Petani milenial yang muncul dalam kurun waktu 10-an tahun terakhir banyak datang dari kalangan perguruan tinggi dan tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka mampu memasarkan produk secara digital hingga melakukan ekspor.
Bagi petani, salah satu kegembiraan utamanya, mendapat hasil optimal pada panen raya, termasuk seorang anak muda bernama Setya Gustina. Petani jagung dari Desa Jamali, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini memperoleh 14 ton jagung dari lahan produktifnya dan lahan tadah hujan sekitar 10 hingga 11 ton.
“Luar biasa bagi saya. Kami mempertahankan produktivitas panen seperti sebelumnya,” ujar Setya Gustina ketika dihubungi Koridor, beberapa waktu lalu.
Untuk semua itu, Setya Gustina memilih pulang ke kampung halamannya setelah menggeluti bisnis ritel untuk membangun pertanian. Komoditas yang dipilih alumni APP di Jakarta ini adalah jagung hibrida.
Pilihan Setya menggeluti pertanian jagung, tepat. Karena, komoditas yang satu ini tidak terlalu banyak pesaing dan juga memiliki potensi sangat besar di daerahnya. Komoditas jagung di kawasan Cianjur, pasarnya masih luas. Untuk kuota jagung di lokal saja, yaitu Cianjur sebesar 300 ton per hari, sejauh ini belum bisa terpenuhi.
“Kalau bisnis sayuran di Cianjur, bisa kalah. Karena, banyak pemainnya. Saya cari apa sih komoditas khas, tak ada pesaing, dan pasarnya luas? Setelah dicari, ya jagung ini. Setelah kami pelajari, memang benar kuota jagung di Cianjur 300 ton per hari itu pun tidak terpenuhi. Jadi, akhirnya saya pilih bertani jagung,” papar pria kelahiran 1992 ini.
Setya Gustina mendirikan Rumah Petani Indonesia tiga tahun lalu di kampungnya, dengan mengajak para petani lain sebagai mitra. Setiap tahun Rumah Petani Indonesia mampu memproduksi sekitar 4,5 ton jagung pipil (3 kali panen) dengan omzet rata-rata Rp1,5 miliar hingga Rp4,5 miliar per tahun. Kini, produknya sudah diekspor ke Amerika Serikat dalam bentuk frozen, walau hanya trial belum sampai satu kontainer. Dia mengakui ekspor belum dilakukan secara langsung, masih melalui agensi.
Rumah Petani Indonesia berencana memperluas kapasitas produksi, terutama untuk jagung manis frozen yang punya potensi besar untuk ekspor. Caranya dengan memperluas lahan budidaya, memperbesar kapasitas pabrik yang belum maksimal.
“Kami bersiap untuk ekspor ke beberapa negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab dengan target sekitar 100 ton, serta Amerika Serikat,” ujar Setya.
Namun untuk keperluan itu Setya mengaku mencari investor. Saat ini Rumah Petani Indonesia sudah mengembangkan sayapnya ke luar daerah Cianjur, seperti Sukabumi, Subang, Purwakarta, Majalengka.
Duta Milenial Malang
Kesibukan luar biasa juga dirasakan petani milenial dari Kota Malang, Jawa Timur, Diyah Rahmawati Wicaksana Ningtyas. Pada Ramadan 2022 ini, perempuan kelahiran 8 April 1985 itu menghadapi penjurian dari Kementerian Pertanian untuk proposal pengembangan usahanya di bidang hortikultura Abang Organik, selain melayani mahasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, almamaternya untuk magang di tempatnya.
Diyah memilih menjadi petani, konsisten dengan pilihannya waktu kuliah. Saat yang sama, teman-temannya bekerja di kantoran baik BUMN maupun swasta, di bidang teknologi informasi, komunikasi bahkan jagat hiburan. Diyah memilih menjadi petani sayuran organik.
Menjadi petani terinspirasi dari pengalaman hidupnya ketika pada 2014 menderita penyakit parah dan oleh dokter divonis bisa berulang. Namun, Diyah percaya bahwa Tuhan menurunkan penyakit, sekaligus obatnya. Ia kemudian menanam sayuran secara organik di teras rumah yang luasnya 3 x 1,5 meter. Setelah panen, sayuran itu dijus kemudian dicampur dengan pisang dan madu sebagai menu sarapan. Dan alhamdulillah Diyah sembuh.
Dari situ, Diyah ingin mengembangkan sayuran organik. Dia ingin sayuran organik diproduksi sepraktis mungkin dan terjangkau. Pada 2015 Diyah mendirikan brand Abang Sayur Organik dan Natural Organic Indonesia.
Duta Petani Milenial 2020 dari Kota Malang, Jawa Timur ini, mengembangkan usaha yang bergerak di bidang on farm dan off farm. Di bidang on farm, ia membudidayakan sayuran organik segar. Sedangkan di bidang off farm, Diyah memproduksi camilan dan tempe organik. Usahanya ini masuk dalam lima kelompok Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP) Terbaik Kementan tahun 2018.
Selama masa pandemi Covid-19, jika sebagian orang sampai berkurang, atau malah kehilangan penghasilan, Diyah sebaliknya. Omzetnya naik hampir 50 persen. Sebelumnya, omzet per bulan mencapai Rp60 juta. Saat pandemi naik hingga Rp90 juta.
Produksi sayuran, usaha yang diperkuat delapan karyawan ini terdiri atas 25 jenis, mencapai sekitar 1 ton per bulan di atas lahan seluas 1,9 hektare di kawasan Cemorokandang, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Pada 2021 produksi sayurannya meningkat, meski tidak terlalu besar.
Produk sayuran dari Abang Organik dipasarkan untuk konsumen rumahan, konsentrasi utama di Malang Raya. Ada juga yang dipasarkan beberapa ke luar kota di wilayah Jatim. Untuk konsumen bussiness to bussines (B2B), meliputi Jatim.
“Pada 2022, kami sudah terkoneksi dengan berapa aplikasi. Kami sudah go digital untuk pemasaran, kolaborasi dengan beberapa platform, gostore (dari gojek), pasarpintar, untuk memperluas pasar sayuran organik,” ucap Diyah ketika dihubungi Koridor.
Sayangnya, pihaknya menghadapi tantangan lain. Setelah hampir tiga tahun pandemi Covid-19, pelaku agribisnis sayuran organik, seperti Diyah, dihadapkan dengan kondisi yang memerlukan penanganan ekstra. Konsumen harus menghemat dananya dengan kembali beralih mengkonsumsi produk sayuran konvensional.
Untuk itu Diyah terus melakukan edukasi dan inovasi agar produk organik ini meskipun tidak ada lagi Covid-19 tetap dibutuhkan masyarakat.
Saat ini di Malang Kota ada Jaringan Petani Nasional yang merupakan program pemerintah mengumpulkan petani milenial dan hasil resonansi Duta Milenial Kota Malang, untuk saling berkolaborasi.
Apa pun munculnya petani milenial dalam kurang dari 10 tahun terakhir ini menjadi angin segar bagi Indonesia, apalagi mereka datang dari kalangan perguruan tinggi.
Survei Pertanian Atas Sensus 2018 oleh BPS, potret petani Indonesia didominasi oleh usia >55 tahun atau 37,5 persen, sedangkan yang berusia <35 tahun atau generasi milenial hanya 11,6 persen. Tanpa adanya regenerasi, dalam 10 tahun mendatang mereka diperkirakan sebanyak 27 juta dari 38 juta petani tidak akan bekerja lagi karena berusia lanjut.