Target produksi mobil listrik dan perannya mengurangi emisi karbon menimbulkan tanda tanya. Lebih baik memperbaiki transportasi massal

Koridor.co.id

Ilustrasi mobil listrik.

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo merupakan salah satu komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi karbon. Targetnya pada 2060 adalah Net Zero Emission. 

Inpres itu mewajibkan pegawai negeri pusat dan daerah menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional dinas maupun pribadi. Itu artinya, sebanyak 189.803 unit kendaraan dinas pemerintah berenergi fosil yang tercatat dalam Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mesti diganti menjadi kendaraan berbasis energi listrik.

Regulasi sebelumnya Permenperin No 27 Tahun 2020 cukup ambisius mematok 10 persen dari total produksi mobil sebanyak 1,5 juta unit bertenaga listrik atau berjumlah 10 persen. Sementara pada 2025 targetnya dinaikkan sebanyak 20 persen dari jumlah produksi 2 juta unit. Itu berarti, 400 ribu unit dan pada 2030 target itu menjadi 25 persen dari 3 juta unit.

Sadar bahwa target tidak tercapai maka melalui Permenperin No.6/2022, pemerintah merevisi target kuantitatif. Dalam regulasi itu produksi mobil listrik ditenggat pada 2025 sebanyak 400.000, kemudian pada 2030 bertambah menjadi 600.000 unit, dan pada 2035 sebesar 1 juta unit.


Sayangnya, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) mencatat sejak Januari hingga Agustus 2022 produksi Electric Vehicle (EV) hanya mencapai 1.816 unit. Sementara produksi mobil seluruhnya 918.560. Itu artinya dari segi prosentase hanya sekitar 0,20 persen.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan apakah target mobil listrik mencapai 400 ribu realistis. Selain itu negara yang mau berinvestasi mobil listrik di Indonesia hanya Korea Selatan dengan Hyundai-nya dan Tiongkok dengan Wuling. 

Hal ini pernah diakui oleh Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Rachmat Kaimudin. Ia bercerita soal sulitnya mengajak produsen mobil dari Jepang, Amerika Serikat berinvestasi mobil listrik di Indonesia.

“Agar Indonesia bisa menurunkan emisi karbon butuh komitmen dan kolaborasi jelas dari negara maju jika ingin Indonesia menurunkan emisi karbon,” kata Rachmat dalam agenda Global Future Fellows 2022 mengenai Transisi Energi Indonesia di Nusa Dua, Bali, beberapa waktu lalu.

Tantangan lainnya ialah mobil listrik membutuhkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU).

Ekonom transportasi dan energi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Alloysius Joko Purwanto menilai, fasilitas tersebut masih kurang di Indonesia. Faktanya, baru terdapat 332 unit SPKLU/Charging Station di 279 lokasi publik.

Sedangkan, jumlah SPBKLU/Battery Swap Station ada 369 tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, sepertiga dari jumlah diatas terpusat di Jakarta.

“Saya belum melihat adanya strategi pembangunan SPKLU yang jelas dari pemerintah, padahal ketersediaan SPKLU adalah salah satu faktor penting untuk suksesnya penetrasi kendaraan listrik di pasaran,” tutur Alloysius.

Meskipun demikian Alloysius menilai kebijakan pengurangan BBM dan beralih ke energi listrik untuk jangka panjang cukup tepat.

Kajian ERIA, seperti dikutip dari The Conversation, menemukan bahwa dengan komposisi mobil listrik mencapai 50% pada 2040, Indonesia baru bisa mengurangi total emisi karbon dioksida sebesar 10%.

Penurunan 10% itu juga terjadi dengan asumsi bahwa pemerintah menggunakan komposisi energi yang lebih “bersih” untuk pembangkit tenaga listrik yang persentase pembangkit listrik bertenaga batu bara tidak lebih dari 50%.

Pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan mencapai persentase lebih dari 25%. Komposisi energi seperti itu akan melepaskan 535 gram karbon dioksida untuk setiap kilowatt-jam listrik.

Kalangan penggiat lingkungan bersikap pesimistis. Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Ki Bagus Hadi Kusumo menuturkan wacana pengembangan ekosistem kendaraan listrik untuk mengurangi emisi karbon sejatinya hanyalah solusi palsu.

Sumber energi perkotaan, yang notabene pasar utama konsumen kendaraan listrik berbasis baterai itu masih didominasi batu bara. Ekstraksi komoditas tambang untuk bahan baku baterai kendaraan listrik, khususnya nikel, menimbulkan kerusakan yang begitu besar baik ruang hidup warga dan ekosistem.

“Lebih dari itu, pembukaan lahan tutupan hutan besar-besaran untuk tambang demi memenuhi kebutuhan komoditas nikel ini, juga berkontribusi terhadap menurunnya kemampuan serapan karbon,” ujar Ki Bagus kepada Koridor, Senin, 10 Oktober 2022.

Solusi yang paling baik kata Ki Bagus terkait dengan transportasi, lebih baik memperbaiki dulu sistem transportasi publiknya, agar nyaman, murah dan mudah diakses. Ini akan lebih menurunkan karbon ketimbang optimalisasi kendaraan listrik, apalagi untuk penggunaan pribadi.

“Karena kalau mau dihitung jejak karbon-nya, kendaraan listrik berbasis baterai juga memiliki jejak karbon dan pengrusakan lingkungan yang sama besarnya seperti kendaraan konvensional,” tegas Ki Bagus.

Artikel Terkait

Terkini