Awal 2023, warga Desa Parak, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan mendapatkan air laut di wilayah ini berubah menjadi hijau sekaligus mengeluarkan aroma menyengat. Kepala Laboratorium Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Makassar Oslan Jumadi menyampaikan perubahan warna dan bau terkait apa yang disebut fenomena bloom.
Bloom adalah kondisi ketika alga atau sianobakteri (yang termasuk fitoplankton) mengalami pertumbuhan yang cukup besar di suatu perairan, baik di laut, kolam, danau serta di rawa.
Fenomena ini rupanya mendapat perhatian dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, dengan menggelar Marine Science Webinar, bertajuk “Perubahan Iklim dan Harmful Algal Bloom (HAB)”.
Peneliti dari Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Tumpak Sidabutar mengungkapkan pemicu dari HAB ini karena perubahan iklim, utamanya adalah eutrofikasi. HAB memberikan dampak, salah satunya pada kehidupan biota
“Meningkatnya Algal Bloom atau HAB, itu semua diakibatkan karena meningkatnya nutrien. Efek dari HAB tidak hanya berdampak pada kehidupan biota, tetapi juga kelangsungan hidup manusia,” ujar Tumpak seperti dikutip dari https://ipb.ac.id/news/index/2023/03/mengenal-fenomena-harmful-algal-bloom-hab-dan-dampaknya-terhadap-kelautan-indonesia/af4def4837369849dfdc292172c0e0d7
Efek HAB dapat terjadi secara global dan distribusinya meningkat. Misalnya aktivitas budidaya meningkat (limbah organik), perubahan iklim jangka panjang dan translokasi. Algal Bloom sering terjadi di daerah coral karena peningkatan nutrien cenderung berada di lokasi tersebut.
HAB sudah terjadi sejak 1970-an, namun orang-orang baru menyadari akan fenomena ini ketika dampak dari fenomena ini sudah terasa.
Spesies dari HAB juga terbagi menjadi tiga kategori, yakni harmless, harmful, dan toxic. Harmful dan toxic menjadi spesies yang membahayakan ikan-ikan.
HAB dapat kita tangani salah satunya dengan mengurangi nutrien yang ada dan memasukkannya pada sungai-sungai dan estuari-estuari.
“Peringatan dini dari HAB ini sendiri juga dapat dilihat dalam perubahan warna, kepadatan populasi, klorofil-a, nutrien dan kadar toxin,” pungkasnya.
Peringatan yang sebangun juga diungkapkan peneliti Universitas Lousiana Beth Stauffer mengatakan ledakan pertumbuhan ganggang ini didorong meningkatnya suhu dan polusi. Pertumbuhan ini tidak bisa dibiarkan karena mencemari air minum kita dan membahayakan kesehatan manusia.
Bahkan katanya HAB yang dulunya lebih terkait dengan lingkungan laut. Namun dalam beberapa tahun terakhir mereka telah bergerak lebih jauh ke pedalaman dan mempengaruhi sistem air tawar juga.
“HAB terjadi ketika jenis alga tertentu tumbuh sangat cepat karena peningkatan nutrisi dalam air – biasanya ketika nitrogen dan fosfor buatan yang diterapkan pada lahan petani tersapu air hujan dan masuk ke saluran air,” ujar Stauffer seperti dilansir dari https://www.bbc.com/future/article/20230110-the-pollution-causing-harmful-algal-blooms
Ganggang menerima makanan dalam skala yang tidak akan pernah mereka dapatkan secara alami, dan mekar terbentuk. Terkadang ini tidak berbahaya. Namun dalam skala besar, banyak jenis alga dapat berubah menjadi racun dan berbahaya bagi manusia dan hewan.
Pertumbuhan eksplosif ganggang terkait dengan kenaikan suhu dan meningkatnya polusi. Gelombang hijau ini merupakan tanda peringatan dan gejala perubahan iklim.
“Saat pupuk pertanian dan tsunami limbah manusia menghantam saluran air kita yang memanas, kita berada dalam bahaya mengubah air minum kita menjadi beracun,” imbuhnya.
Mekarnya alga Pseudo-nitzschia di seluruh pantai pada musim semi 2015 mengakibatkan wabah racun saraf, asam domoat, di sepanjang pantai barat AS, yang mencakup empat negara bagian.
Racun yang meningkat ditemukan pada mamalia laut dan perikanan, dengan lebih dari 1.950kg (4.300lb) kerang hilang hanya dalam satu hari dan lebih dari 200 singa laut terdampar karena keracunan racun saraf. Mekar di Teluk Meksiko pada 2017 tercatat mencakup 8.776 mil per segi.