film atau horor.
Film horor dari luar favorit saya adalah Pan’s Labyrinth (2006). Film ini menurut saya mampu memperlihatkan segala aspek yang menakutkan dari film horror (kematian, kekerasan, teror, monster, kejahatan, trauma masa kecil, dan sebagainya) secara estetik dan indah tapi tetap menyeramkan. (Irvan Sjafari).