Perusahaan yang ingin menjual produk mereka ke Uni Eropa (UE) harus membuktikan bahwa barang mereka tidak terkait dengan deforestasi. Jika tidak, siap-siap menghadapi denda hingga empat persen dari omzet penjualan mereka ke negara-negara UE.
Pasalnya, sejak 6 Desember Uni Eropa secara resmi menetapkan UU Anti Deforestasi. Aturan ini bertujuan mengurangi emisi karbon di seluruh dunia.
Regulasi ini membidik produk seperti itu mencakup minyak kelapa sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet yang diimpor ke UE. Bahkan produk itu juga membidik daging sapi. Selain itu tidak terjadi pelanggaran HAM terkait produksi.
“Selama ini kopi yang kami miliki untuk sarapan, cokelat yang kami makan, batu bara untuk barbekyu, kertas di buku kami merupakan bagian dari deforestasi. Ke depan tidak lagi,” ucap Ketua Komite Lingkungan Parlemen Eropa Pascal Canfin seperti dikutip dari https://www.bbc.com/news/world-europe-63872393
Komisi Eropa menargetkan undang-undang baru akan melindungi setidaknya 71.920 hektare (278 mil per segi) hutan setiap tahun, sekitar 100.000 lapangan sepak bola.
Selain itu menurut Komisi Eropa kebijakan ituakan mengurangi emisi karbon global tahunan sebesar 31,9 juta metrik ton per tahun atau sekira dengan emisi karbon Denmark pada 2021, menurut data Bank Dunia.
Sekalipun Dewan Eropa – di mana negara-negara anggota menyetujui kebijakan namun Parlemen Eropa belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Undang-undang tersebut dapat ditegakkan 20 hari setelah diterima secara resmi, yang diharapkan akan terjadi tahun depan.
Setelah menjadi undang-undang, operator dan pedagang memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhi peraturan baru. Perusahaan yang lebih kecil akan memiliki waktu 24 bulan untuk beradaptasi.
Perubahan undang-undang akan berdampak kecil atau tidak sama sekali pada harga konsumen, kata juru bicara Komisi Eropa.
Para pecinta lingkungan menyambut gembira aturan itu. Di antaranya kelompok lingkungan Greenpeace mengatakan kesepakatan itu merupakan “terobosan besar bagi hutan”. Berapa negara yang berdagang dengan UE seperti Brazil dan Indonesia tentunya memberatkan. Aturan itu membutuhkan biaya mahal untuk menyediakan sertifikasi bebas deforestasi.
Sementara Walhi Indonesia mengatakan undang-undang anti deforestasi ini tidak sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), baik hak atas tanah dan hak untuk persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Undang-Undang EU ini tidak meletakkan instrumen hukum internasional mengenai HAM menjadi dasar acuan.
Pengaturan hukum mengenai HAM (termasuk hak atas tanah) dikembalikan pada negara masing-masing. Faktanya saat ini, pemerintah Indonesia tidak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang mengenai Masyarakat Adat.