Mencairnya es akibat pemanasan global mendorong naiknya permukaan laut, banjir di daratan, dan potensi pandemi baru

Koridor.co.id

Ilustrasidanau glasial-Foto: Shutterstock.

Danau glasial adalah badan air dengan asal dari aktivitas gletser, Mereka terbentuk ketika gletser mengikis tanah, dan kemudian meleleh, mengisi depresi yang diciptakan oleh gletser.

Menjelang akhir periode glasial terakhir, sekitar 10.000 tahun yang lalu, gletser mulai mundur. Gletser yang mundur sering meninggalkan endapan es yang besar di celah antara drumlin atau bukit. 

Akibat pemanasan global jumlah danau glasial naik sekitar 53 persen antara tahun 1990 dan 2018, memperluas jumlah tutupan danau di Bumi sekitar 51 persen. Berdasarkan survei, 14.393 danau glasial tersebar di hampir 9.000 kilometer persegi permukaan planet ini.

Hal ini terlihat dari citra atau gambar satelit, yang menunjukkan dampak peningkatan air lelehan telah mengeringkan gletser.

Persoalannya bukan itu saja. Tom Robinson dari University of Canterbury di Selandia Baru dan rekan-rekannya mengingatkan bahwa 15 juta orang di seluruh dunia akan terdampak  banjir danau glasial (GLOF).

Mereka tinggal dalam jarak 50 kilometer dari setiap danau, dan dalam jarak 1 kilometer dari sungai di mana air akan mengalir jika terjadi luapan GLOF.

Banjir ini dapat terjadi ketika bendungan es atau batu yang menahan danau glasial gagal, atau longsoran batu mengirimkan air yang membanjiri bendungan alami.

“Sebanyak 9 juta di Himalaya, 2,5 juta di Andes, dan 2,2 juta di Pegunungan Alpen. Lebih dari setengah dari 15 juta jiwa tinggal di India, Pakistan, Peru atau Tiongkok,” ujar  Tom Robinson  seperti dikutip dari  https://www.newscientist.com/article/2357961-15-million-people-live-in-possible-flood-path-for-melting-glaciers/ 

Pakistan, misalnya, memiliki 2,1 juta orang yang tinggal di daerah yang berpotensi berisiko, tetapi danau-danau di sana kurang dipahami dengan baik dibandingkan danau-danau di dekat Nepal,.

Pemerintah Nepal telah membangun saluran pelimpah yang mahal di danau-danau yang paling berbahaya dan memasang sistem peringatan dini. Dalam beberapa kasus, gelombang banjir dari semburan dapat tiba dalam waktu kurang dari satu jam, tanpa peringatan sebelumnya.

“Hal memprihatinkan terjadi di Peru dan tempat lain di pegunungan Andes, tempat ribuan orang tewas akibat banjir danau glasial sejak 1950-an,  karena belum mendapat perhatian yang cukup,” kata Robinson.

Sebagai catatan pada Mei 2022, sebuah jembatan runtuh di Pakistan utara akibat ledakan danau glasial. Para ahli mengatakan bahwa volume air di danau glacial Shisper telah meningkat 40 persen selama 20 hari terakhir.

Peningkatan volume air ini didorong kenaikan suhu yang tinggi di Pakistan secara tiba-tiba.
Aktivitas gletser di negara tersebut telah menciptakan lebih dari 3.000 danau glasial dan 33 di antaranya berpotensi menimbulkan bencana.

Naiknya Permukaan Laut

Itu dampak pencairan es di daratan, bagaimana dengan pesisir.  Bruce Douglas, seorang peneliti pesisir di Florida International University, menghitung bahwa setiap inci (2,5 cm) kenaikan permukaan laut dapat mengakibatkan mundurnya garis pantai berpasir setinggi delapan kaki (2,4 meter) karena erosi.

Dampak dahsyat lain  air asin menyusup ke akuifer air tawar, hal itu mengancam sumber air minum dan membuat tanaman menjadi bermasalah. Di Delta Nil, di mana banyak tanaman Mesir dibudidayakan, erosi yang meluas dan intrusi air asin akan menjadi bencana karena negara tersebut hanya memiliki sedikit tanah subur lainnya.

Douglas juga memperingatkan  rekayasa manusia memperburuk efek dari naiknya permukaan laut di dunia yang memanas. Sistem saluran dan tanggul di sepanjang Mississippi secara efektif menghentikan proses alami berusia ribuan tahun untuk membangun kembali delta sungai dengan endapan sedimen yang kaya.

Pada 1930-an, perusahaan minyak dan gas mulai mengeruk pengiriman dan kanal eksplorasi, merobek penyangga tanah rawa yang membantu menghilangkan gelombang pasang. Pengeboran energi menghilangkan sejumlah besar cairan di bawah permukaan, yang menurut penelitian meningkatkan laju tenggelamnya tanah.

“Sekarang Louisiana kehilangan sekitar 25 mil persegi (65 kilometer persegi) lahan basah setiap tahun, dan negara bagian melobi uang federal untuk membantu mengganti sedimen hulu yang merupakan urat nadi kehidupan delta,” ucapnya seperti dilansir dalam  https://www.nationalgeographic.com/environment/article/big-thaw 

Pandemi Baru

Dampak  ketiga ialah potensi munculnya pandemi baru. https://www.theguardian.com/science/2022/oct/19/next-pandemic-may-come-from-melting-glaciers-new-data-shows menyebutkan analisis genetik sedimen tanah dan danau dari Danau Hazen, danau air tawar Arktik terbesar di dunia, menunjukkan risiko penyebaran virus.

Kemungkinan besar virus dan bakteri yang terkunci di gletser dan permafrost dapat bangkit kembali dan menginfeksi satwa liar setempat, terutama karena jangkauan mereka juga bergeser lebih dekat ke kutub.

Misalnya, pada 2016 wabah antraks di Siberia utara yang menewaskan seorang anak dan menginfeksi setidaknya tujuh orang lainnya dikaitkan dengan gelombang panas yang mencairkan permafrost dan mengekspos bangkai rusa yang terinfeksi. Sebelumnya, wabah terakhir di wilayah tersebut terjadi pada  1941.

Dr Stéphane Aris-Brosou dan rekan-rekannya di University of Ottawa di Kanada mengumpulkan sampel tanah dan sedimen dari Danau Hazen, dekat tempat aliran air lelehan dalam jumlah kecil, sedang, dan besar dari gletser setempat.

Selanjutnya, mereka mengurutkan RNA dan DNA dalam sampel ini untuk mengidentifikasi tanda tangan yang sangat cocok dengan virus yang diketahui, serta inang hewan, tanaman, atau jamur yang potensial.

Tim peneliti menjalankan algoritme yang menilai kemungkinan virus ini menginfeksi kelompok organisme yang tidak terkait.

Penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the Royal Society B, menunjukkan bahwa risiko virus menyebar ke inang baru lebih tinggi di lokasi yang dekat dengan aliran air lelehan gletser dalam jumlah besar – situasi yang menjadi lebih mungkin terjadi saat iklim menghangat.

Pada 2021 para peneliti di Ohio State University di AS mengumumkan bahwa mereka telah menemukan materi genetik dari 33 virus dalam sampel es yang diambil dari dataran tinggi Tibet di China. Berdasarkan lokasinya, virus tersebut diperkirakan berusia sekitar 15.000 tahun.

Pada  2014, para ilmuwan di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis di Aix-Marseille berhasil menghidupkan kembali virus raksasa yang mereka isolasi dari permafrost Siberia, membuatnya menular kembali untuk pertama kalinya dalam 30.000 tahun.

Artikel Terkait

Terkini