Tim peneliti dari Orangutan Project menemukan Plasmodium Malariae, jenis Plamsodium Pitheci protozoa parasit yang menyebabkan penyakit Malaria menginfeksi orang utan di Pusat Rehabilitasi Penyelematan (RRC) Orang utan di Kalimantan Barat.
Mereka mengamati 131 orang utan di RRC selama periode 2017-2021. Sebanyak 1.783 sampel darah dianalisis dengan mikroskop dan 219 dengan tes diagnostik berbasis asam nukleat (PCR). Rekam medis orang utan rawat inap di pusat tersebut sejak 2010 hingga 2016 juga dianalisis secara retrospektif untuk kasus malaria simtomatik.
Penelitian mereka dimuat dalam tulisan bertajuk Plasmodium pitheci malaria in Bornean orang-utans at a rehabilitation centre in West Kalimantan, Indonesia di Jurnal Malaria, beberapa waktu lalu.
Tim peneliti yang dipimpin Karmlee Lliano Sanchez mengungkapkan 89 dari 131 orang utan positif malaria setidaknya sekali antara 2017 dan 2021 dengan prevalensi sebesar 68%.
“Selama periode itu, 14 kasus (mempengaruhi 13 orang utan) berkembang menjadi malaria klinis (0,027 serangan/tahun orang utan),” ujar Sanchez.
Tiga kasus lain ditemukan terjadi dari 2010-2016. Individu yang sakit biasanya mengalami demam, anemia, trombositopenia, dan leukopenia. Semua memiliki parasitemia lebih dari 4000/μL dan setinggi 105.000/μL, dengan tingkat keparahan penyakit berkorelasi dengan parasitemia.
Penyakit dan parasitemia cepat sembuh setelah pemberian terapi kombinasi artemisinin. Tingkat parasitemia yang tinggi juga terkadang terjadi pada kasus tanpa gejala, di mana parasitemia hilang secara spontan.
Studi ini menunjukkan sangat sering menginfeksi orang utan di RRC ini. Pada sekitar 14% orang utan yang terinfeksi, penyakit malaria terjadi dan berkisar dari sedang hingga parah. Keberhasilan manajemen klinis malaria akut dijelaskan.
Kekhawatiran muncul tentang infeksi ini yang berpotensi menjadi ancaman bagi spesies yang terancam punah ini di alam liar.
Sekalipun Sanchez dan kawan-kawanya tidak mengkonifrmasi apakah malaria bakal menjadi ancaman bagi konservasi orang utan di alam, namun mereka membenarkan perubahan iklim, fragmentasi hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dapat berdampak terhadap lingkungan alam, tidak saja pada perilaku spesies liar, tapi juga penyebaran pada penyakit seperti malaria.
Penyakit dan parasitemia cepat sembuh setelah pemberian terapi kombinasi artemisinin. Tingkat parasitemia yang tinggi juga terkadang terjadi pada kasus tanpa gejala, di mana parasitemia hilang secara spontan.
Selain itu tidak ada bukti bahwa parasit yang menyerang orang utan dapat menular ke manusia, atau bahwa malaria yang lazim pada manusia telah menular ke orangutan. Kasus penyakit malaria telah dilaporkan pada simpanse dan pada gorila.
Parasit plasmodial manusia yang menyebabkan malaria klinis menginfeksi ratusan juta orang setiap tahun, menyebabkan lebih dari setengah juta kematian di daerah endemis.
Malaria merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di daerah tropis, menyerang orang dari segala usia, terutama pada anak-anak dan wanita hamil.
Dengan distribusi geografis spesies plasmodial manusia yang luas di seluruh wilayah tropis dan subtropis di dunia dan lebih dari 100 negara di mana malaria masih dianggap endemik.
Wakil Direktur Center of Orangutan Protection (COP) Indira Nurul Qomariah mengatakan ditemukannya kasus malaria pada orang utan bukan hal baru. Ia menyebutkan kemiripan DNA antara orang utan dan manusia mencapai 97%.
“Banyak penyakit yang ada di manusia juga bisa menular ke orang utan, seperti hepatitis, herpes, TBC, dan malaria. Oleh karena itu, pusat rehabilitasi perlu memiliki SOP medis dan SOP sanitasi yang ketat agar tidak terjadi penularan penyakit,” ujar Indira Nurul Qomariah kepada Koridor, Jumat, 2 Desember 2022.