
Pendiri Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengatakan tidak ada korupsi yang dilakukan sendirian. Tindak pidana itu, pasti melibatkan banyak orang. Namun untuk sektor tertentu yang berbahaya ialah korupsi terkait kebijakan.
“Kita ingat kasusnya PLN. Mengapa tidak dilelang, tetapi anak perusahaan PLN menunjuk langsung mitra dan mitranya ini bermain dengan direksinya. Tidak mungkin hanya direksi, tetapi juga pejabat lain,” ujar mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini.
Sudirman Said lahir di Brebes, 16 April 1963. Aktivis antikorupsi ini, dikenal teliti, dan disiplin. Ini yang selalu ditunjukkan Sekjen Palang Merah Indonesia (PMI) itu, sejak masih kecil, di sekolah, kuliah, hingga bekerja, dan beraktivitas sampai hari ini.
Sepak terjangnya sebagai aktivis antikorupsi, dijalaninya sejak lama. Tetapi, berbeda dengan aktivis lainnya. S1, Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Jakarta,1990, dan S2, Master Bidang Administrasi Bisnis dari Universitas George Washington, Amerika Serikat, 1994 ini, banyak menyoal transparansi keuangan sebuah lembaga atau instansi. Awal terjadinya korupsi karena tidak adanya keterbukaan anggaran keuangan.
Sudirman menjadi aktivis korupsi, diwujudkan dengan mendirikan beberapa organisasi antikorupsi, seperti Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) (2000).
Berikut percakapan Sudirman Said dengan Ichan Loulembah pada Siniar Kosakata bersama Ichan Loulembah, beberapa waktu lalu, seperti disajikan Irvan Sjafari, wartawan Koridor.
Bagaimana pandangan Anda tentang pemberantasan korupsi, apakah Anda termasuk yang putus asa dalam hal ini?
Nggak boleh putus asa. Lelah tidak boleh. Saya tidak punya pilihan. Saya pernah diskusi, waktu menjadi menteri. Beberapa teman mengatakan jangan terlalu kencang. KPK dihancurkan dan segala macam. Lalu saya mengatakan: Hei, nggak boleh ngomong begitu. Meskipun sekarang ada upaya melemahkan KPK, selalu ada energi baru muncul. Dulu tidak pernah ada yang membayangkan bagaimana penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto (1966-1998) yang begitu kuat bisa jatuh oleh gerakan yang sebaliknya.
Tetapi memang ada keprihatinan yang mendalam. Nomor satu, korupsi mengalami pendangkalan makna. Seolah korupsi itu istilah netral. Bahkan ada yang mungkin berpandangan itu yang tertangkap karena apes saja. Itu sebuah perbuatan normal yang bisa dikelola dengan baik, dan lolos
Kita punya istilah garong. Masuk rumah orang, mengambil barang yang nilainya tidak sampai Rp1 miliar. Yang diambil koruptor, berkali lipat. Koruptor itu berkacamata hitam, ada yang tadinya tidak pakai hijab, jadi pakai hijab. Yang tadinya tidak terlihat berpeci, jadi berpeci.
Ini yang saya ucapkan. Ada tujuh lembaga tinggi negara. Lima di antaranya, pemimpinnya, masuk penjara karena korupsi. DPR, DPD, BPK waktu terakhir masa dinasnya tersangka, walaupun dia lolos pada peradilan, MA, MK, kemudian baru dalam sejarah kita begitu banyak pejabat aktif, menteri. Saya sepakat tidak bisa dibandingkan.
Mengapa menjadi begitu mengkhawatirkan?
Begitu lapisan atas melakukan tindakan dengan bebas, apalagi dengan kenyataan KPK itu dilemahkan, maka itu akan merembet ke bawah menjadi inspirasi. Di desa saya, di sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes, lurahnya baru saja mengangkat adik ipar dan keponakannya, satu jadi bendahara dan satu Kepala Bagian Umum. Ketika ditanya, lurah itu hanya menunjuk ke atas nggak apa-apa kok. Apa yang baik dilakukan orang atas netesnya ke bawah pelan-pelan, tetapi kalau yang buruk akan menjadi banjir.
Tetapi kita tidak boleh putus asa. Kita harus terus menyuarakan antikorupsi. Kita tidak boleh berhenti menyuarakan pemberantasan korupsi.
Sebuah aktivitas korupsi, kan bisa dilakukan oleh politisi, baik di eksekutif maupun legislatif. Tetapi juga ada korupsi oleh vendor, yang menjadi suplier, kontraktor, memainkan angka. Tetapi mengatur bolanya kan tetap birokrasi? Kan tidak mungkin dia main sendiri.
Tidak ada korupsi yang dilakukan sendirian. Itu pasti melibatkan banyak orang. Kalau korupsinya sekitar dana proyek, kita bisa menghitung batasnya. APBN berapa sih. Tetapi bukan berarti itu dibolehkan. Mainannya birokrat di situ saja, dana proyek seperti itu. Tetapi untuk sektor tertentu yang berbahaya ialah korupsi terkait dengan kebijakan.
Misalnya, kita ingat kasusnya PLN. Mengapa tidak dilelang, tetapi anak perusahaan PLN menunjuk langsung mitra dan mitranya ini bermain dengan direksinya. Tidak mungkin hanya direksi, tetapi juga pejabat lain.
Juga sektor tambang yang pernah saya urus, kalau mereka mau banyak sekali kesempatannya. Jadi birokrat itu ada batas. Tetapi jaringan di sekelilingnya itu memberi dampak.
Menurut Anda korupsi yang besar itu di hulu, merumuskan kebijakan, membuat aturan. Tetapi juga ada korupsi yang saat penentuan tender?
Tender proyek. Segede-gedenya proyek, tender itu dimainkan karena mau berbagi profit. Itu korupsi di hilir. Tetapi di hulu dampaknya lebih besar. ESDM sekali teken proyek Rp12 triliun. Saya dicandai di DPR, beberapa pemimpin komisi mengatakan sudahlah menterinya kosong, kita hanya bawa power point. (sebagai menteri ESDM, dalam rapat dengan DPR, Sudirman Said hanya bawa materi rapat). Dulu kami (DPR) tidak peduli pada isi materi, tetapi tas yang keliling. Jadi, mereka (anggota DPR) sebenarnya peduli pada perilaku yang bersih.
Ada ungkapan, kami ini diajak benar masa nggak mau. Kalau tidak diajak nggak benar kami terpaksa. Birokrasi itu ibarat kereta, kalau lurus kencang, maka dia akan lurus kencang. Tetapi kalau setiap signal berhenti dan kacau, maka yang di belakang akan ikut kacau. Inilah yang sebetulnya permainan otoritas. Kalau otoritasnya benar, maka kita mudah mengubah suasana di pemerintahan.
Saya mengalami sendiri waktu mantan calon gubernur. Itu memang konkret nggak nih. Cak Nur menyebut satunya referensi komplit masyarakat kita ini masyarakat lembek, permisif terhadap hal ini. Maka dalam proses konstestasi, entah bapak kena, anaknya tetap terpilih. Masyarakat lembek melihat ke atas, melihat orang punya pengaruh.
Jadi sebetulnya kita sebagai bangsa mendorong suatu gerakan elite di pemerintahan atau bisnis karena bisnis adalah penguasa paling besar. Bahkan tokoh agama punya fiqih. Gerakan itu masif digerakkan elite mudah membenahi masyarakat. Itu besar sekali dan itu gunanya berbangsa.
Maksud saya begini. Kalau dulu perjuangan kita sebelum 1945 bagaimana caranya merdeka. Kalau jauh sebelum ini bagaimana caranya bersatu. Bukankah itu tahapan-tahapan yang sangat sulit dan bisa dilalui? Mengapa tidak naik ke kelas berikutnya? Memang perlu dorongan kepemimpinan kuat yang punya imajinasi, yang punya karakter pemberi contoh. Dia berkata kalau kita hanya begini terus yang dianalisis para ekonom, para ilmuwan, bisa kejadian bahwa kita masuk dalam middle income trap, ya orang bekerja keras tetapi hanya mencukupi kebutuhan 1 hingga tanggal 30. Padahal kita ini di negara besar.
Eksekutif tidak sendirian atau DPRD, ada partai-partai yang ada di komisi-komisi, begitu juga DPR. Bukankah ini sebetulnya sebuah orkestra? Supaya bisa berlaku adil?
Saya memberi tantangan pada pandangan ini. Presiden kalau memanggil Ketua Partai datang nggak? Datang dengan bargaining. Jadi sebetulnya kalau Presiden bisa mengarahkan. Partai butuh apa? Katakan Rp20 triliun, Itu dipenuhi negara, tetapi selesaikan UU A, B, C dan D. Jadi, sebetulnya paternalistik berlaku. Presiden itu sangat berpengaruh. Sangat berkuasa. Kita nggak punya pemimpin yang waktu kampanye berbicara apa dan waktu sudah duduk jadi presiden berbicara sama dengan waktu kampanye.
Waktu masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah dibentuk Setgab. Ini mengelola arisan politik. Kalau jadi positif, jadi public policy, kalau sebaliknya menjadi tempat untuk orang berunding. Saya melihatnya sebagai proses mengambil keputusan karena ini negara bukan kerajaan, tetapi demokrasi. Keterampilan ini kan harus dimiliki partai. DPR memilih kapolri dan jabatan publik, Karena DPR powerful, sepakat?
Berpolitik praktis perlu energi. Politik itu menjadi hulu segala macam. Regulasi segala macam dari DPR. Kalau berbaik sangka, berpikir postif, negara kita berapa? Demokrasi berapa. Saya tetap optimistis suatu ketika muncul suatu putaran baru, bila kesadaran itu muncul jika ada edukasi terus menerus ke masyarakat.
Saya pernah merekrut manajer keuangan, yang urusannya hanya duit. Tetapi diperiksa dia punya pengalaman mengurus pajak, menyusun laporan keuangan. Begitu juga dengan CEO. Lebih sulit lagi. Dicek track record-nya. Padahal itu di perusahaan yang mikro.
Kita bertanya yang menjadi bupati, gubernur, Presiden, tidak ada syarat kualitatif. Syaratnya normatif, seperti bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Padahal politik membagi keadilan. Itu rumit. Multi sektor. Tidak cukup hanya mengerti satu sektor. Saya kira ada masanya akan datang seperti itu. Kalau kita terus menerus melakukan diskursus. Saya kira banyak orang gelisah. Kegelisahan itu seperti masa lalu akan menjadi energi melakukan perubahan,
Saya berharap tetap konstitusional, tetapi pikiran baik tetap diedarkan.
Sekarang kan desentralisasi, apakah perlu diperkuat sentralistik lagi?
Saya pernah ikut diskusi dengan Pak Mar’ie Muhammad (menteri keuangan era Orde Baru), awal 2000-an. Saya sepakat mengapa tidak sekalian sistem federal saja. Karena negara ini terlalu besar untuk sentralistik. Jadi setiap negara bagian mengurus masing-masing.
Ini antara kabupaten dan provinsi dibereskan, mau basisnya kabupaten maupun provinsi. Ini negara sangat besar tidak mungkin diurus dengan sentralistik. Apalagi diurus dengan pikiran simple.