Indonesia memerlukan kebijakan donasi makanan berlebih ke bank makanan untuk disalurkan ke orang yang membutuhkan

Koridor.co.id

Gendis Ayu Satiti
Ketua Food Bank Bandung, Gendis Ayu Satiti. (Foto: Dokumentasi Gendis Ayu)

Semenjak masih kuliah di Teknik Lingkungan ITB Gendis Ayu Satiti Irawan sudah berempati pada orang yang kekurangan. Ketika melakukan wawancara dengan pemulung dan tukang sampah, Ketua Food Bank Bandung ini, menyadari ada yang mengalami kesulitan untuk makan.

Ketika dia tinggal di Belanda, Gendis mempunyai ide food bank, ketika menjadi relawan food bank Belanda dan akhirnya diterapkannya ketika pulang ke Indonesia, tepatnya Kota Bandung, Jawa Barat. Gerakan ini membagikan makanan yang layak untuk didonasikan kepada mereka yang membutuhkan. Makanan itu diperoleh dari dunia usaha atau perorangan yang berlebih.

Kepada Irvan Sjafari dari Koridor, peraih magister Urban Environmental Management di Wageningen University & Research itu, menuturkan bagaimana komunitas food bank bisa berperan menanggulangi sampah makanan sekaligus juga rawan pangan. Berikut petikan wawancaranya melalui WA, Jumat, 27 Mei 2022.

Bagaimana menurut Anda di negeri kita tercinta ini banyak makanan terbuang, sememtara masih banyak orang yang sehari tidak makan?

Melihat fakta tersebut tentunya sangat miris, di satu sisi banyak sekali makanan yang terbuang namun di sisi lain masih banyak masyarakat rawan pangan. Sebetulnya dengan keprihatinan itu, menjadi salah satu dorongan saya beserta suami mendirikan sebuah Food Bank atau Bank Makanan yang terinspirasi ketika kami tinggal di Wageningen, Belanda.

Jadi sejak 2020, inisiatif kami, Food Bank Bandung (Yayasan Akses Mandiri Pangan) didirikan untuk memfasilitasi produsen makanan dan masyarakat yang memiliki kelebihan makanan untuk disalurkan kepada masyarakat pra-sejahtera.

Dalam praktiknya, Food Bank Bandung melakukan prosedur keamanan pangan ketat untuk menjaga agar makanan yang disalurkan hanya yang layak konsumsi. Tentunya dengan adanya Food Bank Ini, kami memfasilitasi dan mendorong, baik itu pelaku usaha makanan maupun masyarakat umum untuk berperan aktif dalam pencegahan makanan yang layak konsumsi, agar tidak terbuang percuma.

Apa yang harus dilakukan sebetulnya?

Berdasarkan hirarki makanan berlebih dan sampah makanan, disarankan untuk melakukan pencegahan timbulnya sampah makanan dan memanfaatkan makanan berlebih yang masih layak konsumsi untuk orang yang membutuhkan. Sampah makanan bisa dimanfaatkan untuk ternak BSF dan pakan hewan sebelum akhirnya dibuang.

Food Bank fokus pada pencegahan dan pemanfaatan makanan berlebih di berbagai kalangan dari perusahaan makanan/minuman, retail, toko roti, dan masyarakat untuk mendonasikan produk makanan berlebihnya. Food Bank memegang peranan kunci yang fokus dalam mengelola dan mendistribusikan donasi makanan berlebih dari sumber-sumber tersebut ke yayasan,lembaga, atau langsung ke warga.

Beberapa hal yang bisa menjembatani permasalahan makanan berlebih dan kelaparan, salah satunya adalah Food Bank.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar program Bank Makanan berhasil?

Kebijakan donasi makanan. Belum adanya kebijakan yang mendukung donasi makanan berlebih ke Bank Makanan (Food Bank) di Indonesia, di negara-negara lain sudah ada kebijakannya dari bertahun-tahun lalu. Akibatnya industri makanan dan minuman, toko-toko roti, dan hotel masih enggan memberikan donasinya.

Edukasi tentang pencegahan sampah makanan dan memanfaatkan makanan berlebih masih kurang dilakukan oleh perusahaan, restoran, hotel akan sangat membantu dalam menjembatani masalah kerawanan pangan dan makanan berlebih di daerahnya. Beberapa usaha makanan dan restoran sudah mulai sadar bahwa dengan mencegah makanan terbuang sebetulnya bisa memberikan manfaat ekonomi (mengurangi biaya sampah) dan menciptakan dampak sosial. Tentunya, dengan berdonasi, karyawan di usaha tersebut bisa lebih termotivasi untuk mencegah makanan terbuang dan mendonasikannya.

Kurangnya jumlah Bank Makanan: dengan kebutuhan untuk mendistribusikan makanan berlebih ke masyarakat yang membutuhkan, perlu didukung pertumbuhan Food Bank di Indonesia. Saat ini jumlahnya sangat minim. Berdasarkan pengalaman saya di Belanda, ada 171 food bank untuk melayani satu juta penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan di negara tersebut. Di Indonesia, organisasi bank makanan masih dalam hitungan jari.

Apa yang harus dilakukan menanggulangi ini? Apakah perlu setiap orang kalau makan tanpa sisa, termasuk ketika berada di kondangan hanya ambil makanan sedikit, kalau masih lapar nambah lagi, yang penting tidak ada sisa, daripada makanan terbuang di piring jadi mubazir?

Iya, betul bisa seperti itu contohnya. Jadi, misal lagi makan di prasmanan atau sistem buffet, mengambilnya bisa sedikit-sedikit dulu, kalau sudah habis dan dirasa mau tambah bisa tambah sesuai kebutuhan. Mungkin perlu juga ada pemahaman dari kita bahwa banyak yang masih kekurangan makanan, sehingga akan lebih terkontrol agar bisa menghabiskan makanannya.

Bagaimana caranya menyelamatkan makanan sisa prasmanan dari resepsi, kondangan, restoran, hotel? Tentunya bukan yang dari piring yang sudah diambil tamu? Tapi masih di panci atau periuk atau nasi? Bagaimana cara agar makanan sisa ini bisa sampai ke orang yang membutuhkan, dan masih layak dimakan?

Sebetulnya tergantung dari jenis makanannya. Kalau seperti roti atau bolu itu bisa tahan agak lama 2-3 hari di suhu ruangan. Jadi lebih mudah untuk ‘diselamatkan’. Untuk makanan siap saji seperti nasi/lauk pauk, idealnya harus dikonsumsi pada hari itu juga. Belajar dari pengalaman di Belanda, 3 jam harus habis dikonsumsi. Ini kondisi sangat ideal. Untuk makanan kering bisa lebih awet, kembali lagi tergantung jenis makanannya.

Food Bank Bandung saat ini berfokus pada makanan dalam kemasan (yang ada tanggal kadaluarsanya) dan roti/kue, karena lebih mudah untuk memastikan keamanan pangan dari makanan yang dihandle dengan sistem operasional saat kami jalankan.

Namun ada beberapa food bank lainnya yang mendistribusikan makanan dari pesta, yang belum tersentuh, ya. Dengan syarat mereka bisa memastikan bahwa makanan masih layak konsumsi dan segera didistribusikan/dikonsumsi pada hari itu.

Atau yang lebih advance di food bank Singapura, makanan berlebih dari horeca dibekukan terlebih dahulu dan dimasak kembali pada saat ingin dibagikan.

Apa perlu Pemerintah Daerah juga konsen dalam hal ini, atau komunitas melakukan ‘jemput bola’. Misalnya, rutin mengunjungi hotel dan restoran atau tempat resepsi untuk memanfaatkan makanan sisa, atau sebaiknya restoran, hotel atau penyelenggara resepsi yang punya kesadaran lingkungan dan kemanusiaan?

Semua harus bekerja sama satu sama lain dan fokus pada perannya masing-masing untuk menanggulangi sampah makanan. Pemda perlu menjadikan pengurangan sampah makanan menjadi salah satu prioritas programnya (ini juga menyangkut SDG). Misalkan, Pemda bisa:(a) membuat peraturan di daerahnya atau melalui perwal untuk memberikan insentif/jalan bagi pelaku usaha dan food bank dalam kegiatan pengelolaan makanan berlebihnya; (b) memberikan pelatihan dan pendampingan bagi food bank atau komunitas2 lainnya terkait hal teknis seperti keamanan pangan (food safety/hygiene), bantuan operasional.

Food Bank dan usaha makanan-minuman bisa membuat kerja sama dalam mendonasikan makanan berlebihnya. Food Bank dan badan usaha sebaiknya sama-sama aktif dalam berkomunikasi agar mendapatkan skema penyaluran yang efisien dan lebih berdampak.

Usaha makanan, restoran, hotel juga perlu meningkatkan kesadaran lingkungan dan kemanusiaannya, terutama diterapkan nilai-nilainya untuk stafnya. Food Bank, civitas akademika, pemerintah semua bisa saling membantu dalam mengembangkan industri makanan-minuman yang lebih berkelanjutan. Sebagai contoh, sebuah perusahaan bakery (chain) di Kota Bandung bisa menyumbangkan hingga 3.000 roti surplusnya (layak konsumsi) dalam sebulan, secara ekonomi dan lingkungan dampaknya besar.

Anda, mengapa jadi peduli pada masalah ini, apa karena sejak tinggal di Belanda atau semenjak kecil di Bandung? Bagaimana menerapkan zero waste dalam kehidupan sehari-hari dan mengajarkan pada anak-anak, keponakan atau keluarga terdekat untuk makan habis?

Kalau saya sendiri mungkin karena memang passionate dalam bidang Lingkungan. Jadi kalau terkait pengelolaan sampah dari profesi saya juga sangat berkaitan sekali. Kalau empati sama orang yang kekurangan mungkin pas saya dulu kuliah di Teknik Lingkungan ITB suka wawancara pemulung dan tukang sampah. Jadi melihat sendiri juga kesulitan yang mereka alami. Tapi baru dapat ide food bank, ketika memang tinggal di Belanda dan jadi volunteer juga di Food Bank Belanda, terus saya kepikiran untuk bikin di Bandung, kota kelahiran saya.

Saran Anda yang lain bagaimana caranya untuk meminimalisir sampah makanan, selain makan tanpa sisa?

Belanja sesuai kebutuhan, cara penyimpanan makanan sangat penting (yang sederhana: cengek dibuang tangkainya lalu disimpan di kotak dialasi tisu dan bawang putih geprek agar lebih tahan lama di kulkas). Suami dan saya bikin vermikompos: hasil potongan sayur dan kulit sayur dikomposkan, kalau ada kelebihan sarden atau tepung bisa didonasikan. Dan mungkin mengembangkan Food Bank Bandung sebagai ikhtiar untuk mengajak orang-orang di sekitar untuk ikutan aksi mengurangi makanan yang terbuang

Artikel Terkait

Terkini