
Direktur Komunitas Tanoker Farha Ciciek di Desa Ledokombo Jember, Jawa Timur mengkritisi data dari BKKBN Jawa Timur yang menyampaikan sepanjang 2022 tercatat 15.212 pengajuan dispensasi nikah. Dari jumlah itu sebanyak 80 persen hamil duluan dan 20 persen sisanya oleh sebab lain, seperti perjodohan dan ekonomi.
Dia menyampaikan kabar tingginya angka dispensasi menikah di provinsi yang dipimpin Gubernur Khofifah Indar Parawansa itu, justru menunjukkan tingginya kesadaran masyarakat terhadap hukum dengan berani melaporkan.
“Menurut kami dalam perspektif kritis harus disyukuri. Orang mulai melaporkan mencari penyelesaian,” ujar aktivis perempuan ini ketika dihubungi Koridor, Rabu, 25 Januari 2023.
Dunia pergerakan perempuan bagi kelahiran 26 Juni 1963 itu, membuatnya malang melintang mulai dari Kalyanamitra Woman Centre, Perhimpunan Pengembangan Pesantren Masyarakat (P3M), RAHIMA (Pusat Pendidikan dan Informasi Islam & Hak-hak Perempuan) dan berbagai lembaga lainnya.
Berikut petikan wawancara alumni Program Magister Studi Sosiologi di Universitas Gadjah Mada ini, dengan Irvan Sjafari dari Koridor.
Tingginya angka Dispensasi nikah di tiga provinsi, yaitu Jatim, Jateng dan Jabar. Menurut Anda apa yang terjadi?
Memang kita harus berbasis data. Tetapi kita bisa menafsirkan data dengan imajinasi yang kompleks. Tidak bisa satu alternatif penafsiran saja.
Kalau saya melihatnya begini, Jember itu kan disebut sebagai nomor dua se-Jawa Timur. Nomor satu Malang. Kalau dilihat angkanya orang bisa menilai jelek nih Jember. Tetapi itu bisa berarti tingkat kesadaran masyarakatnya lebih tinggi dalam hal hukum.
Jadi jangan dikira daerah yang angkanya rendah dalam dispensasi pernikahan, tidak ada masalah seperti menikah siri. Dilihat juga kesadaran untuk melaporkan di daerah itu seperti apa.
Saya bilang ini punya pengalaman dengan gerakan perempuan mempromosikan gerakan melawan kekerasan seksual. Orang mulai dengan break the silence. Atau memecah kebisuan. Setelah dilakukan langkah memecah kebisuan angkanya baru meningkat di headline. Menurut kami dalam perspektif kritis harus disyukuri: Orang mulai melaporkan mencari penyelesaian.
Menurut Anda bagaimana pernyataan BKKBN Jawa Timur menyebut 80 persen hamil di luar nikah di Jawa Timur?
Apa sudah yakin dengan itu. Dari mana angkanya? Kalau ada datanya, kita harus terima sebagai sesuatu yang telah terjadi. Solusinya bagaimana? Bagaimana pencegahannya? Strateginya bermacam-macam, bagaimana pendampingan? Mendorong pemerintah dengan kebijakan hingga keikutsertaan masyarakat.
Apa solusinya?
Hal yang penting dilakukan menurut kami sesuatu yang kurang sebagai strategi yaitu melibatkan atau memberi ruangan bagi remaja dan anak muda untuk mulai pencegahan hingga melakukan pendampingan. Kaum muda itu hanya jadi obyek dan tidak dilibatkan dalam mencari solusi. Anak muda nggak diajak omong. Jadi, perspektif ini yang harus diubah. Dengan melibatkan anak muda. Jadi, ada proses peningkatan kesadaran.
Menurut Anda jangan memakai kacamata orang tua?
Harus inklusi. Anak muda sudah jadi korban, disalahin. Pemerintah dan masyarakat harus berbenah memberikan ruang pada anak muda. Bersyukur kami di Jember ada aktivasi gerakan kaum muda di lokal, banyak organisasi, underbouw organisasi keagamaan. Ada Forum Anak Desa yang berfungsi sebagai pelopor dan pelapor dan menunjukan kepedulian.
Tetapi memang tanpa bilang angka, di Jember misalnya, hamil di luar menikah sesuatu yang kami tahu harian. Kami sedang menghadapi kemungkinan anak kelas satu SMP itu hamil, dari laporan, ini dari gurunya.
Bukankah hamil di luar nikah itu lebih banyak merugikan perempuan?
Itu proses feminisasi kemiskinan atau pemiskinan perempuan. Apalagi kalau suaminya tidak bertanggung jawab. Jadi beban orang itu, anaknya stunting. Kan yang hamil itu belum siap lahir batin, ekonomi sosial.
Mungkin salah satu solusi lain ialah memberikan edukasi seks secara dini?
Edukasi seks sejak dini nggak bisa ditunda-tunda. Kalau zaman dahulu soal penerangan reproduki kerap disalahpahami. Kalau sekarang, Saya kira pemerintah sudah aktif dengan berbagai pihak menyebarluaskan penyadaran ini. Bukan hanya orang tua, tetapi juga anak-anak dipasok informasi melalui sekolah dan organisasi strategis, organisasi keagamaan.
Sekarang jadi keprihatinan adalah digital. Ini juga jadi tantangan buat kita. Dengan hand phone saja anak mendapatkan informasi. Jadi bagaimana caranya agar literasi digital itu sampai ke anak-anak dan remaja. Jadi harus prioritas di lembaga pendidikan.
Jadi percuma dong kalau Kemenkoinfo mencekal katanya situs pornofgrafi, tetapi anak-anak dan remaja tidak pernah dibekali pendidikan seks?
Iya, kan? Kan yang bisa menjaga diri mereka kan mereka sendiri. Nggak bisa orangtua memantau 24 jam. Kesadaran adalah cahaya. Kalau dia menjaga dirinya. Itu sebenarnya. Nah, tadi yang melibatkan anak-anak in action. Tidak teori saja, jadi mereka melihat kasus kawannya mereka mengerti. Betapa menyusahkan hamil di luar menikah.
Jadi mencekal saja percuma. Mereka punya tool yang banyak mencari jalan alternatif. Remaja ahli banget mencari lubang-lubang. Lihat di instagram. Jadi hanya penyadaran.
Sejak umur berapa pendidikan seks diberikan pada anak?
Saya pikir dari Balita juga bisa. Balita kan bisa diajarkan bagaimana ayam bisa bertelur, bagaimana mengenalkan tubuh. Jadi ada di PAUD. Jangan boleh ada yang pegang tubuhmu kecuali ibu.