Pada masa Hindia Belanda belum ada catatan yang ditemui Koridor terkait masalah sampah. Masalah lingkungan ini baru terungkap pada masa awal Republik. Informasi terkait tata Kelola sampah disampaikan Pikiran Rakjat, edisi 16 Juli 1951 menyatakan pada awal 1950-an kota Bandung menghasilkan 4.000 m3 sampah setiap bulannya. Atau sekitar 130 m3 setiap hari.
Sampah-sampah itu dibawa ke Astanaanyar, tempat pembakaran sampah peninggalan zaman Hindia Belanda seluas 10x 5 meter dengan cerobong pembakaran setinggi 25 meter. Setiap hari tempat pembuangan sampah itu mampu membakar sampah sebanyak 80 M3. Berarti sebulannya hanya mampu membakar 2400 m3 sampah.
Untuk mengangkut sampah ke Astanaanyar digunakan truk yang bolak balik. Satu truknya sekitar 36 M3 cukup memang mengangkut sampah ke Astananayra. Di tingkat hulu untuk mengatasi tumpukan sampah, Pemerintah Kota membagi Bandung sebanyak enam seksi, yang masing-masing memiliki 80-100 tukang sapu.
Pada Juli1955 Pemerintah Kota Besar Bandung mencoba memanfaatkan sampah untuk menjadi pupuk kompos. Suatu rombongan pegawai kota besar terdiri atas Wali Kota Bandung R. Enoch, Kepala Jawatan Kesehatan dr. Admiral Surasetja, Kepala Pekerjaan Umum R.Omon Kantaprawira, Kepala Jawatan Perusahaan Kota dr. Sunodo dan Ketua DPRDS Kota Besar E.Z Muttaqien mempelajari cara membuat kompos di pembuatan kompos di Tarogong, Garut.
Dalam Pikiran Rakjat 1 Juli 1955 , dijelaskan Pemerintah Daerah Kabupaten Garut merintis pembuatan kompos dari sampah kota secara sederhana sejak 1954. Perundingan antara Dewan Pemerintah Daerah Garut dengan Jawatan Pertanian Rakyat dilakukan pada 5 Oktober tahun itu agar pembuatan kompos tidak menjadi gangguan kesehatan.
Pada pertengahan Oktober pembuatan kompos sudah dimulai. Tempat kompos dilakukan dekat dengan tempat pembuangan sampah, cukup air dan ada akses ke jalan raya, hingga bisa dilalui 4 truk sampah sehari bolak balik menyetor sampah.
Setelah tiga bulan biasanya timbunan sampah bisa menjadi kompos. Pada 14 Juli itu sebuah lapangan terbuka di Pataruman Tarogong terdapat puluhan timbunan kompos. Jawatan Pertanian Garut menjual kompos per M3 sebesar Rp25.
Pemerintah Kota Besar Bandung mencari jalan agar sampah kota Bandung setiap hari pada 1955 sudah mencapai 10.000 M3 itu dimanfaatkan dan bukan hanya dibuang ke Astanaanjar bahkan kerap berserakan di lapangan terbuka di pojok-pojok kota .
Padahal di dalam kota besar saja terdapat tanah perkebunan seluas 10.000 ha yang memerlukan pupuk sebanyak 8 ton dan harus didatangkan dari luar kota.
Pemicu masalah sampah ialah pertanahan populasi di Kota Bandung. Pada 1952, jumlah penduduk Kota Bandung tercatat 659.977 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,29 persen per tahun. Pada 1959, jumlahnya melonjak menjadi 986.880 jiwa, dan kembali bertambah menjadi 1.081.000 jiwa di tahun berikutnya.
Pertambahan penduduk yang tidak berimbang dengan infrastruktur kota juga membuat Pemerintah Kota Besar Bandung berpacu dengan sampah. Namun sebetulnya laju pertambahan penduduk di kota kembang itu tak besar-besar sekali.
Pada 10 tahun pertama pemerintahan Presiden Soeharto, rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung tercatat hanya 1,19 persen. Pada 1967, jumlah penduduknya 1.127.000 jiwa atau hanya bertambah kurang dari 200 ribu dibanding 1959.
Pada 1979, jumlah penduduk Kota Bandung diketahui sebanyak 1.271.079 jiwa, atau bertambah hanya 114.079 orang dalam kurun 12 tahun.
Pada 1970-an Bandung punya Tempat Pembuangan Akhir Sampah di Leuwigajah seluas 23,6 hektare. Awalnya tidak terlalu masalah sampai sebuah ledakan keras tiba-tiba terdengar menyertai longsor sampah yang ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah Kota Cimahi, sekitar pukul 02.00 WIB, 21 Februari 2005.
Longsoran sampah langsung menyapu dua pemukiman yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Kedua pemukiman yang jaraknya sekitar 1 km dari TPA Leuwigajah itu langsung luluh lantak tertimbun sampah.
Tragedi ini menyebabkan, 157 jiwa tewas. Gunungan sampah sepanjang 200 meter dan setinggi 60 meter itu diduga goyah karena diguyur hujan deras semalam suntuk. Selain itu diduga terpicu konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah.Hal itu juga yang diduga menyebabkan munculnya suara ledakan.
Sejak awal 2000-an Kota Bandung terlihat kotor dan jorok. Bau menyengat membuat warga terpaksa lebih sering menutup hidung. Hingga akhirnya muncul julukan, “Bandung Lautan Sampah” dan mengakhiri nama besar Paris van Java yang relatif asri, bersih dan indah. Jumlah penduduk Bandung sekitar 2,1 juta jiwa.
Peristiwa kelam itu akhirnya mulai berangsur normal saat pemerintah membuka TPA Sarimukti. Sampah-sampah akhirnya bisa diangkut ke TPA Sarimukti hingga kini. Pada 2021 penduduk Bandung lebih dari 2,5 juta jiwa. Bertambahnya populasi yang cukup signifikan menimbulkan tanda tanya akankah sejarah berulang?.