World Protection Animal mengingatkan industri peternakan ayam dan babi jadi ancaman baru perubahan iklim. Mengapa?

Koridor.co.id

Ilustrasi peternakan ayam skala pabrik. (Foto: dokumentasi World Animal Protection)

Kebanyakan orang ketika ditanya apa penyebab perubahan iklim, mereka umumnya berpikir bahkan menuding penyebabnya adalah bahan bakar fosil yang diekstraksi dan dibakar untuk kebutuhan energi dan transportasi.

World Animal Protection (WPA), sebuah lembaga global yang bergerak dalam perlindungan hewan tidak menampik penyebab itu. Namun dalam penelitian anyarnya yang dirilis September ini WPA menambahkan industri peternakan ayam yang menghasilkan 69 miliar ekor dan babi dengan produksi 1,5 miliar ekor ikut memberikan kontribusi.

WAP memproyeksi dua komoditas ini akan tumbuh pesat di seluruh dunia di tahun-tahun mendatang, dengan permintaan daging secara keseluruhan diperkirakan meningkat sebanyak 30% di Afrika, 18% di Asia Pasifik, 12% di Amerika Latin, dan 9% di Amerika Utara pada 2030.

Kepada Koridor, Ahad, 11 September 2022, Manajer Kampanye World Animal Protection Indonesia Rully Prayoga mengungkapkan studi ini dilakukan pada industri peternakan ayam dan babi di Amerika Serikat, Belanda, Brasil, dan Tiongkok.

“Tim melakukan penelitian sekitar 4-5 bulan di US, EU (Belanda), Brazil dan Tingkok melibatkan tim peneliti dengan menggunakan pendekatan LCA (Life Cycle Assesment). Ke depannya kita akan menghubungkan ini dengan transformasi sistem pangan yang lebih humanis,” ujar Rully Prayoga.

Menurut WAP, empat negara itu menghasilkan emisi dari peternakan ayam yang menyamai total 29 juta mobil di jalan raya.

Pertanyaannya mengapa peternakan ayam dan babi, bukan peternakan lainnya. Misalnya saja, burung puyuh dan kelinci. Menurut Rully itu terjadi karena peternakan ayam dan babi dilakukan dengan cara industrialisasi peternakan (factory farm) yang menggunakan sumber daya secara besar-besaran.

Selain dari luasan lahan yang dibutuhkan juga tentunya memerlukan pakan ternak yang sangat masif, terutama jagung, kedelai, yang pastinya karena dilakukan dalam skala besar.

Kosenkuensinya, hal ini akan memerlukan suplai jagung, kedelai yang juga masif. Rully menyebut proporsi penggunaan jagung oleh industri pakan ternak telah mencapai lebih dari 50 persen dari total kebutuhan nasional.

“Dalam 20 tahun ke depan, penggunaan jagung untuk pakan diperkirakan terus meningkat dan bahkan setelah 2020 lebih dari 60 persen dari kebutuhan nasional,” ujar alumni arkeologi ini mengutip data dari Ditjen Tanaman Pangan, 2006.

Inilah yang menyebabkan kontribusi emisi GHG dari perluasan kebun jagung di Brazil, Tiongkok, USA yang dikonversikan menjadi pakan ternak terutama unggas.

Bagaimana dengan peternakan sapi? Di Indonesia peternakan sapi skalanya kecil untuk berdampak bagi lingkungan. Namun di beberapa tempat di dunia justru peternakan sapi ini mendorong deforestasi, contoh di Amazon, Brazil.

Kalau memang konsumsi ayam dan daging babi harus dikurangi, apakah bisa dicari subsitusinya, mengingat daging ayam termasuk favorit untuk jadi pangan? Menurut Rully sebenarnya bisa, cukup mengurangi konsumsi dari sektor tersebut.

Perubahan pola konsumsi dan jumlah permintaan konsumen tersebut pada akhirnya dapat mendorong praktik peternakan secara desentralisasi dan tidak beroperasi secara industrialisasi.

“Untuk subtitusi protein kita bisa menggunakan protein nabati lebih banyak daripada hewani. Artinya, untuk pemenuhan protein dari ayam mungkin lebih dikurangi daripada dihilangkan sama sekali dan memelihara ayam kampung lebih baik,” tutur Rully.

Rully Prayoga (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Untuk konteks indonesia, WPA merekomendasi agar konsumen Indonesia mulai memahami darimana asal produk pangan mereka, bagaimana perlakuan sebelum menjadi konsumsi pangan, sehingga akan muncul kesadaran dampak dari pilihan pangan mereka.

Sebagai ilustrasi, banyak resto cepat saji yang selalu berkampanye bahwa mereka turut serta dalam isu perubahan iklim. Padahal, dalam praktiknya justru emisi yang besar berasal dari produk mereka sendiri (ayam) daripada penggunaan plastik/kemasan.

Jadi untuk konsumen agar dapat membantu menghadang laju emisi GHG tinggi dengan lebih bijak dan cerdas dalam memilih sumber protein.

Sampai saat ini kata Rully, pihaknya masih menunggu reaksi dari negara-negara terkait, terutama Brazil, Tiongkok dan US sebagai produsen jagung, kedelai terbesar untuk Indonesia.

Artikel Terkait

Terkini