Penting menjaga keberlangsungan macan tutul. Hutan konservasi jangan lagi dikurangi, hanya karena alasan ekonomi

Koridor.co.id

Macan tutul (Foto: BKSDAE-KLHK)

Mudah-mudahan Slamet Ramadhan bisa berjodoh dengan Rasi dan hidup bahagia hingga akhir hayat.  Demikian sebuah kisah dan harapan yang kini beredar di Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat.

Slamet Ramadhan adalah macan tutul jantan berwarna gelap (macan kumbang)  yang sudah dilepas ke gunung pada 9 Juli 2019. Usianya sekitar sembilan tahun. Sedangkan sang betina Rasi baru dilepas pada 5 Maret 2022.

Perjodohan ini adalah upaya Balai Taman Nasional Gunung Ciremai bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat (BBKSDA) untuk meningkatkan jumlah populasi macan tutul (Panthera Pardus), yang kini di Jawa terancam punah menyusul kerabatnya Harimau Jawa.

Rasi ditemukan oleh masyarakat  pada usia 3-6 bulan  dan diserahkan kepada BBKSDA Jawa Barat. Rasi  direhabilitasi di PPS Cikananga pada 2 Juli 2019.  Setelah berusia tiga tahun dan siap kawin, akhirnya dilepas ke alam habitatnya.

Namun hingga september 2022 ini menurut Adi. Humas Taman Nasional Gunung Ciremai terkait perjodohan rasi sementara ini belum terpantau oleh camera trap (perangkap kamera) ataupun perjumpaan langsung.

“Namun dari hasil dokumentasi camera trap Rasimasih terpantau dan pergerakan GPS collar secara individual menunjukkan Rasi masih beraktivitas di kawasan itu. Artinya, keduanya, Slamet Ramadhan, dan Rasi, masih berada dalam kawasan TNGC,” ujar Adi kepada Koridor, Minggu, 25 September 2022.

Populasi macan tutul Jawa yang sudah teridentifikasi dengan perangkap kamera sebanyak tiga ekor. Selain itu ada beberapa laporan perjumpaan langsung antara macan tutul Jawa di kawasan TNGC baik dengan petugas maupun masyarakat sekitar kawasan.

Ini menjadi indikasi bahwa populasinya lebih dari hasil identifikasi perangkap kamera dan semoga bisa terdokumentasikan di masa monitoring populasi selanjutnya.

Sampai saat ini ekosistem kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dianggap memiliki kualitas baik. Berdasarkan hasil penafsiran citra SPOT 6 Resolusi 1 meter Liputan 2018 dan 2019, kawasan TNGC didominasi oleh tutupan berhutan mencapai 80% dari seluruh luas kawasan.

Herlina Agustin (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Pada kesempatan berbeda, periset dan pengajar Studi Komunikasi Lingkungan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, Herlina Agustin mengkritisi belum adanya tempat khusus rehabilitasi bagi macan tutul yang tertangkap. Sepertinya hanya dititip dan dirawat ke Taman Satwa Cikembulan Garut, Kebun Binatang Bandung, Taman Safari Bogor atau di Sukabumi.

“Sebetulnya tempat ideal macan tutul dan macan kumbang, di habitat dia masuk wilayah konservasi,” ujar perempuan yang karib disapa Titin ini kepada Koridor.

Herlina Agustin berharap pemerintah jangan lagi menurunkan status wilayah konservasi kalau kita tidak mau lagi berhadapan dengan macan atau hewan liar lain yang sebetulnya dilindungi.    

Titin meminta semua pihak mendukung, mengembalikan lagi fungsi-fungsi kawasan konservasi untuk peran sesungguhnya. Jangan sampai diturunkan karena ekonomi lagi. “Ekonomi dan ekosistem bisa berdampingan. Bisa, asalkan manusia menahan diri untuk tidak serakah.”

BBKSDA sudah cukup berperan, sayangnya belum optimal. Jika, terjadi konflik antara manusia dan macan tutul sosialisasi belum selesai.

BBKSDA harus memberikan peran pada masyarakat menjaga. Ada kelompok masyarakat bergerak lebih jauh melindungi satwa liar. Ada kesadaran lebih bagus. Tapi pihak lain ada tekanan pada orang lain melakukan perburuan pada satwa liar. Ini masalah edukasi.

“Menurut saya pelestarian hewan yang dilindungi termasuk macan tutul, masuk struktur pendidikan formal. Masyarakat yang tinggal di  lingkungan dekat hutan harus tahu satwa apa saja yang tinggal di hutan dan mana yang tidak boleh diganggu. Apa bentuk story telling harusnya sudah masuk pendidikan TK ke atas,” tegas Herlina Agustin.

Artikel Terkait

Terkini