
ZA pengantin laki-laki beragama Islam dan EDS pengantin perempuan beragama Kristen melakukan pernikahan dan disetujui oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Kondisi itu juga mengingatkan pernikahan beda agama yang dilakukan oleh Staf Khusus (Stafsus) Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Ayu Kartika Dewi yang menganut agama Islam dan Gerald Sebastian sebagai penganut agama Katolik. Keduanya melakukan dua proses keagamaan, yakni akad pernikahan agama Islam dan pemberkatan oleh imam Gereja Katolik pada Jumat (18/6/2022).
Ada ketentuan dalam agama Katolik yang memungkinkan untuk melakukan pernikahan tersebut, melalui syarat yang tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon (pasal) 1124-1129.
Belum lama ini, Pipit Aprilia Rahapit dari Koridor mewawancarai Romo Andang L Binawan SJ, Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, untuk mengetahui sejauh mana agama Katolik memperbolehkan umatnya melakukan pernikahan beda agama.
Apa saja yang membuat Katolik memungkinkan terjadinya pernikahan beda agama?
Kita bisa menerima pernikahan campur karena bagi agama Katolik kita menghargai agama lain. Juga kita sangat menghargai hati nurani masing-masing, kita tidak bisa memaksa pindah agama. Itu prinsip dasarnya. Meskipun tentunya itu akan sulit untuk suatu perkawinan karena dalam arti tertentu perkawinan harus ada arah yang sama, padahal ini dasarnya berbeda.
Lalu apa saja syaratnya?
Syaratnya adalah bahwa pihak yang tidak katolik meskipun mengimani iman katolik tapi setidak-tidaknya dalam konteks perkawinan, dia sepakat dengan nilai-nilai katolik.
Apa nilai-nilai katolik itu?
Pertama, suami-istri hanya satu tidak terceraikan seumur hidup. Harus percaya itu. Harus yakin tentang hal itu, dan sebenarnya kebanyakan juga iya kan. Tidak ingin berceraikan, masa menikah kok bercerai, tapi jika ia mengatakan “sebenarnya saya mau 10 tahun lagi,” oh itu tidak bisa.
Kedua, harus menghargai istri atau suami itu setara. Dalam pandangan katolik, istri itu bukan nomor dua, tapi setara. Bahkan dalam hubungan suami istri pun ya harus mau sama mau. Kalau tidak, itu namanya marital rape.
Kemudian yang ketiga, terbuka tentang masalah anak. Jadi, tidak mengatakan “tidak mau punya anak”. Tidak bisa begitu. Terbuka pada punya anak itu artinya dibuat, kalau jadi syukur, kalau tidak diberi ya sudah. Tetapi tidak boleh dihalang-halangi.
Setidaknya tiga hal itu deh yang paling kokoh. Tentu saja beberapa persyaratan lain. Misalnya, pihak Katolik juga punya hak mendidik anak anak secara Katolik. Tidak boleh menghalangi misalnya mengajarkan iman Katolik ke anaknya. Tidak bisa dong, wong itu bapak ibunya Katolik kok bisa mengajarkan anaknya agama lain kan gak logis.
Sebenarnya syaratnya itu saja. Oh iya namun syarat-syarat umum juga sama. Misalnya sama, belum menikah. Ternyata yang non-Katolik pernah menikah, itu gak bisa. Bukan single ya, tapi belum pernah menikah. Itu saja.
Artinya pernikahan ini secara Katolik dilakukan di mana pun?
Oh ya bisa, tapi dengan persyaratan seperti yang tadi saya sampaikan. Jadi, perlu ada namanya dispensasi dari uskup. Jadi, persyaratan itu kalau di gereja Katolik itu ada namanya paroki. Pasangan yang menikah itu akan bertemu dengan pastor di parokinya.
Kemudian di pastor parokinya akan membuat penyelidikan ketika tahu bahwa ternyata beda agama dan ternyata misalnya syarat lainnya belum pernah menikah dan memang usianya sudah cukup dan sehat jasmani rohani segala macam. Diajukan surat permohonan dispensasi ke uskup, pimpinan tertinggi gereja di wilayah masing-masing.
Untuk itu butuh waktu. Jadi, tidak bisa kurang dua minggu minta menikah, tidak bisa. Kalau di Katolik gak bisa. Kalau di Katolik itu minimal, tiga sampai empat bulan sebelumnya.
Satu syarat umum lainnya, yaitu sudah saling mengenal satu sama lain dengan baik. Tidak bisa dalam arti dinikahkan, atau dijodohkan oleh orangtuanya. Tidak bisa. Kedua belah pihak harus saling mencintai. Tidak bisa yang namanya dipertemukan sesaat bukan kehendak dia, itu gak bisa.
Jika semua syarat formal terpenuhi namun jika terhalang restu orang tua bagaimana?
Satu lagi yang membedakan, tapi ini bukan syarat Katolik, justru persyaratan izin orang tua itu tidak wajib. Jadi, kalau memang ketika calon pengantin di atas 21 tahun dan mau menikah, dan misalnya orang tuanya tidak setuju karena berbeda agama atau karena beda ras atau beda status sosial, itu gak bisa. Maksudnya itu tidak menjadi alasan yang menghalangi perkawinan.
Artinya Katolik merestui pernikahan beda agama?
Di dalam Katolik dimungkinkan. Bukan bisa itu seolah-olah gampang, tapi dimungkinkan, dan terbuka kemungkinan. Jadi, tidak dipromosikan. Tetapi, jika memang ada dan memang dalam arti-arti tersebut memenuhi, kita akan bantu.
Dimungkinkan, karena di agama lain mungkin dilarang. Dilarang keras. Kita ada rumusan dilarang tapi dalam situasi sosial di Indonesia itu jadi istilahnya dimungkinkan gitu. Jadi, terbuka kemungkinan. Bukan boleh dan bukan dilarang, tapi terbuka. Dimungkinkan.
Pendeknya, perkawinan campur beda agama itu dalam pandangan Katolik dimungkinkan, artinya meski sangat tidak dianjurkan, tetapi jika syarat-syaratnya dipenuhi, bisa diberi dispensasi. Dispensasi dimohonkan oleh pastor paroki dari calon pengantin yang mau menikah kepada Uskup setempat.
Untuk gereja Protestan juga beda-beda. Ada yang melarang dengan ketat, ada yang memperbolehkan. Untuk mereka, tidak ada hukum Kanonik seperti dalam Gereja Katolik yang berlaku untuk seluruh dunia.