Reforestasi bantu perlambat efek Gas Rumah Kaca dan bisa dilakukan tanpa menimbulkan dampak ekonomi

Koridor.co.id

Ilustrasi reforestasi-Foto: Shutterstock.

World Resources Institute, organisasi nirlaba riset global yang memfokuskan diri pada bidang iklim, energi, pangan mengungkapkan berbagai cara untuk mencegah-paling tidak memperlambat-kiamat akibat perubahan iklim yang terjadi akibat ulah manusia juga.

Salah satu caranya ialah penghapusan karbon dioksida (atau hanya “penghilangan karbon”) bertujuan membantu mengurangi perubahan iklim dengan menghilangkan polusi karbon dioksida langsung dari atmosfer.  Cara yang ditawarkan ialah secara alami dan penggunaan teknologi.

Penghilangan karbon berbeda dengan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), yang menangkap emisi di sumbernya — seperti pembangkit listrik atau produsen semen — untuk mencegahnya memasuki atmosfer sejak awal. Penangkapan karbon adalah bentuk pengurangan emisi daripada penghilangan karbon.

Skenario model iklim terbaru menunjukkan bahwa semua jalur yang menjaga kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius  memerlukan penghilangan karbon. Jumlah yang dibutuhkan pada akhirnya akan bergantung pada seberapa cepat mengurangi emisi dalam waktu dekat dan apakah — atau seberapa banyak — kita melampaui target iklim

Cara alami yang pertama ialah dengan mengembalikan pohon dan hutan yang hilang akibat ekspansi dan keserakahan manusia. Tumbuhan menghilangkan karbon dioksida dari udara secara alami, dan pohon sangat baik dalam menyimpan CO2 yang dikeluarkan dari atmosfer melalui fotosintesis.

Memperluas, memulihkan, dan mengelola tutupan pohon untuk mendorong lebih banyak penyerapan karbon dapat memanfaatkan kekuatan fotosintesis, mengubah karbon dioksida di udara menjadi karbon yang tersimpan dalam kayu dan tanah.

Hutan adalah penyerap karbon yang penting tetapi juga menjadi masalah sebagai sumber emisi gas rumah kaca jika ditebangi. Sebagai penyumbang 40 persen dari total emisi, pemerintah menjadikan sektor kehutanan porsi terbesar untuk target penurunan Gas Rumah Kaca (GRK)  yaitu 59,76 persen.

WRI menyampaikan beberapa pendekatan pengelolaan yang dapat meningkatkan penghilangan karbon oleh pohon dan hutan antara lain:

  1. Reboisasi, atau memulihkan ekosistem hutan setelah rusak oleh kebakaran hutan atau dibuka untuk penggunaan pertanian atau komersial.
  2. Mengembalikan, atau meningkatkan kerapatan hutan dimana pohon-pohon telah hilang karena penyakit atau gangguan.
  3. Silvopasture, atau memasukkan pohon ke dalam sistem peternakan.
  4. Agroforestri lahan pertanian, atau menggabungkan pohon ke dalam sistem pertanian tanaman baris.
  5. Reboisasi perkotaan, atau meningkatkan tutupan pohon di daerah perkotaan.

Seperti dikutip dalam   https://cleantechnica.com/2023/03/19/6-ways-to-remove-carbon-pollution-from-the-atmosphere/ WRI memproyeksikan bahwa potensi penghilangan karbon teoretis dari hutan dan pohon di luar hutan di Amerika Serikat saja lebih dari setengah gigaton per tahun, setara dengan semua emisi tahunan dari sektor pertanian AS.

Selain itu, pendekatan untuk menghilangkan CO2 melalui hutan relatif tidak mahal dibandingkan dengan pilihan penghilangan karbon lainnya (umumnya kurang dari USD50 per metrik ton CO2) dan menghasilkan air dan udara yang lebih bersih dalam prosesnya.

Di Indonesia, sektor pangan dan kehutanan juga menjadi penyumbang utama emisi GRK. Hasil penghitungan inventarisasi GRK nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, tingkat emisi GRK  pada  2019 sebesar 1.866.552 Gg CO2e (gigagram setara karbon dioksida).

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja pernah mengatakan, multiusaha kehutanan merupakan salah satu konsep pengelolaan lahan berbasis lanskap yang memiliki peranan dalam mendukung pencapaian enhanced NDC dan pemenuhan target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Laporan Paul Burgess, profesor pertanian berkelanjutan dan agroforestri di Cranfield University, Inggris dan tim untuk Woodland Trust (2022) mengungkapkan  menanam pohon di samping tanaman pertanian, yang dikenal sebagai silvoarable agroforestry, dapat mengunci delapan ton setara CO2 per ha per tahun selama 30 tahun.

Dengan sistem wanatani ini, 400 pohon per ha ditanam di padang rumput untuk ternak, misalnya, diperkirakan akan mengunci 16 ton setara CO2 per tahun selama 40 tahun.

Hasil kajian Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada  2022 menjelaskan terdapat tujuh komoditas wanatani di Indonesia yang prospektif untuk dikembangkan untuk multiusaha kehutanan, dengan mempertimbangkan pasar internasional, kelayakan finansial pada tahap budidaya dan pengolahan, dan skala investasi.

Dengan demikian cara reforestasi dan mencegah deforestasi sebetulnya tidak berbenturan dengan ekonomi asal tepat caranya (Irvan Sjafari), Bagian 1 dari tiga tulisan.

Artikel Terkait

Terkini