WALHI Sumbar mendorong Pemprov mengembangkan ekowisata di Danau Maninjau, yang akan mengalihkan mata pencaharian masyarakat pengelola tambak. Pengolahan eceng gondok dinilai berpotensi menimbulkan bencana baru.
Kematian ikan-ikan di Danau Maninjau yang terkait dengan keberadaan Keramba Jaring Apung (KJA) yang telah terjadi puluhan tahun membuat Pemerintah Provinsi Sumatera Barat bersama Pemerintah Kabupaten Agam melakukan berbagai upaya revitalisasi danau tersebut.
Di antaranya dengan melibatkan PT. Semen Padang dan PT. PLN dalam pengembangan kawasan konservasi wetland (rasau) berkonsep ekowisata. Rapat antar stakeholder ini dilakukan di Padang, 31 Mei 2022.
Digagas pertama kali oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar, pembuatan wetland dinilai merupakan sebuah pilihan tepat karena mampu memberikan multiplier effect. Dimulai dari konservasi keanekaragaman hayati, memberikan dukungan terhadap pariwisata daerah, mengurangi KJA. Selain itu, sebagai pengendalian hama hingga menyediakan berbagai alternatif mata pencaharian bagi masyarakat setempat melalui pengolahan kerajinan tangan eceng gondok.
Wakil Gubernur Sumbar, Audy Joinaldy mengatakan bahwa salah salah satu permasalahan pokok revitalisasi di Danau Maninjau adalah kurangnya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat yang lebih ramah terhadap pemeliharaan lingkungan kawasan salingka Maninjau tersebut.
“Dengan pembuatan kawasan konservasi berupa wetland yang disertai pelatihan pengolahan kerajinan tangan dari eceng gondok, konservasi keanekaragaman hayati terjaga, serta dapat menjadi mata pencarian baru bagi masyarakat, ” ujar Wagub seperti dikutip dari situs Indonesia Satu.
Dalma pertemuan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Siti Aisyah mengatakan pihaknya telah melakukan identifikasi dan pemetaan guna menentukan nagari yang berpotensi dijadikan kawasan konservasi dan pengolahan eceng gondok.
Secara tata ruang, Nagari Sungai Batang di Kecamatan Tanjung Raya memiliki potensi sebagai kawasan konservasi berupa wetland. Sementara, pengolahan kerajinan akan dilakukan di Nagari Koto Malintang, Tanjung Sani, Duo Koto dan Nagari Koto Gadang.
Sebagai langkah awal, Pemerintah Kabupaten Agam akan memfasilitasi sosialisasi dan persetujuan masyarakat yang diwakili pernyataan dari wali nagari setempat.
WALHI Sumatera Barat menilai bencana ekologi di Maninjau adalah tidak dikelolanya danau secara lestari baik oleh pemerintah maupun masyarakat. WALHI Sumbar menilai pemerintah masih setengah-setengah mengurus Danau Maninjau dari KJA.
WALHI mencatat sejarahnya, KJA mulai diperkenalkan di Maninjau sekitar 1991. Pada 2008, terdapat sekitar 15.051 KJA, 2009-2010 sekitar 12.860 KJA, 2010-2011 sekitar 9.830 petak, 2017 sekitar 11.223 KJA produktif, 2018 sekitar 15.373 KJA Produktif. Namun semuanya menjadi sia-sia karena terjadinya kematian ikan massal secara periodik.
Ketua Kajian Advokasi WALHI Sumbar Tommy Adam mengungkapkan permasalahan Keramba Jaring Apung sudah terjadi puluhan tahun. Seharusnya pemerintah berani menghapus keberadaan KJA itu atau zero KJA sekaligus mengalihkan mata pencaharian masyarakat yang sekarang adalah pengelola KJA.
“Salah satu caranya adalah memutus mata rantai pemodal yang masuk ke Danau Maninjau, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat lokal hanya menjadi objek dari KJA tersebut (Pekerja bukan Pemodal),” ujar Tommy kepada Koridor, 21 Juni 2022.
Dengan kata lain, ekonomi terbesar tidak dirasakan warga lokal, tapi oleh investor yang memodali KJA tersebut.
Tommy mengkritisi upaya pemulihan danau dengan eceng Gondok dirasa tak akan efektif sebab akan membuat masalah baru. Wacana pengerukan sedimen dasar danau sebenarnya lebih strategis untuk dilakukan karena akan mengembalikan lagi fungsi danau seperti semula.
WALHI Sumbar mendorong Pemprov agar mengembangkan ekowisata di Danau Maninjau, yang akan mengalihkan mata pencaharian masyarakat pengelola tambak.
Beberapa alternatif di Danau Maninjau seperti membangun objek objek wisata baru yang potensial untuk dikembangkan. Karena pola ekonomi seperti ini tidak akan merusak danau.