Suku Mollo percaya hutan, urat nadi, rambut. Tanah, daging, sedangkan batu tulang. Air adalah darah, sehingga air, tanah, batu dan hutan, satu kesatuan

Koridor.co.id

Prigi Arisandi dan Aleta Baun-Foto: Dokumentasi Pribadi Prigi.

Aktivis Lingkungan Prigi Arisandi dan rekannya Amiruddin Muttaqin videografer tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) terkesan dengan kearifan lokal Suku Mollo yang mendiami lereng Gunung Mutis, di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kami ingin ingin mendokumentasikan kegiatan mama Aleta Baun, salah seorang tokoh Suku Mollo dalam penyelamatan air dan mata air. Tim ESN juga melakukan uji kualitas air Sungai Benenain,” ujar Prigi kepada Koridor, Selasa, 6 Desember 2022.

Prigi menuturkan dalam Bahasa Mollo  Gunung Mutis artinya lengkap semua. Gunung Mutis adalah gunung Keramat yang disucikan oleh suku Molo. Karena dari Gunung Mutis memancar air susu ibu bumi berupa 4 sungai besar, yaitu Puni, Koki, Benain dan mina.  Keempat sungai ini menjadi sumber kehidupan penting bagi pulau timor termasuk yang mengalir ke Timor Leste.

Prigi mengungkapkan, gerakan penyelamatan mata air Suku Mollo dipelopori Aleta Baun menentang penambangan Marmer di Gunung Mutis. Menurut Aleta penambangan Marmer akan merusak kesatuan ekosistem Gunung Mutis yang terdiri atas unsur batu, tanah, hutan dan air.

Pada pertengahan 1990-an mulai ada aktivitas tambang marmer dengan gerakan perempuan dan masyarakat adat mereka melawan tambang marmer dan berhasil mengusir tambang beberapa tahun yang silam.

Perempuan pejuang mata air sejati yang mengutamakan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan pribadi.

“Saat melawan tambang saya mendapat ancaman pembunuhan, teror terhadap keluarga saya bahkan rumah saya dilempari batu,” ujar Aleta seperti ditirukan Prigi.

Perjuangan untuk menjaga mata air harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Air merupakan  kepentingan umum, menekankan persatuan dan kerukunan karena dengan bersatu akan kuat

Masyarakat Mollo hidup sederhana dan sangat bergantung pada sungai karena pencaharian mereka adalah petani, peladang. Mereka masih memegang hukum adat terutama berkaitan dengan pengelolaan air dan tanah. “Kami juga ingin belajar dan berharap agar upaya Mama Leta menjadi best practices dalam.pengelolaan mata air dan sungai.”

Prigi mengkritisi banyak kebijakan yang membuka peluang kerusakan lingkungan, alih fungsi dan penurunan status hutan menjadi ancaman serius bagi sumbermata air dan debit air sungai, penurunan status

Gunung Mutis yang menjadi Taman Wisata Alam yang sebelumnya adalah cagar alam  berdampak pada dibukanya lahan untuk kepentingan taman wisata. Akibatnya hutan berkurang dan debit air sungai menurun. Padahal kebutuhan air bersih Timor Tengah Selatan di suplai dari sumber-sumber air di Gunung Mutis.

“Harus ada yang mau berkata benar. Harus ada yang berani melawan kebijakan yang akan mengganggu keseimbangan ekosistem Gunung Mutis,” tegasnya.

Pada 25 Januari 2017, Aletta mendapatkan penghargaan hak asasi manusia, Yap Thiam Hien. Penghargaan ini karena Aleta Baun, selama 17 tahun berjuang bagi para perempuan dan anak-anak juga lingkungan di Mollo, Nusa Tenggara Timur.

Artikel Terkait

Terkini