Praktisi pembangkit listrik tenaga mikro hidroelektrik, sekaligus Direktur Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) Tri Mumpuni menyampaikan Rancangan Undang-udang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bukanlah regulasi yang dia bayangkan sebelumnya.
Menurut Tri Mumpuni seharusnya bicara energi terbarukan itu ialah tenaga panas bumi dan air yang bisa 24 jam, biofuel, serta yang harus diolah dulu seperti tenaga surya.
Sebagai praktisi dia mengusulkan batu bara tetap menjadi energi fosil, tetapi kalau pun diterima seharusnya batu bara yang mengandung CO2 ditangkap (carbon capture) dan diolah menjadi energi. Begitu juga dengan nuklir bukanlah energi terbarukan.
“Jadi saya kaget kok berubah menjadi RUU Energi Baru dan Terbarukan. Kalau begitu yang bicara adalah siapa yang berkuasa. Siapa yang paling kuat mempengaruhi Presiden,” ujar Tri Mumpuni ketika dihubungi Koridor, Jumat, 10 Maret 2023.
Untuk energi nuklir, Tri Mumpuni mengingatkan bahwa kurang hebat apa Jepang membangun pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima, tetapi bocor juga. Pertanyaannya bagaimana kalau Indonesia yang membangun? “Hanya Tuhan yang tahu, apakah kita bisa lebih baik atau tidak.”
Namun Tri Mumpuni membenarkan tenaga nuklir jadi tumpuan karena pada 2060 diperkirakan Indonesia memerlukan 600 ribu megawatt listrik. Sementara yang dihasilkan air maksimal hanya 75 ribu, tenaga panas bumi sekitar 28 ribu plus energi lain totalnya hanya 300 ribu.
“Padahalnya kita harus ajarkan rakyat untuk menggunakan apa yang kita punya. Misalnya ada seribu orang di satu tempat dan bisa menghasilkan 200 watt dari tenaga air, mengapa tidak? Rakyat itu penting jangan sampai tidak dianggap,” cetusnya.
Skema pembangunan berbasis masyarakat atau community base development merupakan cara terbaik dalam mengembangkan energi ramah lingkungan mengingat banyak masyarakat hidup di daerah pelosok yang sulit akses.
Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan seharusnya dibuat tidak hanya untuk kepentingan oligarki, tetapi juga harus mementingkan kondisi masyarakat yang belum menikmati listrik.
Sementara itu Program Manager Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan regulasi dan kebijakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir untuk transisi energi dinilai tidak signifikan.
“Untuk itu memang dibutuhkan payung kebijakan yang menunjukkan kesiapan Indonesia mendukung energi terbarukan,” ungkap Deon seperti dilansir dari https://www.hukumonline.com/berita/a/koalisi-usul-ruu-ebet-fokus-pada-energi-terbarukan-lt63e09a80a28d3/
Dia menyatakan energi terbarukan tergolong kompetitif dibandingnya energi fosil. Misalnya, dalam menghasilkan listrik yang dihasilkan PT PLN sebagian besar menggunakan bahan bakar fosil yakni minyak.
“Selain mahalnya harga bahan bakar minyak, pemerintah pun memberikan subsidi. Berbeda jika sumber yang digunakan adalah tenaga surya yang secara ekonomis lebih murah untuk menghasilkan listrik,” kata Tri Mumpuni.