Kalangan aktivis lingkungan mendesak jangan sampai Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memberikan solusi palsu terkait transisi energi. Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) seharusnya memastikan percepatan transisi energi berkeadilan.
Percepatan transisi ini penting mendorong pengurangan emisi karbon dan kenaikan suhu global, melalui berbagai insentif yang konkret untuk energi bersih dan terbarukan.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hadi Priyanto, mengatakan masuknya energi baru dalam RUU EBET menjadi masalah, karena seharusnya RUU yang diusulkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI semangatnya energi terbarukan.
“Sayangnya pada proses perjalanannya malah masuk energi baru. Mengapa kita permasalahkan karena energi yang baru ini bukan hal baru juga di Indonesia, seperti nuklir, batu bara tercairkan, batu bara tergaskan, gas metana, menurut kita bukan solusi baru transisi energi. Karena mencairkan atau menggaskan batu bara sama saja memperpanjang usia batu bara,” papar Hadi Priyanto kepada Koridor, Selasa, 7 Maret 2023.
Dia mengatakan, hal sama dengan transisi energi, nuklir bukan jawaban, karena pembangunan memakan waktu lama dan biaya infrastruktur mahal.
Padahal transisi energi yang berkeadilan juga akan memperkuat ketahanan energi dan menciptakan akses energi yang inklusif. Sayangnya, pemerintah dan DPR malah terus memberikan solusi palsu lewat RUU EBET
Hadi Priyanto mengingatkan pemerintah dan parlemen terhadap komitmen global yang disepakati dalam Perjanjian Paris pada 2015. Indonesia berjanji mengurangi emisi karbon hingga 31.9% dengan kemampuan sendiri sampai 2030, seperti tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC).
Transisi ke energi bersih dan terbarukan pun mendesak dilakukan untuk mengatasi krisis iklim yang mengancam kita semua. Dampak dari krisis iklim di antaranya terlihat dari peningkatan intensitas bencana hidrometeorologi, kenaikan permukaan air laut, dan cuaca ekstrem.
“Kesannya dalam RUU EBET, produk-produk turunan batu bara–seperti gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal)–dibungkus sebagai ‘energi baru’. Ini menghambat penurunan emisi gas rumah kaca dan merupakan kemunduran untuk proses transisi energi,” papar Hadi Priyanto.
Greenpeace Indonesia juga mempersoalkan partisipasi publik yang sangat minim dalam RUU EBT. Draftnya saja berubah-rubah dalam kurun waktu beberapa bulan dan tidak ada di website DPR, di Google tidak ada, hingga tidak bisa diakses publik.
“Kita sudah minta Rapat Dengar Pendapat, hasilnya anggota dewan mendengar tetapi tidak memasukkan. Draft terakhir pada Desember 2022 tidak ada masukan kita,” ujar Hadi Priyanto.
Greenpeace Indonesia mengusulkan pemberian intensif kepada energi terbarukan, ibarat masih rintisan atau startup. Tetapi malah energi nuklir dibentuk lembaga majelis. Padahal di luar negeri, seperti Jerman, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dimatikan.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo mengatakan masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.
Teknologi yang disebut “energi baru” saat ini bukanlah barang baru, karena sudah ada sejak beberapa dekade lalu. Contohnya teknologi gasifikasi dan likuifaksi batu bara yang sudah dipakai Jerman sejak perang dunia kedua, carbon capture and storage sudah diuji coba di PLTU di Kanada dan Amerika tapi gagal.
“Dukungan terhadap energi baru ini memberikan sinyal untuk mempertahankan energi fosil seperti batu bara lebih lama di sistem energi dan menggantungkan dekarbonisasi pada opsi yang belum proven, padahal ada energi terbarukan yang sudah siap dan lebih murah untuk dimanfaatkan,” ujar Deon Arinaldo.