Pegiat lingkungan mengingatkan revitalisasi Sungai Ciliwung dengan cara betonisasi justru membahayakan masa depan ketahanan Jakarta menghadapi akumulasi banjir lebih parah. Terutama untuk wilayah hilir di utara yang juga harus berhadapan dengan jadwal pasang air laut di garis pantai. Naturalisasi sungai cara yang lebih jitu.
Sungai Ciliwung adalah sungai lintas provinsi, maka dalam hal ini revitalisasi merupakan kewenangan dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS).
Mindset dari Kementerian PUPR adalah pendekatan infrastruktur di Jakarta berupa normalisasi sungai, melakukan betonisasi. Terutama di kawasan hulu Jakarta sepanjang 19 kilometer dimulai dari ruas TB Simatupang – Pintu Air Manggarai.
Sementara itu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memilih cara naturalisasi dengan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.
Anies menginginkan meningkatkan kapasitas sungai dilakukan secara alami dan manusiawi, menghidupkan ekosistem sungai dengan menanami pohon di bantarannya. Dia juga ingin membuat sumur resapan, agar air itu masuk ke tanah hingga mengurangi beban sungai.
Perbedaan pendapat dan kebijakan ini rupanya membuat revitalisasi Sungai Ciliwung menjadi stagnan. Pegiat lingkungan dari Ciliwung Institute Sudirman Asun menilai Pemerintah pusat salah kaprah terhadap akar persoalan banjir sehingga selalu mengedepankan solusi jangka pendek padahal itu adalah solusi palsu.
Betonisasi yang dilakukan sekarang justru akan mengambil ruang sempadan sungai yang merupakan bagian dari penguasaan sungai yang berfungsi sebagai parkir air dataran banjir. Ketika sungai meluap, sempadan menjadi ruang perangkap sedimen menampung lumpur yang dibawa banjir dari hulu agar daya tampung sungai tidak menjadi berat dan sebagai green belt ekosistem pasang surut sungai.
Sungai Ciliwung itu konturnya tinggi di selatan dari hulu di kawasan Kabupaten Bogor dan Jakarta Selatan dan ketika memasuki Manggarai, Jakarta, akan melandai. Padahal di bagian selatan masih banyak ruang terbuka hijau yang bisa menjadi sempadan parkir air. Namun, betonisasi ini mengancam fungsi sempadan sungai sebagai alokasi tempat retensi air ketika banjir.
Akibat betonisasi ini, menurut Sudirman yang diwawancarai Koridor, Minggu (26/6/2022), air akan cepat meluncur ke hilir seperti perosotan. Perspektifnya ingin air agar cepat masuk laut. Persoalannya Jakarta juga menghadapi rob atau air pasang setiap satu kali dua puluh empat jam dan sebulan dua kali pasang besar maksimum. Yaitu, awal bulan hilal dan bulan purnama terjadi pasang membuat banjir, sehingga menghambat air sungai untuk keluar ke laut.
Menurut Sudirman, adanya sempadan sungai akan memberi waktu bagi air sungai untuk parkir menunggu sampai pasang air surut hingga air bisa masuk ke laut dengan lancar. Dengan demikian solusi yang diberikan Kementerian yang dipimpin Menteri Basuki Hadimuljono itu, itu sudah ketinggalan zaman dan sudah ditinggalkan negara lain.
Dalam pandangan Sudirman, apa yang digagas Gubernur Anies Baswedan sudah benar, yaitu dengan melakukan naturalisasi, fungsi sungai dikembalikan ke fungsi alamiahnya. Caranya dengan membuat sumur resapan, agar air itu masuk ke tanah hingga mengurangi beban sungai. Sayangnya, ide baik ini justru jadi diolok-olok.
Padahal, seharusnya sumur resapan ini banyak dibangun di wilayah Jakarta di daerah bisnis gedung perkantoran, dan setiap rumah di kampung-kampung.
Pemprov DKI Jakarta sudah memberikan contoh yang bagus lewat Tebet Ecopark, yaitu membongkar beton sewaktu masih jadi Taman Honda dan mengembalikan fungsi sempadan. Taman ini menjadi ruang ekosistem dan memberi ruang untuk semua kehidupan ekologi dan upaya penanggulangan banjir jakarta untuk menyediakan retensi konservasi air.
Melalui, penyerapan pengisian air tanah di banyak bagian taman yang berkala difungsikan menjadi wilayah pasang surut air hujan dan luapan sungai dan ketika kering atau musim kemarau menjadi tempat bermain. Tebet Ecopark merupakan restorasi sungai pertama di Indonesia.
“Seharusnya Kementerian PUPR justru memberikan payung hukum pemberian kewenangan kepada DKI Jakarta untuk melakukan Naturalisasi Ciliwung sehingga lewat regulasi dan anggaran, baru secara struktural bisa dieksekusi pemda DKI,” ujar Sudirman.
Konsep naturalisasi itu ialah kita tidak lagi memusuhi air, tetapi konsep berbagi ruang. Air disediakan alokasi tempatnya. Jika terjadi musim hujan, sehingga di musim kemarau tidak kekurangan air. Kalau dulu rumah di Jakarta itu kan banyak rumah panggung, ketika banjir tidak akan kebanjiran, jika musim kemarau bagian kolongnya bisa dimanfaatkan.
Kemampuan air sungai meresap, indikatornya bisa dilihat di sumur warga sepanjang sungai, elevasi air sumur akan bergantung ketinggian air sungai. Ketika sungai permukaannya tinggi, maka air sumur pun akan menambah. Jika air sungai surut, maka permukaan air sumur pun surut. Jika terjadi betonisasi, air sumur akan kering, akar pohon pun tidak bisa mendapatkan air.
Program naturalisasi Anies dapat mengembalikan fungsi alamiah sungai sebagai tempat beraktivitas, menghidupkan kembali pangkalan tradisional, dan menjaga pemanfaatan sungai untuk pertanian, berkebun, pemancingan, dan lain sebagainya. Pemprov DKI Jakarta juga secara masif membuat drainase vertikal untuk membantu penyerapan air ke tanah dan menampung cadangan air bersih yang dibangun Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta.
Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, ketika dijabat oleh Tubagus Soleh Ahmadi, . meminta pemerintah menghentikan proyek betonisasi berkedok normalisasi karena tidak memiliki manfaat ekologis, bahkan merusak fungsi ekologis ekosistem sungai.
Keberadaan jalan inspeksi di sempadan sungai karena menghilangkan keanekaragaman hayati flora dan fauna. Pemerintah Pusat justru mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 tahun 2020 yang menggantikan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 yang salah satu isinya memperbolehkan pembangunan jalan inspeksi di sempadan sungai.
“Pembangunan jalan inspeksi di ruas proyek normalisasi sungai bertentangan dengan peraturan yang menetapkan sempadan sungai sebagai kawasan lindung yang tertuang dalam Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, “ kata Tubagus Soleh Ahmadi seperti dikutip dari WALHI.