Sudah banyak penelitian menunjukan bahwa laut bisa berperan untuk memperlambat kiamat akibat perubahan iklim. Salah satu di antaranya ialah mengembangkan rumput laut.
Penelitian yang dilakukan Jullianne DeAngelo dan kawan-kawannya dari Departemen Ilmu Sistem Bumi, Universitas California mengungkapkan budidaya rumput laut menyerap satu gigaton CO2 per tahun hanya menelan biaya rata-rata USD480 per tCO2.
Sementara menggunakan rumput laut yang dibudidayakan untuk produk yang menghindari satu gigaton emisi GRK setara CO2 setiap tahun dapat menghasilkan laba sebesar USD50 per tCO2-eq.
“Biaya ini bergantung pada biaya budi daya rendah, hasil rumput laut yang tinggi, dan asumsi bahwa hampir semua karbon dalam rumput laut dihilangkan dari atmosfer (yaitu, persaingan antara fitoplankton dan rumput laut dapat diabaikan) dan produk rumput laut dapat menggantikan produk dengan kandungan non -CO2 emisi Gas Rumah Kaca (GRK),” ujar DeAngelo yang dirilis dalam https://www.nature.com/articles/s41477-022-01305-9
World Resources Institute mengatakan pengembangan rumput laut adalah salah satu dari cara penghilangan karbon berbasis laut telah dalam menyerap karbon dan memperluas portofolio opsi di luar aplikasi berbasis lahan.
Hampir semua strategi ini berada pada tahap awal pengembangan dan memerlukan lebih banyak penelitian, dan dalam beberapa kasus pengujian lapangan, untuk memahami apakah strategi tersebut sesuai untuk investasi mengingat potensi dampak ekologis, sosial dan tata kelola.
Potensi karbon biru pesisir tersimpan di hutan bakau, padang lamun, dan rawa-rawa asin. Sementara untuk budidaya rumput laut dapat menghilangkan karbon sekaligus mendukung pemulihan ekosistem, dan menambahkan mineral untuk membantu penyerapan karbon laut dapat mengurangi pengasaman laut.
Setiap pendekatan bertujuan untuk mempercepat siklus karbon alami di lautan. Seperti dilansir dari https://cleantechnica.com/2023/03/19/6-ways-to-remove-carbon-pollution-from-the-atmosphere/ solusi potensial termasuk memanfaatkan fotosintesis pada tanaman pesisir, rumput laut, atau fitoplankton.
Caranya dengan menambahkan mineral tertentu ke air laut yang bereaksi dengan CO2 terlarut dan menguncinya; atau mengalirkan arus listrik melalui air laut untuk mempercepat reaksi yang pada akhirnya membantu mengekstraksi CO2.
Dalam waktu dekat, rumput laut yang dibudidayakan juga dapat digunakan untuk produk seperti makanan, bahan bakar, dan pupuk, yang mungkin tidak menghasilkan penghilangan karbon, tetapi dapat mengurangi emisi dibandingkan dengan produksi konvensional dan memberikan keuntungan ekonomi yang mendukung pertumbuhan industri.
Di Indonesia budidaya rumput laut yang dikaitkan dengan lingkungan hidup juga sudah dikembangkan. Di antaranya budidaya rumput laut yang berada di Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Buleleng.
Usaha budidaya rumput laut yang dikelola oleh PT Sea6 Energy, ini pada 28 April 2023 dikunjungi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Pemerintah menargetkan energi bersih, energi alternatif yang ramah lingkungan dan mendukung rencana pengembangan biofuel dan crude oil berbasis rumput laut ini.
Indonesia merupakan produsen kedua terbesar rumput laut di dunia dengan nilai produksi 9,3 Juta ton tahun 2022. Menurut data 2021, komposisi ekspor rumput laut Indonesia masih didominasi oleh bahan baku rumput laut kering (65 persen), hanya 35 persen berupa rumput laut olahan yang bernilai tambah.
Secara keseluruhan nilai ekspor rumput laut ini mencapai sekitar 6 persen dari total ekspor produk perikanan nasional, dengan penguasaan pangsa pasar dunia baru sekitar 12 persen saja (Irvan Sjafari). Bagian tiga dari tiga tulisan