Anak muda yang bakal menanggung akibat buruk dari perubahan iklim di masa depan. Cynthia Houniuhi kelahiran Kepulauan Solomon di Pasifik menyadari hal itu. Sarjana hukum dari Universitas Pasifik Selatan ini sejak 2019 bersama 26 mahasiswa hukum lain memulai kampanye membawa perubahan iklim ke pengadilan tinggi dunia.
Pimpinan Mahasiswa Pulau Pasifik Memerangi Perubahan Iklim dan mendesak Mahkamah Internasional menentukan kewajiban negara memerangi perubahan iklim.
Dia percaya bahwa sebagian besar hak asasi manusia Kepulauan Pasifik telah dirusak oleh dampak buruk dari perubahan iklim sehingga pendekatan yang berpusat pada hak asasi manusia harus dipertimbangkan dalam mengatasi perubahan iklim.
Perjuangannya akhirnya mulai membuahkan hasil. Pada akhir Maret ini pengadilan tinggi dunia itu untuk pertama kalinya akan memberi nasihat tentang kewajiban hukum negara untuk memerangi perubahan iklim, menyusul resolusi PBB pada 29 Maret 2023 seperti dikutip dari reuters.com/business/environment/un-vote-whether-world-court-should-rule-climate-obligations-2023-03-29/
Mahkamah Internasional sekarang akan menyiapkan pendapat penasehat yang dapat dikutip dalam kasus pengadilan iklim. Gerakan itu datang dari Vanuatu, sebuah negara kepulauan Pasifik dataran rendah yang menghadapi bahaya dari naiknya permukaan laut.
Para siswa menyusun surat kepada para pemimpin kepulauan Pasifik yang mendapat tanggapan positif dari Vanuatu. Negara itu tergugah oleh gerakan yang dilakukan Cynthia dan kawan-kawannya. Pada awal 2023 perkiraan biaya kerusakan negara itu mencapai sekitar setengah dari PDB tahunan negara itu.
Perdana Menteri Vanuatu Ismael Kalsakau mengatakan kemenangan ini untuk keadilan iklim dengan proporsi yang luar biasa. Mosi yang disponsori oleh lebih dari 130 negara itu disambut dengan sorak-sorai.
Vanuatu melihat resolusi bersejarah hari ini sebagai awal dari era baru dalam kerja sama iklim multilateral. Era yang lebih terfokus sepenuhnya pada penegakan aturan hukum internasional dan era yang menempatkan hak asasi manusia.
“Serta kesetaraan antargenerasi di garis depan keputusan iklim,” kata Ismael Kalsakau, Perdana Menteri Vanuatu, dalam sebuah pernyataan video kepada PBB seperti dikutip dari https://www.bbc.com/news/science-environment-65097831
Resolusi tersebut mendapat dukungan dari banyak negara karena dibuat dengan hati-hati untuk menghindari menyalahkan negara-negara seperti AS dan Tiongkok yang telah berkontribusi paling besar terhadap gas pemanasan yang menaikkan suhu.
Para ahli mengatakan bahwa sementara pandangan hukum Makamah Internasional tidak mengikat, hal itu kemudian dapat dikutip dalam kasus pengadilan iklim di seluruh dunia.
Makamah Internasional yang berbasis di Belanda memiliki waktu dua tahun untuk mempertimbangkan pandangannya.
Pengacara yang mendukung kasus ini percaya bahwa proses ini diperlukan karena saat ini, di bawah perjanjian iklim Paris, terdapat kebingungan tentang tanggung jawab hukum suatu negara terkait penyebab pemanasan global.
Profesor hukum dan kebijakan lingkungan di Universitas Cambridge Jorge Viñuales mengatakan di bawah hukum internasional, itu tidak masuk akal.
“Namun tindakan ini dapat memberdayakan dan memberanikan masyarakat sipil untuk berbuat lebih banyak, dan dapat menciptakan narasi politik baru yang dapat digunakan dalam pemilu, misalnya,” ujar Vinuales.