Berawal dari kisah dua orang perempuan muda Nadine Chandrawinata dan Dinni Septianingrum yang sama-sama gelisah dengan kondisi lingkungan dunia, khususnya di Indonesia.
Di antara persoalan lingkungan yang mengusik mereka adalah Indonesia diperkirakan menghasilkan lebih dari 190.000 ton sampah setiap hari. Plastik menyumbang sekitar 25.000 ton per hari. Setidaknya 70-80 persen diyakini berakhir di sungai dan perairan pesisir. Kalau dibiarkan pada 2050 akan lebih banyak plastik daripada ikan.
Tentunya terdapat masalah lingkungan lain, seperti deforestasi skala besar, sebagian besar illegal, bahkan terkait kebakaran hutan menyebabkan kabut asap tebal di bagian barat Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Latar belakang profesi tidak menghalangi mereka berkolaborasi. Nadine adalah seorang artis film dan Putri Indonesia 2005. Dinni, seorang traveller yang suka mengunjungi daerah pedalaman sambil mengajar. Dua sahabat ini kemudian mendirikan Seasoldier pada 28 Maret 2015.
“Kegiatan pertama sebenarnya sangat sederhana. Kami ingin anak-anak muda melek tentang aksi ramah lingkungan dan berani membagikannya di sosial media (Instagram),” ujar Dinni melalui surat elektronik kepada Koridor, Kamis, 2 Juni 2022.
Ternyata, kata perempuan kelahiran 5 September 1985 ini banyak anak muda yang menyambut baik dan ingin menjadi relawan. Akhirnya, dua sahabat menjadikan Seasoldier sebagai LSM di bidang lingkungan berbadan hukum, hingga mereka dapat memperluas kegiatan dan program yang berkelanjutan.
“Kita yang di darat ini sangat bertanggung jawab atas apa yang terjadi di laut, karena 80 persen sampah di lautan itu asalnya dari darat,” ucap alumni Akuntansi Sekolah Bisnis Kwik Kian Gie ini .
Dalam penilaian Dinni, regulasi yang dibuat pemerintah sudah cukup menyeluruh. Namun, penegakan hukumnya yang harus lebih massif, termasuk edukasinya, terutama tentang pentingnya pemilahan sampah.
Orang Indonesia sudah harus naik level, urai Dinni, tidak cukup mengandalkan jargon “membuang sampah pada tempatnya” saja. Pada regulasi sebetulnya ada arahan untuk melakukan 3R, menurutnya itu cukup dan mencukupi. Yang sulit memang membentuk perilaku, konsistensi, menjadikannya habit, dan akhirnya menjadi budaya.
Seasoldier tetap bisa berjuang untuk lingkungan sekalipun masa pandemi Covid-19. Sekitar 80 persen kegiatan fisik dihentikan, terutama tahun pertama. Dinni dan timnya melakukan edukasi tentang lingkungan di puluhan sekolah secara daring.
Para ‘serdadu laut’ ini membuat webinar, IG live series, dan podcast bertema lingkungan dengan menghadirkan pembicara dari seluruh regional yang dimiliki Seasoldier. Bahkan organisasi mampu menggalang dana (crowdfunding) yang didonasikan langsung kepada petugas medis, puskesmas, dan RS yang membutuhkan peralatan, seperti APD dan sebagainya. Total dana yang terkumpul hampir Rp200 juta rupiah hanya dalam satu bulan.
Pandemi Covid-19 tidak menghalangi praktik konservasi mangrove yang kini terus berjalan. Hingga hari ini, para serdadu laut ini sudah menanam 8.500-an bibit mangrove yang tersebar di Bali, Bekasi, Surabaya, Jakarta, Tegal, dan Mempawah.
Para ‘serdadu laut’ ini juga membuat kampanye sosial media #SeasoldierMask yang berbicara tentang kemanusiaan, penghijauan, satwa langka, dan pengelolaan sampah. Kampanye ini melibatkan 17 orang public figure dan followers IG.
Saat ini aktivitas Seasoldier nyaris seratus persen seperti semula. Kalau tak ada aral melintang mereka akan menjalin kerja sama dengan NGO Prancis yang bersedia meminjamkan kapal pembersih lautan untuk setahun.
Peraih Magister Lingkungan Hidup UI ini berharap bisa terus berkontribusi untuk masyarakat dan lingkungan ke depan, dengan target terukur. Jumlah relawan lepas sejak 2015 hingga sekarang mungkin sudah 10-ribuan orang. Mereka tersebar pada 15 regional, dan setiap regional memiliki koordinator atau ketuanya masing-masing.