
Publik lebih mengenalnya dengan nama penanya Gol A Gong. Pria bernama asli Heri Hendryana Harris ini adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Novel yang mengangkat nama ayah dari empat anak ini adalah Balada Si Roy (BSR) yang serial pertamanya dirilis pada 1989.
Karya pria kelahiran 15 Agustus 1963 diangkat ke layar lebar oleh IDN Pictures dengan sutradara Fajar Nugros. Film yang mempertahankan setting tahun 1980-an yang seperti novel aslinya rencananya ditayangkan ke layar lebar pada 19 Januari 2023, kalau tidak ada aral melintang.
Pada 7, 8 dan 9 Januari 2023 Irvan Sjafari dari Koridor mewawancarai pendiri Rumah Dunia di Serang, Banten itu dalam tiga kesempatan. Alumni Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran ini pernah menjabat sebagai Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Indonesia periode 2015-2020 hingga Duta Baca Indonesia 2021-2026. Berikut petikan wawancaranya berkisar Catatan Si Roy.
Apa yang ingin Anda Ungkapkan lewat Balada Si Roy?
Saya menyiapkan sejak kelas 1 SMA tahun 1980-an riset enam tahun 1981-1987, mengamati observasi, wawancara teman-teman saya, terjun ikut ngegang, ikut ngerasain ganja, minum, begadang. Saya mengamati secara langsung. Setelah itu saya recoveri. Yang saya temukan remaja butuh aktualisasi dengan berbagai macam cara, ada bakat musik, sastra, ada yang Matemtika. Semua sama mencari jati diri.
Mengapa Serang Banten jadi setting?
Nah ketika saya kuliah di Fakultas Sastra, Serang dekat Jakarta jadi setting karena soal idoelogi saya. Karena saya menghirup udara Banten, saya ingin orang Banten ini maju tidak patriarki, tidak primordial, semua diselesaikan dengan otot.
Pada era itu di Banten semua diselesaikan dengan otot. Ada geng yang namanya Sadigo. Salah sedikit golok. Nah saya pada 1986 kuliah di Bandung pulang, saya mulai merancang ulang, membuat kerangka, mencari tokoh, antropologi, sosiologi, filsafatnya, saya gabungkan. Di situ saya ingin membuat sastra transisi.
Banten itu gambaran seperti apa?
Banten itu dekat dengan Jakarta, tetapi tertinggal sampai 25 tahun bahkan 50 tahun. Tertinggal kecerdasannya, kecerdasan linguistiknya, visual-parsial. Semuanya. Dekat Jakarta, sepak bola yang unggul daerah Timur. Sastra yang unggul Padang.
Banten dekat Jakarta, secara sosiologis, mereka menganggap hidup itu hanya agama, maka saya sebut puritan. Pondok pesantren tidak menanamkan tradisi menulis. Pernah ada Husein Djajadiningrat, saya nggak tahu apa karena dia murid Snouck Hurgronye tidak dibranding dia seorang intelektual.
Anda mengatakan “Sastra Transisi”, apa yang dimaksudkan dengan hal itu?
Saya ingin membuat pembaca sebelum menikmati Iwan Simatupang, Ahmad Tohari, Pramudya Ananta Toer, sebelum baca karya saya dahulu. Saya ingin remaja Indonesia membaca karya saya dahulu untuk memasuki karya sastra dunia.
Saya anak Sastra. Di setiap episode BSR, ada pembuka puisi. Mengapa puisi? Sebab saya ingin memasyarakatkan sastra, saya ingin memperkenalkan Sastra dengan cara populer. Saya pilih Hai, Gramedia karena distribusinya luas. Jadi saya ingin remaja Indonesia selain menghibur, tetapi ada nutrisi.
Seperti apa karakter Si Roy ini?
Roy hobi baca dan traveling, karena pada era Suharto adalah era represif hiburannya ke arah sana, tidak bisa buat komunitas, mengadakan diskusi-diskusi, ya, aktualisasinya begitu dengan cara traveling, buat puisi dan buat tulisan agak nyeleneh. Saya sejak SMA sudah travelling Jawa-Bali Saya mengamati remaja. Jadi Si Roy itu karakter kita semua.
Apakah BSR itu gambaran remaja 1980-an?
1980-an hingga 1990-an ramai sekali dunia nyata. Belum ada internet. Dunia nyata ramai sekali. Semua berekspresi di dunia nyata. Misalnya demam motor geng. Tawurannya bukan kriminal, setelah itu damai. Kadang duel. Tidak ada lagi yang mereka lakukan. Sekarang mereka bersembunyi di dalam rumah dan kafe.
Apakah masih relevan dengan remaja sekarang?
Masih, karena remaja itu dasarnya mencari jati diri. Yang membedakan hanya medianya. Kalau zaman saya masih memakai mesin tik, PC, sekarang pakai smartphone. Dulu telepon umum. Jadi Roy itu karakter remaja Indonesia segala zaman.

Mengapa difilmkan?
Fajar Nugros dari IDN Pictures adalah pembaca garis keras BSR. Dia punya obsesi mengangkat BSR ke layar lebar. Bagi dia BSR punya nilai seperti bagaimana menghormati perempuan, peduli sama Ibu, peduli pada anak yatim, harus peduli pada lingkungan dan mau berbagi Itu.
Itu nilai-nilai yang ditanamkan keluarga, yang sekarang disebut literasi keluarga. Di berapa episode disebutkan bagaimana dia menolong kecil, padahal dia sendiri kesulitan. Dia menyisihkan honorariumnya. Waktu itu ada pers abu-abu di mana pelajar bisa menulis.
Nilai-nilai ini yang harus disebarkan. Sekarang kan orientasi anak muda kan jiwa entrepreneurnya luar biasa, anak sekarang kritis. Nah BSR mengembalilkan nilai-nilai dasar. Misalnya bagaimana menghormati perempuan, kalau ada di bus butuh tempat duduk diberikan pada perempuan.
Pada 1989 kalau nggak pernah ada film Si Roy, apakah ini berdasarkan BSR?
1990-an ada Lupus dan Catatan si Boy. Saya mau ke Jepang. Di satu sisi saya atlet badminton untuk kaum difabel di Indonesia (Gol A Gong kehilangan tangan kirinya pada umur 11 tahun karena kecelakaan). Saya pemegang medali emas untuk Indonesia. Saya pernah juara se-Asia Pasifik tahun 1986. Ada pesta paralimpik di Solo kalau nggak salah. Saya pemegang tiga medali emas cabang badminton beregu putra, perorangan dan double. Belum jadi Gol A Gong. Saya ingat 1989 Lupus, Catatan Si Boy Booming.
Ada tawaran memfilmkan Balada Si Roy. Saya melihat Catatan Si Boy dan Lupus. Saya tidak terburu-buru tidak mau masuk ke pusaran. Saya tidak mau merusak imajinasi film yang dibuat dalam pikiran pembaca. Saya berangkat ke Jepang kehilangan perorangan dan beregu.
Pulang saya dapat berita Balada Si Roy mau difilmkan. Ryan Hidayat (almarhum) menjadi pemeran. Dia juga kaget diwawancarai. Bukankah itu punya Gol A Gong? Ryan mengusulkan namanya diubah si Joni misalnya. Itu dia bisa lakukan. Tapi soalnya Ryan dikontrak eksklusif. Tetapi apakah Si Roy dimainkan Ryan Hidayat punya saya? Tidak. Tetapi spiritnya mirip SBR, hobi traveling. Saya ikhlaskan saja. Itu bukan berdasarkan novel Balada Si Roy.