
Profesor Meteorologi dan Klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional Edvin Aldrian mengatakan perubahan iklim masih dalam tahap belum terlalu mengkhawatirkan. Ia berharap Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) harus lebih akurat memprediksi iklim 3-6 bulan ke depan dan cuaca seminggu ke depan. Sedangkan lembaga pemerintah seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan harus memiliki program yang disesuaikan dengan perubahan iklim tersebut.
“Begitu juga masyarakat sudah seharusnya memahami perubahan iklim dengan memperhatikan prediksi dan menyesuaikan kegiatannya dengan prediksi itu apalagi kini ada teknologi,” kata peraih Doktor Sains Klimatologi Modeling dari Max Planck Institut für Meteorologie Jerman tahun 2003 ini.
Berikut percakapan mantan Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika itu kepada Irvan Sjafari dari Koridor melalui sambungan telepon, Minggu, 9 Oktober 2022.
Minggu pertama Oktober ini curah hujan begitu tinggi melanda sebagian Indonesia. Juni-September 2022 Eropa dilanda gelombang panas, Pakistan hingga saat ini dilanda banjir. Kejadian ini disinyalir sebagai akibat pemanasan global. Namun BMKG mengungkapkan, kejadian di Indonesia lebih kompleks karena ada faktor regional dan global. Pandangan Anda bagaimana?
Memang tahun ini kita dalam gejala La Nina. Sudah tiga tahun berturut-turut kita mengalami, yang disebut kemarau basah. Kebetulan akhir-akhir ini ada fase positif madden jullian oscillation (mdo) lagi. Artinya basahnya lagi naik. Namun, saya mengalami dua hari (8-9 Oktober 2022) seperti tanpa hujan.
Kalau dikaitkan dengan kejadian di Eropa dan Tiongkok, kejauhan. Memang lapor LPCC (Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim), saya salah satu anggotanya menyebutkan setiap kenaikan satu derajat itu, risiko hujan ekstrem bertambah 7 persen. Yang basah makin basah, yang kering makin kering. Karena kita tahun ini kemarau basah maka risiko hujannya lebih besar.
Ke depan seperti apa dampak pemanasan global ini mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang rawan bencana?
Kalau Indonesia ada dua fenomena yang menonjol. Pertama, global warming, suhunya naik perlahan. Kedua El Nino dan La Nina ekstrem. Ke depan, dikawatirkan bencana iklim lebih sering. Karena kita berada di kepulauan tropis. Pulau-pulau itu risikonya tinggi. Karena warga negara Indonesia berada di pulau-pulau yang dikelilingi lautan. Kita enggak berada di benua daratan, tetapi di benua maritim.
Ada nggak risiko pulau kecil tenggelam?
Nggak juga. Saya sudah menghitung kalau satu meter kenaikannya seperti apa. Kalau dua meter hampir dikatakan tidak ada. Tetapi satu meter kenaikan rata-rata. Tetapi karena kita ada problem lain pasang-surut , di pantai risiko pasang surut itu ada.
Jadi kalau dikawatirkan Jakarta akan tenggelam itu masih belum akan terjadi?
Enggak akan sampai parah. Kalau pasang-surut itu terjadi rob. Di Indonesia ada tiga banjir. Yang pertama karena hujan lokal. Kedua hujan kiriman atau banjir bandang. Yang ketiga hujan di pantai atau rob.
Dengan terjadinya perubahan cuaca ini apakah akan terjadi pergeseran musim, biasanya kemarau Maret/April-Oktober atau musim hujan Oktober hingga Maret?
Betul. Tahun ini kemarau basah. Seperti Agustus 2022 sudah mulai basah terjadi banjir di Sintang. Pada beberapa tempat terjadi longsor. Seperti bulan lalu di Bogor. Bencana hidrometeorologi menyangkut ke mana-mana. Banjir juga. Longsor juga. Kebakaran hutan juga.
Yang dikuatirkan kan dampaknya pada pertanian?
Iya bisa begitu. Kan itu sudah diatasi oleh Kementerian Pertanian. Mereka mengenal Kalander Tanam Terpadu. Ramalan El Nino dan La Nina sudah dipetakan. Untuk ini kita sudah maju. Itu sebabnya Presiden Jokowi dapat penghargaan karena surplus swasembada pangan. Tiga tahun ini kita bisa mengatasi surplus dengan keadaan kemarau basah, mengisi waduk.
Dari segi ketahanan pangan belum mengkuatirkan?
Belum mengawatirkan sebetulnya. Memang dengan bencana tadi, sifat iklim, ada aspek positif dengan adanya El Nino dan La Nina ini. Kalau La Nina itu yang diuntungkan, yang di darat. Tetapi kalau El Nino, kekeringan di darat, yang di lautan malah naik. Nelayan malah mudah menangkap ikan. Kita harus mensyukuri. Jadi, kalau La Nina datang atau El Nino datang, jangan ketakutan. Kita harus cari keuntungan strategis. Kalau El Nino keuntungannya ada, pertanian pohon jati. Yang di lautan meningkatkan perikanan. Kalau La Nina untuk pertanian lain. Karena kalau ada banjir serta merta banjir.
Apa yang harus dilakukan pemerintah menghadapi perubahan iklim ini, bukankah ini sudah jadi global, mau tidak mau harus beradaptasi?
Yang harus diperkuat adalah ramalan prediksi iklim yang berlaku 3-6 bulan ditingkatkan. Ramalan prediksi cuaca untuk satu hingga dua minggu ke depan. Kalander Tanam dan Pola Tanam juga dikembangkan. Pemerintah dan rakyat membiasakan diri dalam suasana kemarau basah. Saluran air diperbesar. Jadi kalau banjir tidak akan lama.
Sistem peringatan dini sudah berjalan?
Lumayan. Saya sudah melihat satu atau dua hari ke depan gelombang laut seperti apa sudah tepat.
Jadi sebetulnya Kementan, KKP, Kementerian Perhubungan dan sebagainya harus punya program yang disesuaikan dengan perubahan iklim?
Setiap kementerian harus melihat keuntungan apa yang bisa diambil. Kalau komoditas tembakau tidak menguntungkan dengan adanya La Nina. Kita belum menggalakkan tembakau, karena ada regulasi. Tetapi, kalau kita galakkan kita bisa lebih baik daripada menjual cokelat dari pertanian.
Kementerian Perhubungan juga harus memperhatikan BMKG. Apalagi Pemerintah Jokowi juga mementingkan transportasi laut. Tidak bisa dipungkiri kita ada di benua maritim. Kita harus berpikir antarpulau. Kalau melihat berita di televisi ada kapal karam itu pola kehidupan kita.
Apakah masyarakat juga harus beradaptasi dengan peurbahan iklim. Misalnya, waktu hujan ekstrem, biasanya terjadi sore hari maka aktivitas dioptimalkan pagi hingga siang dna sedapat mungkin menghindari waktu hujan?
Masyarakat belum banyak tahu. Masyarakat tahunya kalau hujan itu hanya setengah atau satu jam maksimal. Mereka menganggap tidak mungkin hujan dua hingga tiga jam. Saya sendiri sudah memakai aplikasi Rain Viewer di perangkat-perangkat berbasis sistem operasi Android. Masyarakat juga harus mengikuti teknologi. Misalnya, orang harus mudik, sebelum perjalanan, jadi tahu kalau di Cirebon dan Brebes harus berteduh. Begitu juga menggunakan kendaraan pribadi. Pola masyarakat harus berubah mencerna peringatan dini sesuai kebutuhan mereka.
Apakah sudah saatnya dilakukan edukasi terhadap anak-anak sekolah hingga remaja soal lingkungan hidup seperti memilah sampah, jangan membuang sampah sembarangan hingga pemanasan global. Karena anak umur tujuh tahun di sekolah asing saja paham soal pemanasan global?
Memang. Saya sendiri sudah menghasilkan beberapa komik dan buku-buku untuk dibaca publik. Komik untuk anak-anak dan remaja dengan informasi sederhana. Jangan anak kecil dikasih bahasa kuliah. Selanjutnya sosialisasi kepada anak terhadap jenis bencana yang kita hadapi. Pengalaman saya bekerja di LPPC, kita mensosialisasikan kepada negara kawasan. Saya sendiri sosialisasi ke Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara. Sosialisasi harus terus dilakukan.