Sejak kapan kantong plastik digunakan? Pada awalnya justru kantong plastik diciptakan untuk menyelamatkan Bumi. Seperti dilansir dari https://www.independent.co.uk/climate-change/news/plastic-bags-pollution-paper-cotton-tote-bags-environment-a9159731.html Seorang insinyur Swedia Sten Gustaf Thulin menciptakan pada 1959.
Tujuannya untuk menggantikan kantong kertas yang dianggap buruk bagi lingkungan karena mengakibatkan penebangan hutan. Pada waktu itu kantong plastik dinilai lebih praktis, bukan saja lebih kuat, tetapi bisa digunakan berulang kali.
Promosi kantong plastik di Indonesia tersamar di antara iklan surat kabar pada 1960-a, namun umumnya hingga 1970-an awal menggunakan kantong plastik untuk berbelanja belum populer. Para ibu berbelanja di pasar tradisional membawa keranjang dan pulang membawa bungkusan daging, sayuran, bumbu dibungkus kertas atau daun jati. Penggunaan kantong kertas masih lazim dilakukan.
Baru ketika pusat berbelanjaan modern muncul awal 1980-an, seperti Aldiron Plaza di Blok M, Jakarta, diikuti kota-kota lain kantong plastik mulai marak dan dianggap praktis dan menjadi solusi melindungi barang dari terpaan air hujan dan debu hingga lebih mudah dibawa.
Namun kini kantong plastik yang tadinya bertujuan menyelamatkan justru menjadi masalah bagi Bumi karena termasuk jenis sampah yang tidak bisa terurai bahkan ketika lapuk menjadi mikroplastik di sungai menjadi masalah bagi kesehatan.
Peneliti Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Rafika Aprilianti mengungkapkan sampah plastik sampai saat ini menjadi masalah besar di lingkungan hingga dapat menurunkan kualitas kesehatan makhluk hidup khususnya manusia. Sebelum plastik jadi sampah juga mengkhawatirkan dan berbahaya bagi lingkungan. Umumnya 90% plastik dibuat dari minyak bumi.
Rafika mengutip penelitian oleh Center of Environmental Law mulai dari pengambilan bahan baku pembuatan plastik yaitu minyak bumi sudah melepaskan masalah baru yaitu melepaskan emisi yang cukup banyak dan hasil emisi yang dikeluarkan dapat mempengaruhi krisis iklim yang saat ini terjadi.
Kemudian ketika plastik sudah mulai diproduksi di pabrik atau industri juga menyumbang emisi yang nilainya hampir setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh industri batu bara.
Ketika plastik pada tahap digunakan oleh kebanyakan manusia saat ini misalnya untuk tempat wadah makanan, minuman dan lain sebagainya juga membahayakan kesehatan manusia.
“Selain plastik dibuat dari minyak bumi, ditambahkan juga bahan kimia untuk mendukung fungsi plastik meliputi ftalat, BPA (Bisphenol A), styrene, alkalyphenol, EVOH dan lainnya,” ujar Rafika.
Senyawa tersebut tidak terikat secara kovalen dengan bahan dasar plastik sehingga jika terkena suhu panas akan mudah lepas dan dapat menempel pada makanan dan minuman yang dimakan manusia.
Alumni Biologi UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang ini mengatakan berdasarkan penelitian beberapa penelitian Bisphenol A dan ftalat merupakan endocrine disruptor yang dalam bentuk aktifnya memiliki aktivitas estrogen.
“Ketika masuk kedalam tubuh dapat meniru hormon estrogen, yaitu dapat menurunkan kadar hormon testosteron plasma dan testis, LH plasma, dan juga menyebabkan morfologi abnomal seperti penurunan jumlah sel Leydig pada biota jantan,” tuturnya.
Apabila hormon di dalam tubuh dirusak oleh senyawa plastik, maka metabolisme tubuh juga tidak seimbang sehingga berpotensi menyebabkan terkena penyakit kanker, diabetes melitus, menurunkan imun, gangguan reproduksi, gangguan sistem saraf dan sebagainya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan sebesar 18, persen dari 19, 13 juta ton sampah pada 2022. Jumlahnya memang nomor dua daripada sampah makanan sebesar 40,8 persen. Namun daya rusaknya jauh lebih besar. Upaya mengurangi sampah plastik juga jauh lebih sulit.
Keterbatasan Regulasi
Juru Kampanye Urban Walhi Nasional Abdul Ghofar menuturkan solusi yang saat ini ditawarkan ialah mendirikan pabrik daur ulang sampah. Penambahan kuantitas pabrik daur ulang di Indonesia dapat menjadi solusi antara dari minimnya jumlah sampah plastik yang dapat didaur ulang.
Namun pemerintah juga tidak dapat menggantungkan daur ulang sebagai solusi tunggal mengatasi berbagai persoalan sampah plastik yang jumlahnya meningkat setiap tahun secara signifikan.
“Daur ulang sampah plastik memiliki beberapa catatan kritis seperti jenis plastik yang bisa dan aman didaur ulang, kualitas produk yang dihasilkan dari proses daur ulang, hingga potensi cemaran dari proses pendaur ulangan material,” papar Ghofar kepada Koridor 26 Maret 2023.
Belum lagi rendahnya angka pengumpulan sampah plastik yang selama ini bergantung pada pemulung. Sementara produsen penghasil plastik kurang serius memenuhi tanggung jawab atas plastik yang mereka hasilkan.
Penambahan jumlah pabrik daur ulang jangan sampai menghambat kebijakan peta jalan pengurangan sampah plastik oleh produsen dengan target beberapa jenis plastik tertentu akan dilarang sama sekali pada 2030.
Dalam hirarki zero waste, upaya paling optimal untuk mengurangi produksi sampah adalah dengan memaksimalkan angka pengurangan sampah. Pada konteks pengurangan sampah plastik, ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan seperti pelarangan penggunaan plastik sekali pakai.
“Saat ini bahkan sudah ada lebih dari 100 kabupaten, kota dan provinsi yang memiliki kebijakan pelarangan plastik sekali pakai seperti tas kresek dan atau sedotan dan stryfoam. Kebijakan yang ada di tingkat daerah ini cukup signifikan mengurangi produksi sampah plastik jenis tertentu,” paparnya.
Sementara di tingkat nasional, implementasi peta jalan pengurangan sampah plastik oleh produsen akan dapat berkontribusi mengurangan sampah plastik secara maksimal jika dijalankan dengan serius.
Pelarangan plastik sekali pakai jenis tertentu di tingkat daerah saja tidak akan cukup mengurangi sampah plastik secara signifikan. Ke depan perlu ada langkah untuk mendesak produsen mengubah desain produknya agar lebih ramah lingkungan.
Masyarakat sebagai konsumen sebetulnya sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang dampak dari pencemaran plastik. Saat ini gerakan untuk menerapkan gaya hidup minim sampah juga sudah menjadi tren.
Paling tidak sudah ada upaya kolektif mengurangi konsumsi plastik dengan cara mengubah kebiasaan sehari-hari seperti dengan penggunaan kantong belanja ramah lingkungan, meminimalisir konsumsi air minum dalam kemasan dan belanja dengan sistem curah.
Regulasi pelarangan plastik sekali pakai yang ada di 100 kabupaten.kota dan provinsi cukup beragam tingkat efektivitas peraturannya. Beberapa daerah seperti Kota Banjarmasin, Kota Bogor, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Bali berjalan cukup maksimal.
Memang ada berbagai hambatan, namun terjadi penurunan produksi sampah plastik jenis tertentu. Perlu dicatat bahwa kebijakan di tingkat daerah memiliki keterbatasan subyek yang diatur karena berkaitan dengan wewenang. Cakupan pelarangan sangat terbatas pada ritel dan jasa makanan minuman.
Keterbatasan regulasi pelarangan plastik sekali pakai di tingkat daerah inilah yang seharusnya ditutup oleh regulasi di tingkat nasional. Berdasarkan Permen LHK 75/2019, pemerintah pusat dapat mengatur upaya pengurangan plastik pada produsen manufaktur, ritel dan jasa makanan minuman.
Kelompok produsen FMCGs (Fast Moving Consumer Goods) yang merupakan penghasil sampah plastik terbesar dapat dikenai kewajiban tersebut. Sayangnya memang pasca 4 tahun peraturan tersebut ada, belum terlihat komitmen dari produsen tersebut.
Belum ada pengaturan untuk mengurangi produksi plastik di level industri hulu seperti industri petrokimia. Namun seiring dengan komitmen global dan nasional untuk melakukan pengurangan sampah plastik, maka sudah semestinya ada ambang batas produksi plastik.
“Jadi ke depan angka produksi plastik akan mencapai titik tertinggi dan harus terus dikurangi seiring dengan proses pengurangan pengunaan plastik dalam proses produksi,” pungkas Abdul Ghoffar.