Walhi NTT meminta Pemerintah melibatkan warga lokal untuk menentukan masa depan Taman Nasional Komodo.

Koridor.co.id

Komodo
Ilustrasi seekor komodo mengadang sebuah truk (Foto: Twitter/kawanbaikkomodo)

Pada Oktober 2020 jagat maya dikejutkan dengan viral seekor komodo menghadang satu unit truk yang membawa sejumlah material untuk pembangunan di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca, yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang Taaamahu menyampaikan kejadian hendaknya dijadikan tanda-tanda alam bahwa pembangunan infrastruktur pariwisata merampas habitat komodo.

Dia mencatat pembangunan di Pulau Rinca itu dilakukan oleh Segara Komodo Lestari dapat konsesi 22 hektar di Loh Buaya untuk membangun pariwisata premium. Selain SKL diketahui konsesi juga diberikan Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) mendapat konsesi menggarap sekitar 400 hektar di Pulau Padar.

“Logikanya, kalau mereka bekerja di tempat yang tidak ada domisili komodonya tidak mungkin hewan itu menghadang. Mereka bekerja di kawasan habitat asli Komodo sendiri. Fakta komodo menghadang pekerja di TNK memerlihatkan pemerintah tidak terang soal zona yang mana boleh dibangun dan mana yang untuk habitat komodo,” ujar Umbu ketika dihubungi Koridor, 12 Juli 2022.

Terkait dengan kebijakan pembatasan pengunjung ke Pulau Komodo dan dinaikannya harga tiket menjadi Rp3,75 juta, Umbu mengingatkan TNK adalah cagar biosfer yang merupakan mandat dunia, bukan hanya pelestarian satwa dan keanekaragaman hayati, tetapi juga penyelasaran kehidupan manusia berbasis lingkungan dan kepedulian terhadap kebudayaan lokal.

“Dengan demikian kebijakan untuk menaikan harga tiket untuk membatasi kunjungan orang tidak relevan dan bukan apple to apple dengan konservasi lingkungan,” ucapnya.

Yang relevan menurut dia TNK terlebih dahulu mempublikasikan bagaimana kondisi TNK dengan tantangan. Bagaimana satwa komodo sendiri terganggu oleh manusia di dalamnya. Apakah ada pencurian anak komodo? Apakah ada pencurian terumbu karang dan pemboman ikan?

Di satu sisi pemerintah dengan mudha menyatakan pembatasna kunjungan dan menaikan harga tiket demi konservasi, tetai praktik izin membangun pariwisata alam juga diberikan. Harusnya dengan alasan konservasi tidak ada izin penginapan dan vila-vila dalam skala besar di TNK. Kesannya Pemerintah ini melakukan konservasi untuk politik.

Walhi NTT juga mengkritisi peruntukan pemasukan dari tiket ini. Apakah ada untuk masyarakat di Pulau komodo yang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan selama 40 tahun berdampingan dengan TNK? Tidak sejahtera. Kalau menuruti konsep Biosfer dengan tidak sampai 1.000 Kepala Keluarga harusnya masyarakat lokal sejahtera.

Seharusnya pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat tinggal bersama komodo. Kalau mereka orang jahat komodo sudah habis di sana. Dia meminta pemerintah menghilangkan stigma negatif masyarakat itu sumber kekacauan hingga mereka dikeluarkan dari TNK.

Pemerintah harus mengajak masyarakat diajak kolaborasi untuk meningkatkan kesejahteraan merka dan mereka punya kearifan lokal memelihara komodo dan mereka menganggap komodo saudara mereka.

Selain itu penduduk di sekitar areal TNK mendapatkan pendidikan akademik bagaimana mengelola komodo untuk memperkuat kearifan lokal mereka. Pendidikan ini diberikan sejak dini di Sekolah Dasar. Dengan demikian masyarakat tidak hanya dilibatkan untuk komersialisasi pariwisata tetapi juga konservasi.

Sebagai catatan temuan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) pada 2019, seperti dikutip dari Betahita, disebutkan dari debit air 40 liter per detik, dan 10 liter per detiknya diperuntukkan untuk perhotelan, khususnya 10 hotel berbintang yang berada di sekitar Kawasan TN Komodo.

Sedangkan debit air yang dialokasikan untuk 5.000 pelanggan rumah tangga yang merupakan masyarakat pesisir di sekitar Kawasan TN Komodo hanya 18 liter per detik. Dengan kata lain, layanan air diprioritaskan untuk perhotelan.

 

Artikel Terkait

Terkini